Muharram Mengukir Jiwa Sang Juara (Kemenangan Para Nabi)
08 August 2022
Mungkin saja, mendadak menyeruak pertanyaan, dan rasa penasaran menyerbu pikiran sebagian dari kita, mengapa Muharram jadi lembaran awal kalender Hijriah?
Mengapa bukan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai titik mulanya? Atau, mengapa bukan Ramadhan—sebagai bulan pertama Al-Qur’an diturunkan—sebagai gerbang awal kalender Hijriah?
Pertanyaan semacam ini bisa saja terselip di pikiran. Walau mungkin sebagian besar orang tak punya kepedulian untuk membahasnya, karena menganggap semua bulan adalah sama -dikira tak ada keistimewaan yang terpendam di dalamnya.
Selain bulan Rajab, Dzulhijah, dan Dzulqo’dah, Muharram termasuk salah satu bulan yang sangat dimuliakan oleh Allah
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kau mendzalimi dirimu dalam (empat bulan yang haram) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 36).
Tidaklah sebuah bulan dimuliakan kecuali karena di dalamnya tersimpan keistimewaan yang luar biasa. Muharram menjadi istimewa karena di dalamnya berhimpun bermacam peristiwa agung yang menyertainya. Peristiwa kemenangan para Nabi.
Bagaimana Nabi Nuh as berhasil melewati banjir bandang yang menenggelamkan sekian banyak umat yang durhaka padanya.
Bagaimana Nabi Ibrahim as—dengan kuasa Allah—selamat dari kobaran api Namrud yang menyala-nyala. Seluruh kayu—sebagai bahan bakar—ludes dan menjadi abu. Tapi Nabi Ibrahim mengalami kebahagiaan di antara tumpukan abu tersebut. Allah mengubah api menjadi dingin dan menyelematkannya. Kenyataan heroik tersebut membuat Namrud dan bala tentaranya terkejut, dan secara moral merasa kalah telak.
Di bulan Muharram pula, Nabi Musa as berada dalam pengejaran musuh utamanya, Fir’aun. Fir’aun menunggangi kuda jantan yang perkasa. Sementara Nabi Musa as menunggangi kuda betina. Bahkan, diceritakan bahwa Sayyidina Jibril menunggangi kuda betina yang membuat kuda-kuda Fir’aun “tersihir” dan terpukau dengan lemah gemulainya kuda yang ditunggangi Jibril as.
Di tengah suasana yang mencekam, Nabi Musa as dihadapkan oleh dua keadaan. Di depan, terbentang lautan merah. Apabila tetap melaju kencang, maka harus siap-siap tenggelam di lautan merah. Sementara di belakang, ada Fir’aun bersama bala tentara yang dipenuhi kemarahan, dan siap menghabisi Nabi Musa as beserta pengikutnya.
Namun, apa yang terjadi kemudian? Realitas mengagumkan, di luar nalar manusia, tiba-tiba Nabi Musa memukulkan tongkatnya, maka lautan menjelma jadi jalan raya. Walhasil, beliau bisa melintasi lautan itu dengan aman.
Fir’aun di belakang pun mengikutinya. Hanya saja, setibanya di tepi laut, Nabi Musa as kembali memukulkan tongkatnya. Jalan raya tersebut kembali seperti posisi semula, sebuah lautan yang siap “menerkam” Fir’aun dan pasukannya. Fir’aun pun harus menerima dirinya tenggelam di lautan merah.
Nabi Isa as pun mengalami keajaiban yang nyaris sama. Bagaimana Nabi Isa as di tengah situasi yang sangat mencekam, digiring ke Golgotta untuk disalib. Di dalam perjalanan hiruk pikuk tersebut, mendadak Allah mengangkat Nabi Isa as ke langit.
Lalu ditariklah seorang pemuda, yang wajahnya diserupakan dengan ruhulullah tersebut, sebagai gantinya berada di tiang penyaliban.
Nabi Muhammad SAW pun menjelma sebagai tanda kebesaran Allah melalui hijrahnya. Beliau dikepung oleh seratus pemuda perkasa, dilengkapi dengan senjata lengkap.
Mereka sudah siap dengan pedang terhunus jika sewaktu-waktu melihat seseorang melintas di depannya, mereka bisa langsung menghunjamkannya. Namun apa yang terjadi?
Dikala Nabi Muhammad SAW keluar dari rumahnya, meski mata mereka terbelalak, tak ada satu pun yang melihat Nabi. Mereka baru sadar bahwa Nabi SAW telah keluar dari rumah setelah ada orang yang memberitahu.
Tak berhenti di situ, 100 pemuda pilihan telah disediakan kuda tunggangan pilihan, yang bisa berlari dengan sangat gesit. Sementara Nabi Muhammad SAW bersama Abu Bakar As-Shiddiq ra hanya menunggangi onta.
Bayangkan, secara logika, sangatlah mudah bagi kuda untuk mengejar onta. Tapi realitas tak semudah yang dipikirkan. Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar As-Shiddiq ra lolos dari kejaran mereka.
Pada akhirnya, kedua sosok mulia tersebut berteduh di sebuah gua. Gua Tsur. Setibanya di Gua Tsur, Abu Bakar ra dengan tangkas memasuki gua, sembari membersihkan sekaligus menutup celah-celah lubang.
Setelah dipastikan aman, Abu Bakar ra mempersilakan manusia terbaik untuk memasuki gua tersebut. Setelah memasuki gua, para pemuda itu mengitari gua. Tentu saja, Abu Bakar ra dicekam rasa cemas dan khawatir, bagaimana jika persembunyiannya terungkap.
Allah SWT pun menurunkan wahyu, agar tetap tenang. “Jangan kau bersedih, Allah bersama kita”. Ingatlah, kecemasan Abu Bakar ra bukan karena mikirin tentang dirinya, tetapi memikirkan tentang kesalamatan Nabi Muhammad SAW. Turunnya ayat tersebut menghilangkan kecemasan yang merasuki hati Abu Bakar ra.
Pada akhirnya, dengan segala tantangan dalam perjalanan, mereka berhasil sampai di Yatsrib dengan selamat, sekaligus mendapat sambutan meriah.
Rasulullah SAW telah membuka lembaran baru kemajuan dakwah setelah beliau hijrah ke Yatsrib.
Kisah-kisah kemenangan para Nabi Saw yang terlukis dalam kanvas sejarah terjadi di bulan Muharram. Tepatnya tanggal 10 Muharram, yang kemudian disebut dengan hari Asyuro.
Source:
Tulisan oleh Ustad Khaliel Anwar
Gambar oleh Enrique dari Pixabay
0 comments