MERDEKA
15 August 2022
Merdeka!!!
Sebuah pekik yang terus menggelegar mengiringi diraihnya kemerdekaan Indonesia. Merdeka dipandang sebagai rahmat Allah. Meski dilalui dengan perjuangan yang gigih, para pejuang tetap meyakini bahwa kemerdekaan semacam berkah rahmat Allah Yang Mahaesa.
Jika para pahlawan sepakat bahwa kemerdekaan adalah berkat rahmat Tuhan Yang Mahaesa, pun mereka sama sekali tidak menyimpan bangga diri, bahkan senantiasa bersyukur pada Allah, maka mengapa cucu-cucu pahlawan itu bangga karena menjadi cucu dari sosok yang telah menorehkan tinta emas dalam kemerdekaan Indonesia? Mereka hanya berhenti berbangga diri sebagai anak keturunannya, namun tak berkontribusi apapun untuk mengisi kemerdekaan.
Seharusnya mereka berkaca, apa yang sudah diperbuatnya untuk menghiasi kemerdekaan. Apa kontribusinya terhadap keberlangsungan kemerdekaan negeri ini. Atau malah berfikir bagaimana menjadikan kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa Indonesia sebagai alat untuk menghisap atau merebut seluruh kekayaan negara. Berebut untuk memperoleh keberuntungan pribadi.
Korupsi, contohnya. Maraknya korupsi oleh sebagian pejabat menandakan bahwa mereka menjabat bukan untuk mengabdi pada bangsa, melainkan pengin menggarong kekayaan bangsa.
Sekali lagi, kemerdekaan sebagai hadiah dari Allah untuk bangsa Indonesia. Bayangkan, Jepang yang telah menjajah Indonesia dengan sangat kejam terpaksa harus menyerahkan kemerdekaan pada Indonesia. Tersebab apa? Karena sekutu menjatuhkan bom ke Hirosima dan Nagasaki. Awalnya menjadi kota yang indah, hingga kemudian berubah menjadi hangus, rata dengan tanah, dan tersisa puing-puing saja.
Kemerdekaan tidak direbut dari penjajah, melainkan hadiah dari Allah. Seperti kalahnya Persia terhadap Romawi menjadi berkah bagi orang-orang beriman. Iya, kalahnya Persia memantik kegembiraan bagi orang mukmin. Mengapa? Karena sebelumnya Persia sempat mengalahkan Romawi—beragama Nasrani. Kekalahan Romawi membuat orang kafir Quraisy bangga membusung dada, karena agama Samawi telah dikalahkan. Tentu saja mereka merendahkan Islam yang notabena termasuk agama Samawi.
Jika orang kafir Quraisy bergembira dengan kekalahan Romawi, orang Islam sendiri bersedih hati. Hingga tiba waktunya Romawi bisa mengalahkan Persia dengan telak. Berita kalahnya Persia memancing kegembiraan bagi orang beriman karena kemenangan Romawi mengirimkan pesan tentang menangnya agama Samawi.
Gambaran ini diulas dalam QS. Ar-Rum [30]: 2-5.
“Bangsa Romawi telah dikalahkan, di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dia Mahaperkasa, Maha Penyayang”.
Begitu juga dengan kemerdekaan Indonesia. Bangsa Indonesia belum bisa keluar dari belenggu penjajahan Jepang, hingga Jepang tiba-tiba mendapat serangan mematikan dari pihak sekutu. Takluknya Jepang ditandai dengan hancurnya Hirosima dan Nagasaki menjadi momen emas bagi rakyat Indonesia untuk mendeklarasikan kemerdekaannya.
Kemerdekaan yang ditangguk oleh Indonesia bukan hadiah dari sekutu, apalagi disebut sebagai hadiah dari Jepang. Sama sekali bukan. Melainkan hadiah dari Allah SWT.
Hanya beberapa saat setelah terdengar kabar dibomnya Hirosima, Indonesia dengan duet Soekarno-Hatta mendeklarasikan kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia disambut kegembiraan raya oleh seluruh rakyat Indonesia. Pekikan merdeka bergemuruh di mana-mana.
Hadirnya kemerdekaan membuat kepuasan meluap, menyeruak kegembiraan yang tak terlukiskan. Segala belenggu yang telah melemparkan rakyat Indonesia dalam kesedihan yang panjang telah dilepaskan. Indonesia telah diberi kemerdekaan untuk mengatur negaranya sendiri. Berdiri di kaki sendiri.
Kemerdekaan adalah karunia agung yang Allah berikan kepada suatu bangsa. Karena dengan negara yang merdeka, kita bisa beribadah dengan khusyuk tanpa harus terusik dengan gangguan atau ancaman. Tentang anugerah kemerdekaan sebagai nikmat, diungkapkan dalam QS. Al-Maidah [5]:
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan menjadikan kamu sebagai orang-orang merdeka, dan memberikan kepada kamu apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat yang lain”.
Terhitung sejak kemerdekaan diraih, kita sudah 77 tahun mereguk kemerdekaan. Apakah kemerdekaan yang sudah kita raih benar-benar membuat kita merdeka, atau ternyata kita masih tetap terjajah? Secara fisik kita merdeka, apakah secara mental kita juga sudah merdeka?
Kita masih tersekap dalam mental inlander. Tidak yakin dengan kemampuan sendiri. Kita tak bisa menghargai karya anak bangsa. Dan menyanjung karya-karya bangsa lain.
Kita sedang dihadapkan pada sebuah kondisi dimana kita mengeluk-elukan pemimpin negeri lain, sembari mengkritik dan meng-underestimate pemimpin sendiri. Kita masih menganggap bangsa kita terbelakang, berjalan di tempat, tertambat pada budaya di zaman bahuela. Tak memiliki kebanggaan terhadap bangsa sendiri, lantas menganggap negara lain mendulang kejayaan yang sangat menyilaukan. Kekaguman pada pencapaian negara lain melucuti kebanggaan pada bangsa sendiri.
Mungkin lebih cenderung mengenakan gaya hidup orang barat ketimbang gaya berpakaian ala Indonesia sendiri. Minder menjadi orang Indonesia. Padahal, kalau kita mau bertafakur secara mendalam, Indonesia adalah negara besar.
Bayangkan, Indonesia mewadahi keberagaman dalam berbagai sisi. Keragaman agama, keragaman suku, keragaman bahasa, keragaman budaya. Dan semua bentuk keragaman tersebut terkelola dengan baik di bumi Indonesia.
Tengoklah, di timur tengah misalnya. Kita mengenalnya hanya menggunakan satu bahasa. Bahasa Arab. Meski demikian, kita mendapati mereka sering cekcok, bahkan merembet pada pertumpahan darah. Saling membunuhi satu sama lain. Betapa bangganya kita sebagai orang Indonesia yang telah merajut keberagaman dengan penuh kerukunan. Dan bahkan keragaman sebagai bentuk kekayaan yang mewarnai negeri Indonesia.
Yang jadi pertanyaan kita, apakah Indonesia, saat ini, benar-benar merdeka? Atau ternyata masih sebangsa kemerdekaan palsu?
Kita sedang berada dalam arus utama perubahan dunia. Apakah kita masih berkiblat pada negara lain? Atau kita sudah memiliki pijakan sendiri, yang tak terpengaruh dengan bangsa lain?
Segala produk yang meluncur dari barat masih dianggap primadona. Sementara produk negeri sendiri dianggap amatiran.
Beberapa perkara perlu dibangun ulang sehingga Indonesia meraih kemerdekaan dan tidak lagi bergantung apalagi merendah pada negara lain. Kudu disadari bahwa Indonesia adalah negara besar.
Kebesaran jiwa bangsa Indonesia insya Allah akan bisa menempatkan Indonesia sebagai negara yang kuat ke depan, bahkan menjadi rujukan bagi negara lain. Keyakinan pada Allah menjadi ciri khas kita—bangsa Indonesia. Meski rakyat berjuang untuk merebut kemerdekaan, keyakinan atas pertolongan-Nya sebagai hal utama yang mengiringi perjuangan mereka.
Bagaimana meletusnya Perang 10 Nopember 1945 di Surabaya. Dengan peralatan perang seadanya, Arek-Arek Suroboyo dipaksa berhadapan dengan Sekutu yang telah berhasil membumi hanguskan negara-negara hebat di Eropa, termasuk di Jepang.
Sekutu, selain telah teruji memenangi peperangan demi peperangan juga dilengkapi senjata amat canggih. Sementara Arek-Arek Suroboyo hanya menggunakan senjata bambu runcing dan tombak. Sebuah peperangan yang tidak imbang.
Meski demikian, para kyai yang mempelopori peperangan tersebut memiliki keyakinan yang kuat bahwa kemenangan akan berpihak pada Arek-Arek Suroboyo. Sebelum peperangan sengit itu berlangsung, para kyai dari berbagai daerah berhimpun di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon. Di sana, mereka menggalang mujahadah akbar. Menyiapkan diri secara batin menghadapi serangan sekutu.
Sebuah keajaiban mewarnai peperangan Arek-Arek Suroboyo dan Pasukan Sekutu. Bayangkan, pihak sekutu dengan menggunakan pesawat perang yang canggih telah mengincar Surabaya dan siap meluncurkan bom. Sasaran sudah terlihat oleh jarak. Namun pada saat bom dilemparkan, tak satu pun yang jatuh ke Surabaya. Jatuhnya justru ke Selat Madura.
Nyaris tiga minggu peperangan berdentum, pihak sekutu harus kehilangan Jenderalnya. Jenderal Mallaby. Tewas karena dikeroyok dan dimasukkan ke selokan oleh Arek-Arek Suroboyo. Sebuah kenyataan tragis yang dialami pasukan Sekutu. Seumur-umur hanya di perang 10 Nopember 1945, Jenderal mereka diperlakukan separah itu.
Kemerdekaan diraih selain dengan perjuangan yang berdarah-darah, juga tak kalah pentingnya ditopang oleh keyakinan yang kokoh atas pertolongan Allah.
Perjuangan yang disemen dengan keyakinan membuat kemerdekaan yang diperoleh tak melahirkan kesombongan (takabur). Justru yang meluap rasa syukur yang tak terkira terhadap Allah.
Karena itu, mengapa di kampung-kampung kita mengenal—pada saat hari kemerdekaan—tasyakuran atas kemerdekaan. Bukankah hanya dengan bersyukur atas kemerdekaan, insya Allah kemerdekaan akan senantiasa kita rasakan, ditambahi keberkahan yang tiada habis-habisnya. Kemerdekaan akan membuat negara menuju puncak kejayaannya. Semuanya dengan pertolongan Allah. Bukankah orang bersyukur tak pernah tertimpa kekecewaan?
0 comments