-->

Nabi Ismail as : Teladan Penyerahan Diri

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Nabi Ismail as : Teladan Penyerahan Diri

07 July 2022

Nabi Ismail as : Teladan Penyerahan Diri

07 July 2022



Puncak cinta bukan lagi ucapan, untaian kalimat puitis yang disulam indah. Bukan juga janji-janji yang melangit. Kata hanya pintu gerbangnya. Setelah melewati pintu gerbang, kita harus menapaki ruang pembuktian.

Iya, setibanya di mihrab, yang diminta adalah bukti cinta. Pengorbanan. Tanpa pengorbanan yang nyata, cinta sekadar mata uang palsu yang tiada gunanya. Cinta yang hanya bermodalkan kata-kata akan gampang terhempas dan dikikis oleh waktu.

Memang, tanpa ucapan, cinta kurang terasa romantis dan memantik euforia. Akan tetapi, jika berhenti pada ucapan saja, maka cinta sama sekali tak mengalirkan makna dan pengalaman indah bagi jiwa. 

Kita akan menemukan kisah heroik dari cinta pada Allah melalui tiga sosok inspirasional. Nabi Ibrahim as, Siti Hajar, dan Nabi Ismail as. 

Pada kesempatan ini, saya pengin mengulas ihwal nyala cinta yang membakar jiwa Nabi Ismail. Dia telah ditempa dengan pengalaman tauhid yang demikian dahsyat. Semenjak bayi, dia telah ditinggal berdua bersama ibundanya tercinta, yakni Siti Hajar.

Bayangkan, meski hanya berdua, Siti Hajar punya keyakinan bahwa Allah selalu menyertainya, memberikan jaminan, dan juga perlindungan yang kokoh pada mereka berdua, meski dia “terdampar” di ruang terbuka yang tandus. 

Walau tidak hidup di istana yang berbenteng kokoh, keduanya telah merasa berada dalam benteng Allah yang kokoh. Tidak seorang pun mampu menembus benteng tersebut kecuali Allah mengizinkan. 

 

Oleh karena itu, sedari awal bermukim di Makkah, Siti Hajar juga Ismail yang masih bayi sama sekali tidak merasa terancam oleh bahaya apapun. Allah selalu membukakan jalan dalam setiap masalah yang menemuinya. 

Bahkan, kembali pada kisah bayi bernama Ismail. Dia menggerung keras dikarenakan terserang rasa haus. Siti Hajar pun bergerak mencari air antara Sofa dan Marwa. Akan tetapi, beliau tidak juga mendapatkan air yang dicarinya.  

Walau tidak segera menemukan, optimisme dan keyakinannya akan kebaikan Allah telah meruahi jiwa Siti Hajar. Tidak berkurang sedikit pun. Walhasil, air yang dia cari tidak jauh dari tempat keduanya berteduh. Air tersebut memancar oleh karena dihentak  kaki Ismail. 

Betapa besarnya kegembiraan yang memenuhi hati Siti Hajar. Karena dia telah menemukan sarana yang  membuat keduanya bisa bertahan hidup di padang yang tandus. Mata airnya terus memancar tanpa henti. Sehingga terbuatlah kanal air yang bisa memberi manfaat yang lebih luas. Burung-burung beterbangan di atasnya. Kadang-kadang menukik untuk mereguk  air yang segar tersebut. 

 


Sehingga kemudian datanglah kafilah Bani Jurhum yang sedang melakukan perjalanan dagang. Mereka juga sedang terserang rasa haus yang luar biasa. Tidak jauh dari tempat mereka berjalan, mereka menyaksikan  burung-burung beterbangan. Mereka yakin bahwa di sana ada kehidupan yang bisa memberi solusi terhadap masalah yang dialaminya. 

Mereka mendekat pada wilayah yang dilihatnya. Makin dekat pada tujuan, kian tampak pula di sana ada kehidupan. Selain itu, mereka bukan hanya menemui burung yang saling bersahut-sahutan. Ternyata di sana ditemukan seorang ibu bersama anaknya. Keduanya, rupanya, telah lama bermukim di tempat tersebut.

Pada mulanya, perasaan cemas sempat menyergap Siti Hajar. Akan tetapi, perasaan itu dia usir jauh-jauh. Ternyata, sesuai dengan yang dia yakini, kafilah yang mendekat dan mampir ke pemukimannya berlaku sangat ramah. Mereka, bahkan, memberi Siti Hajar beberapa hadiah sebagai tanda terima kasih mereka telah diberi kesempatan meneguk air zam-zam. 

Setelah beberapa lama tinggal di pemukiman Siti Hajar, mereka pamit meneruskan misi dagangnya. Dan sebagian dari mereka minta izin untuk menetap di pemukiman tersebut. 

Permohonan sebagian mereka untuk menetap di situ membuat Siti Hajar merasa senang. Artinya, dia tak lagi hidup berdua dengan anak semata wayangnya. Kini, dia membangun kehidupan bersama yang terjalin dalam komunitas. Terbentuk semangat saling tolong menolong satu sama lain. 

 


Ismail—dari hari ke hari—tumbuh makin besar, gagah, dan tangkas. Dia belajar berbagai macam bentuk olahraga. Salah satunya memanah. Dia hanya mendengar kisah-kisah inspiratif tentang ayahnya. Nabi Ibrahim as. Cerita sang Ayah yang disajikan dengan apik oleh Siti Hajar menggelora kerinduan Ismail pada Nabi Ibrahim as.  Dia bukan hanya rindu pada sang Ayah, juga menanti kapan pertemuan itu tiba? Karena kerinduan yang menggoncang jiwanya sudah tak lagi bisa ditahan. 

Ismail as sering berlatih memanah. Sehingga tibalah momen yang sangat mendebarkan. Momen yang menghadirkan keharuan yang tak tergambarkan. Nabi Ibrahim mendatangi tempat di mana beliau meninggalkan dua buah hatinya. 

Dia sempat bertanya-tanya, apakah kedua orang yang disayangi masih tinggal di situ, atau sudah tidak ada. Sehingga pandangannya tertumpuk pada sosok pemuda yang sedang memegang busur. Dia terlihat berotot, tentu saja bertampang ganteng. 

Nabi Ibrahim bertanya di hati, siapa pemuda itu. Bapak Tauhid ini pun mendekati Ismail as. Menatap lekat-lekat wajah orang yang berdiri di depannya, Nabi Ismail as sangat yakin bahwa dia adalah sosok yang selama ini sering diceritakan oleh ibundanya. Karena keduanya belum saling mengenal, maka Ismail mengajak Nabi Ibrahim menemui ibundanya. Ibrahim as melangkah dengan semangat menuju gubuk Siti Hajar. 

Seketika bersitatap dengan Siti Hajar, maka kebahagiaan segera membanjiri hati Nabi Ibrahim as. Demikian juga yang menghiasi hati Siti Hajar. Betapa bahagianya Siti Hajar, karena orang dinantinya dengan sejuta kerinduan, bercampur antara harap dan cemas, kini telah berdiri di hadapannya. Mendadak rumah Siti Hajar berlimpah cahaya kebahagiaan. 

Tak kalah bahagianya, karena Nabi Ibrahim bukan hanya bisa menemui istrinya, Siti Hajar. Melainkan dia juga menyaksikan—dengan penuh kebanggaan—anaknya, bernama Ismail. Segala kerinduan yang memenuhi relung jiwanya terbayar sudah. 

 


Seluruh kehidupan Nabi Ibrahim dan keluarganya adalah dakwah. Menyebarkan risalah dari Allah. Beliau menemui keluarga bukan untuk santai. Atau istirahat sejenak dari tugas kenabian. Karena seluruh gerak-gerak beliau berada dalam kendali, berdasarkan perintah Allah. Karena itu, beliau tiba kembali di Makkah disertai perintah Allah. Apa perintah-Nya? Allah perintahkan beliau untuk memugar Ka’bah yang sudah lama runtuh oleh karena  dihantam banjir. 

Meski sudah lama runtuh, batu-batu yang pernah ditata buat bangunan Ka’bah masih ada. Meski berserakan di mana-mana. Disebutkan batu-batu bekas bangunan Ka’bah tampak memancarkan cahaya. Karena itu, Nabi Ibrahim tak perlu menduga mana batu yang dulu dipergunakan untuk membangun dinding Ka’bah. 

Tanpa menunggu waktu lama, Nabi Ibrahim as mengajak putranya, Ismail, untuk membangun kembali Ka'bah. Dengan senang hati, Nabi Ismail membantu sang ayah. Tentu saja bukan hanya memugar ka'bah secara fisik, melainkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menyelipkan doa-doa di dalamnya. Sehingga Ka’bah sampai hari ini membawa keberkahan. Dijadikan medan tawaf oleh banyak orang sepanjang sejarah.

Meski dalam perjalanannya sempat dijadikan tempat thawaf oleh orang yang tersesat dan bodoh. Bagaimana sebagian orang berpesta di sekitar Ka'bah dengan tidak mengenakan sehelai benang pun.

Setelah berhasil memugar kembali Ka'bah, tiba-tiba datang satu perintah yang mengejutkan. Nabi Ibrahim as bermimpi mendapat perintah untuk mengorbankan putranya, Ismail. Bayangkan, jika ada cinta pada selain Allah yang menggumpal di hati Nabi Ibrahim dipadatkan, maka cinta terbesar terarah pada Nabi Ismail. 

Bukankah Ismail sebagai  penantian panjang, sebagai doa-doa yang sering dilangitkan oleh Nabi Ibrahim as. Tentu saja kecintaan Nabi Ibrahim—jika tertuju pada selain Allah—maka terkristalisasi pada Nabi Ismail. Dikala baru saja menikmati kebersamaan dengan Ismail, Allah justru menurunkan perintah agar Ismail dikorbankan.  

Datangnya mimpi tersebut sama sekali tak membikin Nabi Ibrahim as mengalami kedukaan yang mendalam. Karena yang memerintahkan adalah Zat yang paling dicintainya. Allah Swt. Dari dirinya sudah siap mental menghadapi kenyataan akan ditinggal selamanya oleh Nabi Ismail. Hanya saja, apakah Nabi Ismail mau menerima, mematuhi, dan legowo dengan perintah Allah? Sikap itulah yang masih dinanti oleh Nabi Ibrahim as.

Diajaklah—kemudian—Ismail untuk memusyawarahkan perintah Allah tersebut. Di luar dugaan, ternyata Nabi Ismail as sama sekali tidak keberatan dengan perintah tersebut. Asalkan perintah Allah, maka segala persoalan sama sekali tak memberatkan. Seperti Allah gambarkan dalam QS. Ash-Shaffat: 102.

 


Memang, cinta menuntut pengorbanan.  Cinta meminta segalanya dari kita. Bukan hanya tenaga, harta, tapi juga meminta jiwa kita. Meminta segala apa yang kita cintai.

Di hati manusia tidak berhimpun dua cinta secara bersamaan. Jika cinta pada Allah sangatlah kuat, maka segala bentuk cinta tersingkir dari hati. Begitu sebaliknya. Ketika cinta pada selain Allah sangat dominan, maka cinta pada Allah melompat dari hati. Cinta selalu jadi alasan mencintai yang lain. Mungkin saja kita mencintai “sesuatu”, maka perlu dipastikan tidak berselisih dengan cinta tersebut. Cabang tak boleh bertentangan dengan pokoknya. 

Memang, Ibrahim as menaruh cinta yang teramat pada Ismail as. Dia telah menggadang-gadang pemuda tersebut sebagai pelanjutnya kelak. Akan tetapi, ketika Allah—sebagai satu-satunya Zat yang dicintainya—meminta anak yang dia cintai dijadikan korban, maka baginya pantang menolak. Dia tak memiliki pilihan lain di atas pilihan Allah.

Ismail as yang masih belia dianugerahi keberanian moral untuk mengorbankan dirinya karena Allah. Dia tak mempersoalkan, lehernya akan dipenggal oleh tangan ayahnya sendiri. Dia telah berserah diri total pada Allah. 

Sehingga tibalah peristiwa ajaib, pisau yang digunakan untuk memenggal Ismail as tiba-tiba tidak mempan melukai lehernya. Pisau itu telah diasah, diyakinkan sangat tajam. Akan tetapi, tiba-tiba terasa tumpul. 

Dari sini, kita memetik sebuah pelajaran indah. Sebab tidak memiliki korelasi pasti dengan akibat yang dihasilkan. Sebab hanyalah sebentuk persepsi yang menciptakan akibat. Antara sebab dan akibat terselip masyiatullah. Kehendak Allah. Buktinya, jika Allah tak berkehendak, pisau yang sangat tajam tak sanggup melukai Nabi Ismail meski hanya sedikit.

Anehnya, setelah menyerahkan diri dengan total, Allah suguhkan keajaiban. Alih-alih Nabi Ismail berhasil dikorbankan, malah diganti dengan kambing dari surga. Allah selalu memungkasi kehidupan orang yang berserah diri dengan kepuasan yang tak terperi.

Tanda kedekatan dengan Allah bukan sekadar beribadah. Bukan hanya menyerahkan tenaga, harta, kedudukan pada Allah. Melainkan rela menyerahkan diri yang menjadi tempat melekatnya segala apa yang kita cintai. Bukankah segala apa yang kita banggakan melekat pada diri? 

Popularitas, kekayaan, ilmu, kedudukan sosial tampak eksis karena ada diri. Jika diri sudah terhempas, kesemuanya hanya menjadi puing-puing sejarah. Mozaik-mozaik kenangan yang telah berlalu. Yang sekadar melintas sejenak di rumah kehidupan kita. 

Karena itu, segala perkara yang menenggelamkan kita di lumpur keakuan harus kita korbankan. Mungkin saja kita tak terlalu memikirkan bagaimana kehidupan diri kita. Karena pikiran kita terserap dalam kecintaan yang besar terhadap istri.

 


Bayangkan, kadang kita tak terlalu dipusingkan urusan diri sendiri. Tapi, ketika menyangkut kebutuhan istri atau anak, baru rasa pening menerjang-nerjang pikiran kita. 

Karena itu, jangan biarkan hadirnya cinta pada yang baru memupus cinta kita yang primordial, pada cinta yang suci. Yakni cinta pada Allah. Cinta yang baru haruslah senafas dengan cinta pada Allah. Kita boleh kehilangan cinta yang baru (hudus), tapi tak boleh kehilangan cinta yang primordial (qodim) dan kudus ini. 

Di jalan cinta kepada Allah, kita bukan hanya mengorbankan harta, tapi juga mengorbankan jiwa. Bahkan mengorbankan pengorbanan. Semakin tinggi pengorbanan seseorang, maka peluang memeroleh kemuliaan pun makin besar.

Iya, kemuliaan seseorang tidak terkait oleh apa yang dia dapatkan, melainkan terkait oleh seberapa besar yang dikorbankan dan dilepaskan. Makin besar pengorbanan, maka peluang kemuliaan lebih besar.  

Ketika orang mengorbankan harta, dia bukan hanya memeroleh kemakmuran di akhirat. Tapi juga mendapatkan kesejahteraan di akhirat. Siapa yang mengorbankan atau melepaskan diri, maka Allah akan memberikan Diri-Nya. Alias meraih kedekatan sedekat-dekatnya dengan Allah Swt.

Cinta membuat orang rela kehilangan segalanya. Harta dan jiwa hilang oleh karena cinta sebuah kebanggaan tersendiri. Tak mengapa kehilangan harta dan diri, asalkan mendapatkan ridha Allah. Dan siapa yang telah mendapatkan Allah, sejatinya dia telah mendapatkan segalanya. Bukankan Allah pemilik dunia dan akhirat? Siapa yang dekat dengan pemiliknya, maka dia telah mendapatkan semuanya. Sementara orang yang mendapatkan dunia dan akhirat belum tentu memeroleh ridha Allah.


BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang