Mengapa Perlu Tarekat?
31 July 2022
Bukankah Islam sudah sempurna? Cukup menegakkan syariat dengan kaffah, kita akan menemukan kebahagiaan? Apalagi tarekat tidak ada di zaman Nabi Muhammad. Bagaimana mungkin kita menambah-nambahi dengan ajaran yang tidak ada di zaman Nabi?
Ungkapan seperti ini sering kita dengar, juga kita baca. Walhasil, orang merasa cukup dengan syariat. Syariat adalah perkara tampak oleh mata, terdengar oleh telinga, dan bisa teraba.
Akan tetapi, manusia tidak hanya terdiri dari perkara yang sifatnya empirik. Terlihat oleh mata. Ada perkara yang tak bisa diindra oleh mata lahir, hanya bisa ditangkap dengan mata batin.
Shalat, misalnya. Di sana tak hanya terdapat amal fisik, berupa gerakan yang terangkai dalam shalat. Ada juga amal qauli, dalam bentuk ucapan. Beberapa zikir yang menyertai setiap gerakan shalat.
Selain itu, juga terselip perihal yang tidak tampak. Terselubung di hati yang dalam. Di relung jiwa. Apa itu? Itulah khusyuk.
Selagi kita belum menemukan khusyuk dalam shalat, sudah barang tentu kita tak mengunduh kebahagiaan dalam shalat. Sayyidina Muhammad Saw menyampaikan pada Bilal:
ارحنا يا بلال (Arrihna Ya Bilal - Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan shalat)
Ucapan tersebut mengirimkan sinyal bahwa kebahagiaan direguk oleh Sayyidina Muhammad Saw tatkala shalat. Khusyuk—memang—tidak terlihat, tapi sangat nyata dirasakan oleh hati.
Di saat shalat, seseorang yang semula hatinya merasa gersang dan kering, lalu tiba-tiba seperti mendapatkan tetesan embun pagi. Dingin dan sejuk. Dialiri kebahagiaan yang tak sanggup dilukiskan.
وجدت قرة عين في الصلاة (Dan dijadikan bagiku shalat sebagai permata indah)
Melalui hadist tersebut, Rasulullah Saw hendak mengekspresikan ahwal batin yang diserap tatkala menegakkan shalat.
Shalat dipandang sebagai pemantik “kebahagiaan” bagi batin. Kalau Anda sedang terkapar dalam kesedihan, maka datanglah pada Allah, maka mata air kebahagiaan akan terus memancar.
Ketahuilah, khusyuk bukanlah ilmu juga bukan amal. Tapi disebut sebagai hal yang meliputi hati. Keadaan batin seperti ini tidak cukup dipelajari lewat buku, atau pengajaran biasa. Akan tetapi, diunduh melalui pergaulan dengan orang yang juga khusyuk.
Karena itu, mengapa dalam tarekat dibutuhkan seorang guru. Karena ilmu sebenarnya bukan apa yang tersurat dalam lembaran kitab. Melainkan keadaan batin yang tergenang dalam hati.
Di zaman Rasulullah Saw, tidak muncul tarekat. Namun dipraktikkan dalam keseharian para sahabat. Bagaimana sahabat tidak terlalu terpukau dengan dunia. Karena mereka telah memandang Sayyidina Muhammad Saw sebagai anugerah yang besar.
Di saat menatap wajah Rasulullah Saw, sontak sahabat menyerap keadaan batin yang luar biasa. Segala penyakit hati menyingkir dan terkikis dari dalam hati.
Iya, syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat telah menyatu pada diri Nabiyuna Muhammad Saw.
Kini, kita berada di zaman yang nyaris rusak. Dibutuhkan hadirnya “teknologi” untuk memperbaiki hati, berlanjut kemudian pada perbaikan moral.
Bahagia hanya didapatkan oleh orang yang bertakwa kepada Allah. Membentuk ketakwaan tidak cukup hanya dengan menjalani syariat, tapi menembus pada amal hati. Bagaimana memiliki daya untuk membersihkan hati.
Amatilah, kesemua ibadah diterima tidaknya sangat bergantung dari niat. Niat memancar dari hati. Jika hati baik, insya Allah yang akan menjelma adalah perbuatan dan sikap yang baik. Sebaliknya, bila hati buruk, maka akan merembet pada buruknya perbuatan dan sikap hidup yang diambil.
Kita tak bisa memungkiri orang sudah melakukan shalat, zakat, puasa, dan haji, tapi belum tampak sama sekali perubahan. Berkali-kali naik haji, tapi tetap saja membawa kesombongan, iri dengki, dan pengin diapresiasi di mana-mana. Ada orang yang bergelar haji, tapi lihai menipu setiap relasi bisnisnya.
Tentu saja bukan subyek ibadahnya yang salah. Akan tetapi, hatinya yang perlu dibenahi.
Bagaimana shalat misalnya, bisa berdampak, sementara shalat tidak disertai ingat pada Allah. Shalat dipandang sebagai kewajiban dan ritual belaka. Padahal, kita disuruh menegakkan shalat agar mengingat Allah.
واقم الصلاة لذكري Artinya:”Maka sembahlah Aku dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.(Surat Thaha Ayat 14)
Pertanyaannya, apakah dalam shalat-shalat kita termuat ingat pada Allah? Atau kosong dari mengingat Allah? Memang, dilihat dari sisi syarat dan rukunnya, shalat sudah terpenuhi. Terkait ingat atau menyadari kehadiran Allah melintas di takbir pertama. Berikutnya tak membekas. Bahkan lebih banyak mengingat perkara di luar shalat.
Dilihat dari sisi syarat dan rukun, shalat kita dipandang sah. Namun apakah shalat yang kita dirikan mencetuskan perubahan ke dalam jiwa kita? Apakah shalat telah efektif menjauhkan kita dari perkara yang keji dan mungkar? Apakah kita telah berhasil mereguk kebahagiaan melalui shalat?
Karena shalat dipandang belum berdampak bagi berubahnya jiwa, maka perlu sebuah suplemen spiritual yang membuat shalat semakin bernyawa. Tentu tanpa menggusur syarat dan rukun shalat.
Sebuah amalan yang lebih ditekankan untuk hati, bagaimana caranya—setidaknya—di setiap gerakan shalat kita terilhami untuk mengingat Allah. Bagaimana bisa merasakan kehadiran Allah di dalam shalat. Seakan tanpa jarak.
Perkara ini tentu melalui bimbingan seorang guru yang telah tercelup suasana batin seperti itu. Seorang guru yang tidak hanya membaca secara riwayat apa yang dilakukan Sayyidina Muhammad Saw. Perlu juga disokong oleh pemahaman secara dirayah. Melihat langsung.
Dahulu seorang sahabat melihat Rasulullah Saw bagaimana shalat, lalu tersambung pada kita hingga sekarang.
Amatilah, tidak berkurang orang yang menjalani shalat. Berjamaah lagi. Sunnah-sunnah Nabi yang bersifat lahiriah dijalani. Akan tetapi, semua ibadah hanya berhenti sebagai penampilan, seremoni, dan gebyar yang disaksikan mata. Belum berlanjut pada transformasi jiwa.
Dahulu, ada orang yang mengaku sebagai sosok yang menegakkan sunnah, tapi nyatanya terperosok dalam korupsi. Sebuah realitas paradoks dan mengalami titik paradoksal. Penegak sunnah, tapi menerabas yang haram.
Lantas bagaimana peran tarekat agar agama bernyawa. Tarekat bukan hanya menyajikan cara beragama. Tapi juga mentransfer nur atau value agar agama terasa hidup.
Shalat, misalnya, tidak berhenti pada sebuah gerakan fisik. Melainkan menjadi jalan bagaimana menjalin konektivitas jiwa dengan Allah. Merasakan bahwa Allah betul-betul hadir di medan hati.
Setiap shalat yang berisi zikir pada akhirnya akan membuahkan rasa syukur. Shalat yang benar secara hakikat berdampak pada lenyap keluhan. Justru yang meluap rasa syukur yang tidak ada habis-habisnya.
Zakat bukan hanya memberi. Tapi membentuk mental bahagia menyaksikan orang lain bahagia, dan empati dengan derita yang menimpa orang lain. Jika masih ada di antara kita telah menunaikan zakat, tapi kedengkian masih saja bersarang di hatinya, maka boleh jadi nyawa zakat belum merasuk di relung jiwa.
Intinya, tarekat hanya teknologi spiritual agar agama tak sebatas jadi tampilan lahiriah, tapi menjadi hiasan batin. Agama jadi oase yang sangat luar biasa untuk membawa kebahagiaan bagi batin.
Jika ada orang yang rindu dengan kebahagiaan, maka mereka bertanya pada agama bagaimana menyerap energi bahagia.
Tarekat mengajarkan kita beragama dengan tulus. Karena dengan ketulusan itulah, kita akan merasakan kebahagiaan. Ketulusan mengandung kepolosan, kelurusan, kemurnian, kebenaran, dan kesejatian. Hadirnya pola pemahaman seperti itu akan membawa kita pada zona damainya jiwa.
Dengan syariat, orang menanti kebahagiaan kelak di surga. Kita mungkin pernah mendengar sebuah ungkapan, “tak mengapa menderita di dunia, asalkan di akhirat bahagia.” Atau menggunakan falsafah, “berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”
Orang yang menautkan hati, dalam artian patuh pada syariat, insya Allah dia akan selamat, dan kelak mendapat kenikmatan surga. Sementara orang yang menempuh tarekat, diharapkan kebahagiaan tak perlu menanti di akhirat. Di dunia telah merasakan kebahagiaan.
Bahagia tak perlu lagi menanti sebagai akibat dari beramal. Di dalam menjalani amal, dia telah menyerap kebahagiaan.
Kalau dalam perjalanan, kita biasanya shalat. “Ayo ayo shalat, biar tenang. Habis ini, tak perlu mikirin shalat lagi.” Menempatkan shalat sebagai beban yang kudu dilaksanakan. Jika sudah mendirikan shalat, beban sudah tertunai. Tenang pun dirasa hati.
Jadi, tenangnya hati tak dirasakan dikala shalat, melainkan ditemukan bakda menuntaskan shalat.
Sementara tarekat menjanjikan kebahagiaan ketika sedang melakukan shalat. Terasa sedang berada di medan munajat dan tawajuh pada Allah.
Jika syariat memandu orang agar patuh mengikuti rules yang ada. Sementara tarekat membimbing seseorang merasakan hakikat dari syariat yang dilakukan.
Syariat dan tarekat sama-sama dibutuhkan, seperti dibutuhkannya jasmani dan ruhani secara utuh. Jika hanya menekuni syariat, tanpa ada tarekat (hakikat), seseorang rentan jadi fasik. Sebaliknya jika menggalakkan tarekat (hakikat) saja tanpa disertai syariat, seseorang akan cenderung jatuh dalam zindiq.
Hanya orang yang bisa memadukan syariat dan hakikat secara integral, maka dia telah menggapai shiddiq.
Source:
Tulisan by Ustad Khaliel Anwar
Images by www.freepik.com by GarryKillian
0 comments