Ferdy dan Farel
25 August 2022
Allah tengah menyuguhkan kepada kita sebuah ‘teater’ takdir dua anak manusia yang ‘sangat hidup’, dan membuat perhatian banyak orang tersedot.
Nyaris beberapa minggu terakhir ini, pikiran kita dibombardir oleh dua berita kece ini, hingga kita seolah menikmati suguhan tersebut. Dari kuli hingga Presiden, tersihir oleh dua berita yang sangat kontras ini.
Ferdy, dikenal sebagai jenderal yang karirnya melejit sedemikian cepat. Dia menguasai jaringan kepolisian, hingga dia menempati tangga karir bergengsi—menurut Wikipedia—sebagai Kepala Divisi Profesi Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Namun, hanya dalam waktu sekejap, tersebab kesalahan yang tak bisa ditolerensi, dia harus rela dicopot dari jabatannya. Bahkan dia diberhentikan. Seolah puncak karir berakhir sangat tragis. Semula jalan lempeng terbentang untuk menaiki tangga karir demi karir, lalu harus meluncur di titik yang paling rendah. Jadi tersangka, lalu mendekam dalam penjara. Tidak berhenti disitu, istri yang dia cintai harus ikut-ikutan terseret sebagai tersangka.
Banyak lagi berita tambahan yang membuatnya semakin terjerat dalam kepedihan. Bagaimana dia diberitakan karena telah berbisnis narkoba, juga punya jaringan judi online. Kesemua informasi terus bergulir, tak bisa dihentikan, semakin menjungkalkan dia pada titik yang paling rendah.
Bayangkan, segala perjuangan yang ditempuh dengan kerja keras, kesuksesannya pun dicapai dengan sangat gemilang, hingga datang masalah yang menghantamnya ini. Dampaknya, segenap capaian yang dia peroleh harus buyar dan lenyap dalam waktu ‘semalam’ -jika tak mau disebut dalam waktu sekejap.
Di sisi lain, kita mendengar kisah mengharukan seorang bocah ingusan yang mengadu nasib dalam kerasnya hidup dengan menjadi pengamen jalanan.
Dia mengais rezeki dengan jalan tersebut. Dia terpaksa hidup sebagai orang dewasa di usianya yang masih anak-anak. Seusia dia harusnya menikmati bermain dan terus mendapati jaminan hidup dari orang tua, tapi dia malah harus menggunakan kaki dan tangannya sendiri untuk bisa bertahan hidup.
Getirnya kehidupan sudah dia hisap dalam-dalam. Hingga waktu pun yang menariknya ke panggung bergengsi. Bukan hanya panggung selebriti, tapi juga dia diberi panggung kehormatan di istana merdeka. Di depan orang nomor satu di negeri ini. Tepat di hari istimewa, kemerdekaan Indonesia.
Bocah ini biasa dipanggil dengan Farel Prayoga. Dia datang menghibur Presiden, para menteri, dan elit istana. Bayangkan, dia sosok yang terselip di ramai dan gaduhnya negeri ini, lalu dalam waktu sekejap menjadi manusia viral dan popular.
Dia yang dulunya bukan siapa-siapa, mungkin saja tak dipandang oleh masyarakatnya. Tatkala pulang kampung, dia disambut bak pahlawan. Sosok yang telah berhasil menaklukkan kehidupan.
Dua fenomena ini patut dijadikan bahan renungan bagi kita.
Pertama : kita tak boleh merasa aman pada takdir yang kita alami. Kenyataan senantiasa berputar, bergulir, datang silih berganti. Tidak ada yang menetap. Karena itu, ketika kita berada di puncak kesuksesan, jangan pernah terbuai, sehingga tergerogoti kesombongan. Karena bisa jadi takdir hanya menyapa sejenak saja, lalu hilang dan berganti dengan takdir sebaliknya.
Allah mudah mengangkat orang pada puncak tangga kesuksesan. Sekaligus gampang sekali—di waktu singkat—menghempaskan ke titik terendah. Allah menanti sikap yang kita pancarkan ketika kesuksesan merubungi kita. Jika kesombongan yang merasuki hati kita, maka Allah akan mengambil nikmat yang Dia berikan, hanya dalam waktu sekejap.
Kita bisa belajar pada Qorun. Bagaimana kekayaan yang dia dulang menempatkannya sebagai sosok yang paling berpengaruh. Banyak orang yang mengimpikan kehidupan seperti yang dialami oleh Qorun.
Namun kekayaan yang ditangguknya alih-alih membuatnya bersyukur, malah membuat dada membusung. Congkak. Tersebab itu, seluruh kekayaan Qorun ditelan bumi. Bukan hanya hartanya, tapi dia juga telah terkubur di bumi.
Atas kenikmatan yang diraih, seharusnya tumbuh rasa syukur di hati kita. Seperti yang diutarakan Nabi Sulaiman as, “Ini adalah karunia dari Tuhanku”.
Kedua :Takdir adalah presentasi ke-mahakuasa-an Allah. Setiap pencapaian kita bukan semata karena usaha keras yang kita tempuh. Karena tidak sedikit yang berusaha dengan keras, tapi sukses tak juga dia gapai.
Jadi, jelas, bahwa sesungguhnya kesuksesan dicapai lantaran pertolongan dari Allah. Jika seluruh pencapaian tersebab pertolongan Allah, maka setiap pencapaian harusnya membawa kita makin dekat dan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah.
Ketiga :Takdir berasal dari Yang Mahabaik. Takdir baik dan buruk—dalam konteks keinginan kita—sama-sama berasal dari Allah, sehingga sudah barang tentu semuanya baik. Tergantung bagaimana respon sikap yang kita hadirkan.
Takdir baik yang direspon dengan sikap yang baik, insya Allah akan menurunkan kebahagiaan ke dalam hati. Begitu juga takdir buruk yang direspon dengan baik, insya Allah meninggalkan kebahagiaan di hati.
Sebaliknya, takdir baik yang direspon dengan sikap yang buruk, akan menghasilkan keburukan (penderitaan) pada batin. Apalagi takdir buruk yang direspon dengan sikap yang buruk, maka kita akan mendapati rasa sakit di luar dan dalam, seperti satu anak panah yang berhasil melukai sisi luar sekaligus sisi dalam.
Kita perlu menyiapkan sikap terbaik atas takdir apapun, agar tak meninggalkan luka. Selain itu, kita perlu menyadari bahwa semuanya hanya akan lewat sementara, kemudian pergi dan berlalu dari kita. Kenyataan apapun yang tergelar di dunia yang fana ini tidak kekal. Datang silih berganti.
Jika kita memandang kenyataan dari kacamata ketidakkekalan, yang sekarang datang lalu sebentar lagi berlalu, tentu saja tidak akan membikin luka ke relung hati. Jika demikian, kenikmatan yang datang tidak memantik sikap euforia yang membuat lalai pada Allah, pun musibah yang menimpa tidak mengubur kita dalam kesedihan yang terlalu dalam.
Seperti formula yang diajarkan Allah dalam QS. Al-Hadid [57] : 22-23, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri malainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
Kita perlu menyaksikan kehidupan sebagai plot cerita yang mengalir. Tidak bersifat permanen. Sikap seperti ini yang akan membentuk keseimbangan di batin. Bukankah dengan jiwa seimbang itu kebahagiaan tidak lagi bergantung pada kondisi yang tergelar di luar?
Kebahagiaan sangat bergantung pada sikap batin. Sikap batin menjadi baik jika selalu terikat bahkan makrifat pada Allah. Orang yang makrifat pada Allah sudah tak lagi terpengaruh pada fenomena yang sering bergonta-ganti. Perhatiannya justru tertancap pada noumena (yang mendasari fenomena).
Tidak terpukau oleh gelombang yang pasang surut, tapi fokus tertuju pada arus yang menggerakkan gelombang.
Source:
Tulisan oleh Ustad Khaliel Anwar
Gambar oleh Pbsnindonesia, Canva & Pixabay
0 comments