Merdeka Hakiki (Kebodohan, Hawa Nafsu, Keakuan)
19 August 2022
Kemerdekaan memantik kegembiraan. Namun, jika hanya dipahami sebagai kemerdekaan lahir, yang didulang pun juga hanya kegembiraan lahir, yang sifatnya temporal, dan sementara.
Adapun kemerdekaan batin tidak hanya menghadiahkan kegembiraan, tapi juga melimpahkan kebahagiaan yang bertahan lama di hati.
Kemerdekaan lahir sebagai wadah untuk bisa meraih kemerdekaan batin. Jika orang tak bisa mereguk kemerdekaan batin melalui kemerdekaan lahir yang diraihnya, maka kemerdekaan yang didapatkan tidak produktif.
Meski kemerdekaan sudah kita reguk bertahun-tahun, namun budaya baca tetap saja tak bergeser. Tidak pernah menanjak. Itu salah satu perkara yang menandakan bahwa kemerdekaan yang kita peroleh belum produktif.
Lembaga pendidikan tumbuh di mana-mana bak cendawan di musim hujan. Akan tetapi, karya anak bangsa masih miskin. Bahkan “kinerja” moralitas berada di titik yang memprihatinkan sekaligus menggelisahkan.
Budaya korupsi tetap saja tidak terkikis, malah kian menjalar di mana-mana. Iya, budaya korupsi masih mengepung bangsa ini. Dari tingkatan desa hingga menteri masih saja kental dengan oleh aroma korupsi.
Selagi kita masih terbelakang ilmunya, masih rendah moralnya, masih kering spiritualnya, masih miskin prestasinya, maka kemerdekaan belum sepenuhnya kita nikmati. Kemerdekaan tidak mempersembahkan kemuliaan, kebanggaan, dan kebahagiaan.
Dari sudut pandang tasawuf, apa makna kemerdekaan? Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan batin, karena kebahagiaan bertempat di hati. Meski kita telah meraih kemerdekaan (lahir), tapi kemerdekaan batin belum didapatkan, maka kebahagiaan takkan pernah bisa dirasakan.
Bagaimana cara orang agar bisa meraih kemerdekaan batin? -terbebas dari belenggu yang mengikat batin.
Pertama, bebas dari kebodohan. Kebodohan sebagai penghalang kebahagian. Menjerat orang dalam penderitaan yang tiada ujungnya. Bodoh berarti tak bisa membedakan dengan benderang antara hak (benar) dan batil. Apa yang dikira benar menurutnya, ternyata batil. Begitu sebaliknya, apa yang dikiranya batil, ternyata benar.
Terkait kebodohan ini, saya terkesan dengan kisah seekor beruang. Beruang sedang dihimpit sekaligus dijerat oleh ular. Dia mengerang. Kemudian seorang petani datang menolong beruang agar terbebas dari jeratan ular.
Sebagai tanda terima kasih, maka beruang mau menyertai sekaligus berkhidmat ke mana saja petani itu pergi, sehingga petani tersebut senantiasa disertai beruang. Seseorang memberi nasihat pada petani agar tidak berkawan dengan beruang, karena kawan yang bodoh lebih berbahaya dibandingkan musuh yang pandai. Akan tetapi, si petani tidak menghiraukan nasihat tersebut.
Petani mengajak beruang menebangi dan memotongi pepohonan. Setelah seharian bekerja keras, petani pun lelah. Dia istirahat siang. Di kala istirahat, beruang mendapati wajah petani seringkali dihinggapi oleh lalat. Setiap kali lalat menghinggapi petani, beruang langsung mengusirnya.
Setelah diusir, kembali lalat itu menghampiri dan menghinggapi petani. Beruang berang dan marah, maka ia bawa sebilah kayu untuk memukuli lalat. Tiba waktunya lalat menghinggapi wajah petani, beruang memukul lalat tersebut. Bukan lalat yang terbunuh, justru petani—alias tuannya—yang tewas seketika dengan wajah memar, dan hitam lebam.
Penginnya beruang menolong tuannya agar tak terusik oleh lalat. Tapi karena bodoh, beruang malah membunuh tuannya dengan sangat “sadis”.
Kebodohan merusak diri sendiri, karena takkan terbimbing menuju kebaikan. Bukankah setiap langkah yang dijalani kudu didasari dengan ilmu? Tanpa ilmu, orang akan tersesat dari jalan Allah. Ketersesatan cenderung membuat seseorang binasa. Orang bodoh cenderung tersesat dan menyesatkan (orang lain).
Lantas, bagaimana cara menyingkap kebodohan? Kebodohan bisa disingkap dengan taklim. Belajar, berguru, dan banyak membaca. Dengan selalu belajar, disertai bimbingan guru, perlahan-lahan kebodohan akan terkikis. Diganti dengan ilmu.
Ingatlah, kenyataan terus bergerak menuju kemajuan disertai dengan persoalan yang kompleks dan semakin rumit. Makin kompleksnya persoalan perlu diimbangi dengan meningkatnya pengetahuan. Hanya saja, mengapa orang yang diberi pengetahuan mendapati kebahagiaannya tidak beranjak, bahkan—seolah—kian tercepit dan terhimpit? Ilmu yang memandu orang bersentuhan dengan mata air ketenangan adalah ilmu tentang Allah. Ilmu tauhid.
Semakin meningkat pengenalan kita terhadap Allah, maka semakin meningkat pula kebahagiaan dalam hidup. Selain ilmu fiqh, ilmu akhlak, maka ilmu aqidah (tauhid) tidak kalah penting, bahkan menjadi fondasi ilmu yang kudu dimiliki seorang hamba agar kokoh dalam menjalani kehidupan.
Kedua, bebas dari hawa nafsu. Kebahagiaan tidak didapatkan dengan memanjakan atau membebaskan hawa nafsu. Kebahagiaan, justru, dirasakan oleh orang yang terampil mengendalikan hawa nafsu. Sebelum menggapai kemenangan terhadap hawa nafsu, seseorang berperang terlebih dahulu. Mujahadah melawan hawa nafsu.
Mujahadah merupakan sebuah pelatihan ruhani yang ditempuh oleh seorang murid untuk menaklukkan hawa nafsu. Mujahadah juga merupakan sebuah metode untuk menyingkirkan, atau setidaknya mengurangi kebiasaan hawa nafsu. Adapun kecondongan hawa nafsu adalah suka tidur, suka makan-minum, suka pergaulan duniawi, dan, terakhir, suka berbicara.
Jika kita berhasil mengendalikan keempat kecondongan hawa nafsu tersebut, ketenangan akan terasa di hati. Seperti lautan, selagi bergolak gelombang, lautan takkan tenang. Begitu gelombang telah lenyap, tenang akan menghiasi lautan.
Begitu pula hati, selagi masih ditingkahi riuh dan gejolak hawa nafsu, maka rasa tenang menjauh dari hati. Setelah hawa nafsu terkendali, baru ketenangan memenuhi hati.
Hanya saja, ketenangan batin tidak bisa diperoleh dengan instan. Diperlukan latihan yang keras. Setiap latihan tentu saja akan dihadang oleh bermacam tantangan dan rintangan. Di sana perlu disiapkan kesabaran yang berlipat-lipat.
Pada mulanya sulit, karena diperlukan kesabaran dalam meninggalkan kebiasaan tidak baik tersebut, hingga berakhir dengan memiliki mindset sebaliknya.
Semula merasa nyaman tidur berlama-lama, lantas bergeser pada rasa jenuh mengisi hari-hari hanya dengan tidur. Waktu bergulir dengan cepat, kosong dari karya, karena banyak diisi oleh tidur yang terkesan pasif. Demikian juga makan-minum. Memang sulit mengurangi makan-minum, namun setelah mengetahui manfaat yang dirasakan, mengurangi makan minum sangat mengasyikkan. Begitu seterusnya.
Berhasilnya kita mengendalikan hawa nafsu akan membuat jiwa berada dalam kedamaian.
Ketiga, merdeka dari keakuan. Keakuan sebagai biang atau akar dari segala kejahatan. Keakuan itu diilhami perasaan eksis, sehingga mengakui semua amal berasal darinya. Setiap ada kebaikan yang dia donasikan senantiasa dia nisbatkan pada dirinya. Diam-diam di hatinya bersarang perasaan bangga, ujub, dan sum'ah. Sebuah rasa yang tersembunyi. Selagi keakuan masih meranggas, sulit rasanya orang berserah diri pada Allah. Sulit mencapai fase sekemauan dengan Allah.
Keakuan sering jadi pemantik konflik dan persengketaan. Dengan bercokolnya keakuan, orang sulit menemukan kebahagiaan. Karena keakuan membuat orang berselisih. Berjarak. Bukan hanya berjarak atau berselisih dengan Allah, tapi juga membuat seseorang mudah berselisih dengan sesama. Padahal dengan perselisihan, kebahagiaan takkan pernah dirasakan.
Seorang suami, misalnya, sering berselisih dengan istri. Berarti dia telah menyingkirkan kebahagiaan. Pertemuan keduanya alih-alih membuahkan kebahagiaan, malah memantik penderitaan. Berselisih dengan istri saja sudah bikin kita menderita, bagaimana jika berselisih dengan Allah?
Setiap tarikan dan hembusan nafas kita menjumpai takdir Allah. Kalau kita berselisih terus-menerus, jiwa kita akan babak belur. Kita tak bisa memaksa Allah sesuai dengan keinginan kita. Namun, kita yang kudu pandai menyesuaikan diri dengan (takdir) Allah.
Ingatlah, takdir sebagai presentasi kekuasaan Allah. Siapa kiranya yang mampu menghadang kekuasaan-Nya yang Mahamemaksa dan Mahaperkasa?
Jika kita memahami ini, kita akan mengambil sikap sekemauan dengan Allah. Karena sekamauan dengan Allah lebih mudah memancing kebahagiaan. Kebahagiaan yang mengundang kebahagiaan yang lebih besar.
Lantas apa yang harus kita lakukan untuk membebaskan diri dari belenggu keakuan? Ikhtiar yang bisa kita jalani untuk meretas keakuan ada tiga, yakni tafakkur, zikir, dan khidmat.
Ikhtiar pertama, tafakkur, yakni sebuah proses melakukan perenungan tentang hakikat diri. Kita sering bangga, dan tebal keakuan, oleh karena banyak atribut yang menempel pada kita. Ada orang menyebut kita kaya, memiliki kekayaan yang meruah. Atau dikenal punya ilmu yang luar biasa. Banyak orang terkagum-kagum dengan ulasan ilmu yang disajikan. Atau mungkin karena popularitas yang menjulang tinggi, menjadi etalase di mana orang menatapkan pandangannya. Seluruh pencapaian tersebut tak jarang memantik keakuan semakin membesar.
Karena itu, tanyakan pada diri sendiri. Kita menyebut mobilku, rumahku, pencapaianku. Lantas, aku sendiri milik siapa? Aku adalah milik Allah. Buktinya, kita tak berkuasa dengan segala hal yang melekat pada kita. Ada orang memiliki kekayaan yang melimpah, jabatan bergengsi, tapi semua itu tidak bisa mereka pertahankan. Seorang Presiden, hanya dua periode saja, alias 10 tahun dia menjabat.
Setelah melewati masa maksimal tersebut, jabatannya akan dilucuti, lalu kembali menjadi warga biasa. Semuanya bersifat sementara. Tak ada yang bisa dipertahankan. Bukan hanya tak sanggup memertahankan atribut yang melekat, tapi juga tak sanggup memertahankan diri. Sebagian orang pengin menolak tua. Tapi siapa yang bisa menolak tua? Kemudaan tak bisa dipertahankan.
Seorang wanita cantik, di saat usianya masih muda, banyak lelaki melirik, tertarik, dan merebut perhatiannya. Namun setelah ia menua, wajah mulai keriput, tubuh mulai melemah, kiranya siapa yang tertarik? Seluruh daya tarik fisiknya memudar. Itu menandakan bahwa manusia tak bisa mempertahankan dirinya. Manusia tidak berkuasa terhadap dirinya. Berarti pemilik kita sejati adalah Allah.
Manusia tidak identik dengan apa yang dimiliknya. Bayangkan, dikala orang menyebut rumahku, tentu sadar bahwa aku tidak identik dengan rumah. Kalau aku identik dengan rumah, maka ketika rumah roboh, jiwa pun akan ikut roboh. Aku adalah berasal dari Allah.
Aku hanya bayangan dari AKU yang hakiki. Kita terserap dalam kesadaran bahwa yang sebenarnya ada adalah Allah SWT. Dengan begitu, kita tak lagi mudah mengklaim setiap pencapaian adalah hasil dari usaha kita. Semua keberhasilan berasal dari Allah.
Ikhtiar kedua, zikir. Zikir sebagai piranti menenggelamkan aku pada keagungan Allah. Kita bukan hanya—merasa—kecil, tapi juga lenyap sama sekali. Bayangkan, kalau kita jauh dari matahari, maka akan tampak pada kita bahwa matahari kecil sementara kita besar. Sebaliknya kalau matahari dekat, maka kita akan menyaksikan matahari besar, sementara kita kecil. Bukan hanya kecil, tapi kita juga lenyap dalam keagungan cahaya matahari.
Zikir menuntun kita hanya menyadari hadirnya Allah, sementara kita sendiri tenggelam dalam kesadaran atas kehadiran Allah.
Ikhtiar ketiga, khidmat. Khidmat sebagai bentuk ekspresi dari syukur. Karena berupa syukur, tentu saja nilai yang ditambang berlipat ganda. Khidmat berarti membelakangi diri menghadap makhluk. Seorang khodim menyingkirkan kepentingan diri untuk tertuju pada kepentingan yang dikhidmati.
Ketika seorang murid diajak oleh guru untuk berbelanja baju ke sebuah toko baju. Setibanya di toko baju, si murid hanya fokus bagaimana mencarikan baju yang dikehendaki sang guru.
Di pikiran tidak melintas berbelanja untuk dirinya saja. Apalagi benar-benar hanya untuk memenuhi. Semoga Allah melindungi kita, jika guru hanya dijadikan washilah untuk memenuhi kepentingan diri. Semoga kita berupaya keras masuk pada keinginan guru, bukan keinginan diri sendiri.
Di saat orang membelakangi diri menghadap orang yang dikhidmati, maka dia akan ditarik untuk menghadap Allah. Dikala berkhidmat pada makhluk, dia merasa sedang berkhidmat pada Allah.
Tak lagi ada separasi antara melayani Allah dan melayani makhluk. Kalau pada Allah dia berbuat ihsan, tentu saja pada manusia juga berbuat ihsan.
Terkikisnya keakuan akan memandu manusia menemukan kemerdekaan. Kemerdekaan yang membikin manusia senantiasa dicurahi kepuasan demi kepuasan.
Kalau orang terbebas dari kebodohan maka dia akan mendapat curahan makrifat. Orang yang terbebas dari belenggu hawa nafsu akan mereguk mahabbatullah. Dan siapa yang telah terbebas dari penjara keakuan, dia akan merasakan nikmatnya taslim, berserah diri pada Allah.
0 comments