-->

Hijrah Menuju Bahagia

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Hijrah Menuju Bahagia

04 August 2022

Hijrah Menuju Bahagia

04 August 2022




Hijrah sebagai fitrah yang menyertai perjalanan manusia. Peradaban pun dihiasi dengan perubahan yang terus bergulir. Tanpa perubahan, tentu saja, kehidupan ini terasa membosankan. Bagaikan pohon yang terus tumbuh dan tumbuh mendekati cahaya matahari. Begitu juga manusia, terus tumbuh dan tumbuh mendekati cahaya Ilahi Robbi. 

Bayangkan, kita—manusia—sebagai makhluk yang bertumbuh dan terus bertumbuh dipaksa mengikuti alur perubahan. Sebelum kita “dilemparkan” ke dunia melalui proses kelahiran dari seorang wanita yang kini telah menjadi ibu yang paling kental kasih sayangnya, kita berada di mana? Kita berada di garba ibu yang paling nyaman. 

Seluruh kebutuhan kita berada dalam jaminan Allah. Di sana tak mengenal namanya penderitaan. Jauh sebelum kita menjadi janin yang bermukim di rahim ibu, kita hanyalah ruh yang tak bisa dipindai oleh mata lahir. Kita—disebut oleh al-Qur'an—terjalin dalam perjanjian kudus dengan Allah. Alam yang “ditinggali” adalah alam alastu. (QS. Al-A’raf: 142).

Surat Al-A’raf Ayat 142 :”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

Di sana, ruh menyaksikan, bahkan berdialog dengan Allah. Kebahagiaan tak terperikan diaksesnya. Tidak ada kebahagiaan melebihi kondisi tersebut. Kenyamanan hidup yang dinikmati oleh ruh akhirnya harus disandera dan berakhir dengan namanya kelahiran ke bumi. 

Karena itu, setiap anak yang dilahirkan pasti menangis? Mereka menangis bukan karena sakit. Jika kelahiran memang sakit, sehingga menghasilkan tangisan, mengapa anak kambing yang baru saja dilahirkan tidak menangis? Mereka menangis dikarenakan mengalami cultural-shock.  

Dipaksa keluar dari zona nyaman yang mereka nikmati dalam rentang waktu yang begitu lama. Mereka harus berhadapan dengan hukum sebab akibat. Menyeberang ke medan dualitas. Inilah bumi yang mengenal senang dan susah, gembira dan sedih, bertemu dan berpisah, dan bentuk dualitas lainnya. 

Manusia tak lagi menikmati sajian satu paket menu. Beraneka ragam paket menu akan dia nikmati. Hanya saja, dia tak bisa memaksa agar kenyataan sejalan dengan yang dia inginkan.


Bayi menangis dikarenakan dilempar ke medan yang penuh ujian. Bukankah manusia diciptakan sebagai peserta ujian, untuk kemudian Allah menakar dan mengukur siapa yang terbaik di antara mereka. (QS. Al-Mulk: 2).

Meski bayi sering menangis, Allah tak membiarkan mereka begitu saja. Allah tetap menjamin rezekinya. Setelah putus rezeki dari plasenta bersamaan dengan adanya kelahiran, Allah mengganti rezeki melalui dua saluran berasal dari ibunya. Berupa ASI. Mereka bisa menikmati sampai berlebih-lebih. Bayangkan, mulutnya satu, tapi Allah memberi dua sarana dia mereguk rezekinya. 

Dua tahun lamanya bayi menikmati ASI. Sehingga kemudian dia harus menghadapi kenyataan terpisah dari ASI bersamaan dengan datangnya masa dia disapih. Tentu saja bayi menangis mendapati kenyataan dipaksa dipisah dengan suatu yang sudah membadan dengannya. 

Setelah dia keluar dari zona nyaman—ASI—dia justru mendapat ganti makanan yang lebih berlimpah, disertai aneka ragam rupa dan rasa. Dia bisa menikmati daging hewan yang halal, ikan laut, bermacam buah bisa dinikmatinya. Dia tumbuh menjadi balita yang bisa menikmati apa saja, plus kasih sayang yang terus-menerus terulur padanya. 

Lagi-lagi rasa nyaman itu terusik, ketika dia dipaksa harus bersekolah. Sekolah sebagai tempat bertumbuh. Selain menjadi aula yang menyenangkan, mungkin saja menyuguhkan suatu yang tidak disenanginya. Bisa jadi rasa sakit secara psikologis menerpanya. Dia harus menjalaninya agar mengalami kemajuan secara terus-menerus. 

Hijrah terus bergulir. Tak pernah berhenti. Bayangkan setelah menjalani masa sekolah, dia harus merambat pada posisi pendidikan yang lebih tinggi . Usai menyelesaikan masa pendidikan, seorang harus menapaki bentang perjalanan yang lebih menantang. Mendapat tantangan untuk menikah. 

Pernikahan membawa seseorang dari satu tantangan ke tantangan berikutnya. Setelah punya pasangan yang bisa jadi terlibat dalam perbedaan sudut pandang dan kecondongan. Disusul kemudian dengan hadirnya putra-putri yang kudu memperoleh pendidikan. Bagaimana bukan hanya menyiapkan nafkah yang cukup, tapi juga yang dijamin kehalalannya. 

Setelah punya anak, lalu punya cucu. Pada saatnya, kematian menerkam. Seberkuasa apapun seseorang, dia takkan sanggup memertahankan kehidupannya di dunia. Pada saatnya kematian memenggal hidupnya. Dia harus memasuki alam barzakh. Alam kebangkitan dan terus menelusur pada perjalanan yang tiada akhirnya.

Bukan hanya melintasi fase demi fase kehidupan. Bahkan setiap detik, kita mengalami keadaan yang tidak sama. Seorang filosof berujar, “kita tidak bisa melintasi sungai dua kali dalam keadaan yang sama.”


HIJRAH BATIN

Hakikat manusia bukan yang lahir. Tapi dimensi batin. Ruhani. Makhluk ruhani yang mendapatkan pengalaman manusia. Bukan manusia yang mendapat sentuhan pengalaman ruhani. 

Jika hakikat manusia yang ruhani, maka hijrah yang sebenarnya adalah hijrah ruhani. Sebagaiman disinggung dalam QS. Al-Mudattsir: 5

وَٱلرُّجْزَ فَٱهْجُرْ. Artinya: “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah.”

Karena pusat kesejatian manusia adalah hatinya. Jika hatinya baik, maka baiklah semuanya. Sebaliknya, jika hati buruk, maka buruklah semuanya. Lantas, bagaimana tanda dan level yang bisa kita deteksi bahwa kita telah hijrah.

Pertama, hijrah secara syariat. Hijrah dari maksiat menuju taat. Jika fisik, atau anggota tubuh, selama ini terjerat dalam maksiat, dipaksa keluar dari maksiat, lalu menggantinya dengan ketaatan. 

Mata yang biasanya menyaksikan maksiat, diganti dengan digunakan sebagai piranti untuk taat dan mengantar diri semakin dekat pada Allah. Membaca Al-Qur'an, bisa menyaksikan ciptaan yang memancing kita untuk bertafakur. Merenungi ciptaan-Nya yang memantik kerinduan kita pada Allah Swt. 

Lisan, jika selama ini sering dipergunakan untuk bermaksiat dengan bicara kotor, ghibah, hingga kemudian memfitnah sesama, maka gantilah dengan amal yang baik. Pergunakan lisan untuk membaca Al-Qur’an, berzikir pada Allah, membaca shalawat untuk Sayyidina Muhammad Saw. 

Ketika kita telah berhasil mencegah 7 anggota badan (mata, telinga, lisan, tangan, kaki, perut, dan di bawah perut) dari berbuat maksiat, berarti kita telah memasuki golongan muslim. Mencegah diri dari berbuat maksiat. Betapa dahsyatnya jika kemudian digeser penggunaannya pada perkara-perkara positif. Mengantarkan kita dekat pada Allah. 

Hijrah kedua, hijrah dari cinta dunia kepada Mahabbatullah.  Hati akan mereguk kelezatan ruhani tatkala jatuh cinta pada Allah. Inilah jalan tarekat. Tarekat hanya bisa dijalani orang yang hatinya digenangi cinta pada Allah.

Hati akan tetap terpapar gersang dan kering selama masih terikat cintanya pada dunia. Iya hati akan senantiasa tertimpa kegersangan hingga mendapat sentuhan cinta pada Allah. Tanda hati sudah pupus dari rasa cinta pada dunia, di hati tak lagi bersarang sombong, dengki, dan riya. 

Sombong merasa diri besar dan hebat daripada orang lain, lalu dengan gampangnya merendahkan dan menghina orang lain. Biasanya sombong dikaitkan dengan capaian-capaian yang bersifat llahiriah. Pencapaian batin—makrifat—takkan pernah membikin seseorang bersikap sombong. 

Sementara dengki adalah sikap iri terhadap pencapaian orang. Pengin rasanya agar apa yang telah digapai seseorang segera tergusur. Sirna. Bahkan kalau bisa berpindah tangan kepada dirinya. Sekali lagi, seseorang takkan terserang iri kecuali di hatinya mendekam cinta dunia. 

Jika cinta dunia telah tercerabut dari hatinya, justru kebahagiaan yang meluap tatkala melihat orang lain bahagia. 

Begitu juga dengan riya. Riya adalah sebuah dorongan untuk memamerkan “kebisaan” dan kehandalan diri. Diharapkan kemudian bisa menangguk pujian dan penghargaan dari orang laim. Riya tidak merasuki hati yang tujuan hidupnya adalah Allah. Karena mendapatkan Allah berarti telah mendapatkan segalanya. Sebaliknya, bagi yang tidak mendapatkan Allah, maka dia tak menangguk apa-apa, meski seluruh kemewahan duniawi telah dipungutnya.

Setelah cinta dunia telah kosong dari hati, maka akan diisi dengan cinta kepada Allah. Hanya dengan mencintai Allah, hati akan merasa benar-benar hidup. Menyerap rasa damai. 


Ketiga, hijrah dari ghaflah menuju dzamudz zikr (mengingat Allah selalu). Ghaflah atau lalai adalah  bentuk kegelapan. Dan kegelapan yang paling pekat ketika seseorang tak menegakkan shalat. Siapa yang tak mendirikan shalat tidak akan mengakses kebahagiaan sama sekali. Mengapa? Karena jiwanya tidak terhubung pada Allah. 

Hanya dengan terhubung pada Allah, listrik jiwa kita akan menyala. Dan orang yang terputus hubungannya dengan Allah, maka listrik jiwa akan redup. 

Setingkat lebih baik lagi, apabila orang mendirikan shalat, lantas disusul dengan zikir bakda shalat. Zikir setelah shalat akan dijalani ketika orang punya rasa butuh pada Allah. Bukankah zikir dan doa habis shalat punya peluang diijabah oleh Allah.

Seorang murid—salik—bukan hanya zikir habis shalat, dia akan menambahi dengan zikir pagi petang. Banyak anugerah ruhani yang Allah sembunyikan dalam zikir pagi petang.

Salah satu anugerah batin yang Allah curahkan pada pengamal zikir pagi petang adalah memeroleh rahmat Allah, dimintakan ampunan oleh para malaikat, dikeluarkan dari kegelapan menuju cahaya, disebut sebagai hamba yang mendapat cinta khusus (rahim) dari Allah, mendapatkan penghormatan dan salam dari Allah, sekaligus berpeluang meraih pertemuan dengan Allah. (Qs. al-Ahzab: 41-44)

Murid yang senantiasa menjaga zikir pagi petang akan senantiasa memperoleh penjagaan dari Allah sepanjang hari. 

Adapun bagi seorang guru, disebut telah terbebas dari ghaflah, jika dia—dengan izin Allah—telah menjaga shalat malamnya secara dawam. Secapek apapun fisiknya, shalat malam tetap ditegakkan sebagai media menjalin hubungan intim dengan Allah. 

Seorang arif billah di atas itu. Mereka tidak pernah lupa pada Allah. Senantiasa ingat pada Allah dalam keadaan apapun. Karena mereka telah tenggelam dalam keagungan Allah Swt. 

Bagi kita—sebagai pejalan—sulit untuk ingat Allah. Sementara para arif billah, sulit untuk lupa pada Allah. Mereka menyadari dan merasakan, Allah selalu bersamanya dan meliputinya dalam setiap waktu dan keadaan. Dia tak menemukan tempat yang sepi dari Allah. Bahkan yang sebenar-benarnya adalah hanya Allah Swt. Wujudnya mutlak. Sementara makhluk sebagai wujud mumkin.

Ketika orang telah berhasil—dengan pertolongan Allah—melintasi fase hijrah ruhani tersebut, maka dia telah menggapai fase al-falah. Mereguk kebahagiaan puncak yang tak bisa dilukiskan. Dia telah menggapai fase islam, iman, dan ihsan. 

Jika kita telah menggapai ketiga-tiganya, berarti kita telah siap memancarkan, menyebarkan, dan meluaskan salam, rahmat, dan berkah. 

Source:

Tulisan oleh Ustad Khaliel Anwar

Gambar oleh Rudy and Peter Skitterians dari Pixabay



BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang