Tasyriq: Hari Pencerahan
13 July 2022
Perhatian kita lebih tertuju pada Hari Raya Idul Adha. Lalu, lepaslah perhatian kita terhadap tasyriq yang terdiri dari tiga hari.
Mungkin, jarang di antara kita merenunginya. Apalagi di dalamnya terkesan tidak istimewa. Hanya takbir saja yang dianjurkan untuk dilantunkan di hari-hari itu. Termasuk juga kurban. Puasa tidak boleh. Bahkan, tingkatannya, dilarang.
Jarang terselip pertanyaan, untuk apa kita harus menjalani tasyriq? Ingatlah, tasyriq berarti sebuah pemancaran. Allah sedang mentajallikan sifat-sifat-Nya. Tentu saja, tajalli sifat-Nya akan Allah titipkan di hati yang tidak hanya bersih, tapi juga dihias dengan sifat-sifat baik.
Bersihnya hati ditandai dengan tersingkir atau terkikisnya tiga penyakit hati yang rentan menggerogoti hati. Selagi tiga penyakit hati mendekam di hati, manusia juga akan terhalang menyerap rasa damai. Penyakit apa itu?
Saya sudah mengabarkan dalam tulisan-tulisan saya bahwa tiga penyakit hati tersebut sebagai saripati dari bermacam penyakit hati yang rentan menyerang hati.
Tiga penyakit hati—sebagaimana kita maklum—adalah sombong, dengki, dan riya. Ketiga penyakit hati tersebut bagaikan tutup bagi kita untuk bisa mereguk kebahagiaan.
Sombong menghalangi manusia meraih salam. Keselamatan jiwa. Sehingga masih sering dihantui derita.
Dengki menghalangi kita menyerap cinta tanpa syarat dan tanpa batas. Padahal, hanya dengan cinta, seseorang bisa merasakan kebahagiaan. Cintalah yang menggerakkan untuk berbagi—memberi—dan memaafkan. Kebaikan terus meluncur dari orang yang hatinya digenangi cinta.
Sementara jika ada orang yang membidikkan keburukan padanya, dia telah menyediakan hati yang lapang untuk memaafkan. Walhasil, perbuatan jahat orang takkan sanggup menyakiti hatinya.
Memaafkan bukan hanya menyelamatkan orang lain dari hukum karma. Namun juga menyelamatkan diri sendiri dari kebencian yang menggerogoti kebahagiaan. Sosok seperti seperti bunga yang menyerap, sekaligus menebar cinta.
Tentu bukan hanya selamat dan meraih cinta. Bagaimana hati kita juga menjadi mata air yang terus-menerus mengalirkan kebaikan yang alami, dan abadi.
Kebaikannya tidak hanya tersalur pada orang yang berbuat baik padanya. Pada orang yang berbuat jahat tak terhalang menerima kebaikannya. Setidaknya selalu berada dalam doa-doanya.
Orang yang telah dalam medan ini, tidak pernah sibuk dengan urusan orang lain, tapi dia fokus bagaimana berbagi kebaikan pada orang lain. Keadaan ini diterima oleh orang yang telah berhasil menghilangkan riya yang menggerogoti hati.
Kebaikan yang dibagikan tak lagi berharap mendapat balasan atau terima kasih dari makhluk. Dia fokus memeroleh ridha dari Allah. Karena meraih ridha Allah berarti telah mendulang segala-galanya. Dengan adanya ridha Allah, kebahagiaan tak pernah kering. Terus memancar dari sumur jiwa.
Bayangkan, tanpa sombong, hati sudah selamat. Takkan mudah menyakiti orang lain. Tentu saja tak mudah sakit. Tanpa kedengkian, hati akan mudah memandang orang lain dari sudut pandang cinta. Sehingga ikut bahagia menyaksikan orang lain bahagia. Merasa sedih—pula—ketika melihat orang lain sedih. Merasa terjalin dalam satu hidup, alias satu rasa.
Terakhir, dikala hati telah terbebas dari riya, maka kebahagiaan tak lagi berjarak. Dia menikmati sekarang dan di sini. Ketika berbuat baik pada sesama, karena tanpa pamrih, maka bahagia mekar seketika itu juga. Tak usah menunggu waktu.
Sosok seperti itu tak berharap apapun dari selain Allah. Dia merasa sudah senang dengan berbuat baik pada sesama. Tak peduli orang mau balas kebaikannya atau tidak. Mau berterima kasih padanya atau tidak. Karena orientasi hidupnya lurus lagi kokoh, yakni mendapatkan ridha Allah.
TAHAP KEDUA
Meski bersihnya hati dengan ketiga penyakit hati telah membawa manusia menuju medan kedamaian, tetap masih belum cukup. Karena kita tak hanya butuh damai, tetapi juga bagaimana turut mereguk kepuasan.
Diperlukan langkah berikutnya agar kepuasan meluapi jiwa. Berupa langkah menghiasi hati dengan sifat-sifat baik.
Kalau Anda disuruh mencatat sifat-sifat tentu saja banyak macamnya. Agar tak terlalu susah meraba kebaikan tersebut. Apalagi kemudian disuruh menghias satu per satu ke dalam hati kita, tentu saja Anda akan mengalami kerepotan.
Anda hanya perlu menangkap sekaligus memahami induk dari sifat baik tersebut. Jika satu sifat ini telah terikat dalam hati, maka sifat-sifat baik yang lain akan ikut “berkerumun”, menghiasi hati kita.
Induk sifat baik yang dimaksud adalah ridha dengan segala macam takdir Allah yang ditetapkan kepada Anda. Mungkin di hati Anda terselip pertanyaan, bagaimana caranya agar kita ridha?
Ridha tidak otomatis menjadi respons Anda terhadap setiap peristiwa yang terjadi. Ridha Anda sangat terkait oleh pengenalan Anda pada-Nya. Makrifatnya Anda pada Allah.
Menghunjam keyakinan dalam jiwa bahwa segala kenyataan yang bertebaran di ruang kehidupan Anda berasal dari Allah. Tak ada satupun yang berasal dari selain-Nya. Sementara Allah adalah kebaikan mutlak. Kebaikan-Nya tak bisa Anda pertanyakan lagi.
Memang, takdir yang tersaji di hadapan kita terlihat dualisme. Tampak baik, juga tampak buruk. Sebagian ada yang memeroleh nikmat, sebagian yang lain diterpa musibah.
Di sisi lain, orang sedang bergembira dan euforia dikarenakan baru memeroleh kedudukan yang keren. Sementara yang lain, sedang kehilangan kedudukan. Bukan hanya kehilangan kedudukan, bahkan harus menerima dirinya terkapar dalam kehinaan.
Dulu, dia memanen berjuta pujian. Dan kini keadaan berbalik, berjuta hinaan membanjirinya.
Penampakan di luar berbeda. Akan tetapi ketahuilah, keduanya sama. Sama-sama berasal dari Allah Yang Mahabaik. Kemasannya (shurah) berbeda, tapi isinya (haqiqah) sama-sama baik. Akhirnya sangat tergantung pada respons kita.
Musibah, misalnya, secara lahir tentu saja tidak kita inginkan. Tapi, kita berkeyakinan bahwa musibah berasal dari Allah. Iya, berasal dari Allah Yang Mahakuasa. Allah hempaskan kita ke medan musibah demi kebaikan kita.
Tak sedikit orang ketika diluberi kelapangan dan kemudahan jadi lupa dan jauh dari Allah. Sehingga Allah menimpakan musibah padanya, hatinya jadi condong pada Allah. Lisannya pun lebih mudah memanggil-manggil Allah.
Tak sedikit orang, baru sadar bahwa dia punya hajat pada Allah ketika diterpa musibah. Sebelumnya dia terbuai oleh kelapangan yang diterimanya. Dan lupa pada Allah.
Dari sini, kita bisa memahami bahwa musibah tidak seluruhnya buruk. Bahkan jadi kebaikan jika dengan lantaran musibah, seseorang jadi dekat pada Allah.
Sebaliknya nikmat mengandung kebaikan atau tidak kembali pada sikap kita jua. Jika dengan nikmat, semakin meningkat rasa syukur kita pada Allah, maka nikmat menjadi baik untuk kita.
Sebaliknya, jika nikmat membuat rasa syukur kita melorot, malah justru yang meningkat ketamakan atau kerakusan, maka nikmat jadi pintu keburukan.
Sekali lagi, baik dan buruk tidak lagi bergantung pada obyek nikmat dan musibah. Secara obyektif, musibah dan nikmat bersifat netral. Sama-sama baik. Keduanya jadi penerbit bahagia atau pemantik derita sangat bergantung pada sikap yang dihadirkan oleh kita sendiri.
Mengapa kita sering terjerat derita oleh karena takdir yang tergelar di hadapan kita? Karena kita sering salah paham, atau bahkan bodoh, tentang Allah. Kalau kita paham tentang kebaikan Allah yang tak pernah berkurang dan terus-menerus, maka kita selalu puas dengan takdir-Nya.
Hadirnya ridha di istana hati kita menandakan bahwa rumah jiwa ini telah dihias dengan sifat baik. Terbitnya ridha mengundang sifat-sifat yang lain ikut menghiasi hati kita.
Sebelum raja atau pejabat tiba di sebuah kampung, biasa dibersihkan dulu di setiap sudut kampung tersebut.
Bukan hanya sudut-sudut terluar, bahkan menjangkau sisi yang terselip dan tak terlihat dari luar. Seperti WC, got, dan segala yang membuat pemandangan tidak indah, dan bau tidak sedap harus dibersihkan.
Setelah dipandang bersih, dilanjutkan pada pengerjaan selanjutnya, yakni penghiasan. Mungkin dijejerkan bunga-bunga di sepanjang jalan yang dilewati raja. Lampu-lampu merkuri berpendar semarak memenuhi jalanan. Kalimat-kalimat pengagungan dipasang di setiap perempatan jalan dilengkapi foto si pejabat. Hiasan-hiasan juga digantungkan di setiap gerbang yang akan dilewati pejabat.
Kedudukan ridha dalam penyambutan hadir atau tajallinya Allah ke dalam hati seperti hiasan yang berjejer di sepanjang jalan menuju singgasana.
Setelah Allah tiba bersinggasana di hati, kita tak usah bertanya apa yang akan Allah wariskan ke dalam hati. Pengalaman makrifat akan direguk. Bukankah bertemunya Allah dengan hamba-Nya bertempat di ruang hati terdalam yang disebut dengan sirr?
Disarankan untuk memeroleh limpahan tajalli yang meruah perlu diiringi dengan syukur yang terus-menerus. Direfleksikan lewat shalawat dan banyak dan memperlama sujud.
TAHAP KETIGA
Ketika Allah bertajalli di hati kita, kita telah dibawa pada pengalaman tauhid, yakni tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, dan tauhid uluhiyah.
Tauhid rububiyah sebentuk kesadaran bahwa Allah satu-satunya pemelihara dan pencipta, sehingga jiwa mudah sekali bertawakkal pada Allah. Kesadaran ini memandu jiwa menyerahkan sebagian urusan pada Allah.
Tauhid mulkiyah sebentuk kesadaran bahwa Allah satu-satunya pemilik, penguasa, dan pengatur kehidupan. Kesadaran ini memandu jiwa untuk menyerahkan seluruh urusan pada Allah. Disebutnya sebagai tafwidh.
Tauhid uluhiyah sebentuk kesadaran bahwa Allah satu-satunya sesembahan. Satu-satunya dicintai. Dan satu-satunya yang dituju. Kesadaran ini memandu jiwa bukan hanya menyerahkan urusan pada Allah. Tapi menyerahkan diri yang punya urusan pada Allah. Disebut dengan taslim.
0 comments