Membina Keluarga Bahagia : Bagian 1 (Cinta)
24 July 2022
Di suatu kesempatan, seorang murid berkunjung untuk menyampaikan momen penuh bahagia yang sebentar lagi dia jelang. Sebuah kenyataan yang didambakan wanita seusianya. Merangkai cinta suci di pelaminan.
Dari sisi usia, memang sudah saatnya dia menikah. Dia terbilang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Diharapkan kecakapan tersebut tidak berhenti di dia. Akan tetapi, diharapkan kelak menular pada anak yang dilahirkannya.
Calon suaminya juga lulusan PTN di Malang. Cukuplah modal bagi keduanya untuk melangsungkan pernikahan yang dikelilingi kebun-kebun kebahagiaan.
Dilihat dari wajahnya, memancar rasa bahagia yang tak bisa disembunyikan. Kesiapan mental yang sudah cukup, ditambah dengan calon suami yang saleh lagi bertakwa, turut memantik kebahagiaan yang membuncah.
Memang, selain peristiwa kelahiran, pernikahan sebagai hari raya yang juga ditunggu kaum muda. Mereka berasumsi bahwa tanpa perrnikahan, orang tak bisa menggapai kematangan jiwa. Padahal, hanya ketika jiwa telah mencapai matang, seseorang akan menikmati indahnya hidup.
Seorang petani, misalnya, menanam bibit mangga, disertai setangkup harapan kelak akan tumbuh pohon mangga yang akarnya menghunjam ke tanah, dan cabangnya menjulang ke langit. Kepuasan petani menanam mangga tidak hanya berhenti pada penampakan pohon yang bagus, tapi juga pada kualitas buah yang dihasilkannya.
Tak ada gunanya, jika pohonnya bagus, namun sama sekali tak menyuguhkan buah. Jika buah tersebut telah menggantung di sela-sela ranting, maka bagaimana rasa buah tersebut tatkala sudah matang? Iya, hanya ketika mangga telah matang, orang bisa menikmatinya dengan bergembira. Tak usah menikmati, membayangkan saja rasanya langsung ngiler.
Ingatlah, pernikahan digelar sebagai laboratorium yang melatih jiwa agar kita menjadi lebih matang. Disana, kita akan belajar bagaimana mengolah jiwa, mengendalikan diri, menciptakan sudut pandang, bersabar, ridha, dan bersyukur. Semuanya bisa dilatih dengan efektif dalam keluarga.
Pernikahan, kadang bisa mengubah cara berpikir seseorang. Sebelum menikah, bahagia—dikira—didapatkan dengan hadirnya wanita yang cantik, kaya, dan punya kedudukan tinggi di masyarakat. Namun setelah menikah, ternyata ketakwaan-lah yang menjadi syarat untuk mendulang kebahagiaan.
Tanpa ketakwaan, pernikahan tak ubahnya seperti rumah mewah yang rangka-nya rapuh dan mudah ambruk. Tengoklah pasangan artis yang pernikahannya dihelat bak pangeran. Akan tetapi, pernikahan tak bertahan lama. Tiba-tiba diserbu dengan isu yang bergulir cepat. Sangat viral. Dalam waktu singkat, rumah tangga terbakar isu miring, dan akhirnya terkapar dalam perceraian yang menyakitkan.
MERAWAT KEBAHAGIAAN
Rumah tangga sebagai tempat yang paling efektif dan kondusif dalam menumbuhkan dan mematangkan jiwa. Iya, yang paling banyak berkontribusi pada pembentukan jiwa seseorang adalah keluarga.
Dari keluarga yang baik, insyaAllah akan lahir generasi-generasi yang baik. Dari keluarga ulama, kemungkinan besar akan muncul generasi ulama. Keluarga berlatar belakang artis akan melahirkan artis pula.
Intinya, keluarga memiliki peran besar pada pembentukan mental dan sikap seseorang. Selain itu, orang akan dipertemukan dengan sosok yang punya kecenderungan sama.
Karena saking signifikannya dalam membentuk generasi dan umat, mencari pasangan tentu menjadi perhatian utama.
Apa saja yang perlu kita persiapkan untuk membina keluarga bahagia? Sakinah, mawaddah, warahmah. Selain kesiapan mental, tentu ada beberapa hal yang harus dimiliki.
Terkait ini, saya sampaikan sebuah nasihat klasik yang biasa diwedar oleh Guru Mulia. Meski sering diulas berulang dalam kajian beliau, nasihat klasik ini sama sekali tak membikin bosan, seperti tidak bosannya menikmati musik klasik.
Pertama : cinta. Bagaimana mungkin pohon akan tumbuh, apalagi berbuah, jika kita tak menyediakan bibitnya? Pernikahan bukan seremoni yang dipaksakan. Hanya karena dikenal kaya raya, misalnya, lalu dengan mudahnya seseorang meminang seorang putri. Seolah cinta bisa dibeli dengan uang.
Sekali lagi, cinta tak bisa dipaksakan. Karena apapun yang dipaksakan akan selalu berakhir tidak baik. Dua sejoli yang hendak mengikat tali suci harus saling mencintai satu sama lain.
Pernikahan serupa dengan perjanjian. Ketika dua orang hendak mengikat perjanjian haruslah bebas dari tekanan dan paksakan. Kudu sama-sama rela dalam mengikat dan menjalani perjanjian tersebut. Begitu juga dalam pernikahan, kedua calon haruslah saling mencintai. Setidaknya saling menerima.
Sebagian yang lain, ada yang menerima calon yang diajukan oleh orang tuanya, misalnya, tapi dia sendiri belum punya rasa cinta yang kuat karena terbatasnya waktu pengenalan dan interaksi yang dibina. Meski cinta belum bersemi pada lelaki pilihan orang tuanya tersebut, dia meyakini lelaki tersebut baik untuknya. Pilihan orang tua insyaAllah akan berakhir baik.
Cinta memang tak bisa dibentuk secara tiba-tiba, melainkan perlu melalui sebuah proses interaksi yang terus berjalan. Seiring berjalannya waktu, cinta akan terbentuk.
Setelah pernikahan dihelat dan seiring bergulirnya waktu, pelan-pelan cinta itu mulai bersemi di jiwanya. Apalagi, setelah Allah anugerahi dua buah hati, semakin besar cintanya pada sang suami. Bahkan, cinta yang dia rasakan selalu menyegarkan jiwa. Meski lama hubungan dijalin, namun nikmat cinta baru dirasakannya, seakan akad nikah baru saja dihelat.
Ingatlah, cinta inilah yang membentuk surga dalam rumah tangga. Bayangkan, bagaimana rasanya jika sedang ngobrol dengan orang yang ‘klik’ dengan Anda? Tentu saja, Anda bisa berlama-lama ngobrol dengannya.
Lain halnya, jika bertemu dengan orang yang tak Anda kenal, tidak se-chemistry, apalagi yang selama ini dibenci, tentu saja bukan kebahagiaan yang didulang, melainkan penderitaan. Pernikahan dengan orang yang tidak dicintai bukan membesarkan hati, melainkan memakan dan menggerogoti hati. Derita tidak hanya dialami oleh orang yang memendam cinta, tapi juga akan dialami oleh orang yang mencintai, tapi tidak dicintai.
Imam Syafi'i dalam Diwan beliau mengungkapkan:
“Adalah bencana saat kau mencintai orang yang tak mencintaimu”.
0 comments