-->

Ada Nabi dalam Diri

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Ada Nabi dalam Diri

22 September 2022

Ada Nabi dalam Diri

22 September 2022



Secara alami, setiap jiwa, mencintai Nabi Muhammad SAW. Kalau sebagian orang menaruh benci pada beliau, itu karena jiwa murninya sedang tertutup. Bersamaan dengan tertutupnya jiwa yang murni, maka kebahagiaan tidak memancar darinya. 

Mahatma Gandhi, sosok berpengaruh di India, menaruh kagum pada Sayyidina Muhammad, terutama pada kesederhanaan hidup dan kedekatannya terhadap orang miskin. Macheal Hart, penulis biografi Nabi, berani menetapkan Nabi SAW sebagai tokoh teratas dari 100 tokoh berpengaruh. Mereka mengagumi, mereka mencintai Nabi Muhammad SAW meski tidak memeluk Islam. Karena sejatinya, cinta pada Nabi Muhammad SAW merupakan gema fitrah.  

Jika non-muslim saja menaruh cinta yang luar biasa pada Nabi Muhammad SAW, maka kita sebagai umatnya sudah selayaknya mencintai beliau melebihi siapapun. Melebihi ayah, ibu, anak, ataupun perdagangan kita. Sebagaimana Allah berfirman : “Katakanlah, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS. At-Taubah [9] : 24).


Jika kita telah sempurna mencintai Nabi Muhammad SAW, maka kebahagiaan akan senantiasa mengguyur jiwa kita. 

Mengapa mencintai Nabi SAW sesuai dengan fitrah manusia? Secara hakiki, kita adalah darinya. Ada Nabi dalam diri kita. Sebagaimana Allah berfirman : “Dan ketahuilah dalam dirimu adalah Rasulullah…” (QS. Al-Hujurat [47] : 7). Ini juga sesuai dengan sabda Rasulullah : “Aku dari Allah, dan kaum mukminin dariku”; dikutip dari kitab Sirral Asrar karya Syekh Abdul Qodir Al Jailani)

Beliau semacam cahaya yang menampakkan seluruh keberadaan. Bayangkan, meski sebuah ruang itu indah, dihiasi oleh pernak-pernik yang mahal harganya, akan tetapi ruang tersebut gelap, maka sudah pasti seluruh keindahan tersebut tidak nyata. Kita bisa mengenali wanita cantik—atau sebaliknya—dikarenakan hadirnya cahaya. 

Sayyidina Muhammad SAW, dalam konteks ini, merupakan nur semesta yang berperan mewujudkan semua eksistensi. Guru mulia menggambarkan Nur Muhammad seperti halnya pergelaran layar tancap. Ketika kita menyaksikan layar tancap—kini tinggal sebuah cerita—maka di layar sudah tersedia negatif film. Hanya saja negatif film tersebut bisa aktif kalau disorot oleh cahaya. 

Tanpa cahaya, maka gambar-gambar yang bersifat potensial tidak pernah tergelar nyata. Boleh juga diserupakan dengan televisi. Kalau kita melihat film di televisi, sungguh sebelum kita melihat gambar-gambar yang bergerak, seharusnya kita melihat cahaya terlebih dahulu.  

Nur Muhammad merupakan kesadaran yang menghiasi kita. Bayangkan, tanpa kesadaran, maka kau tak mendapati apa-apa. Orang yang sedang dalam kondisi off, tidur misalnya, maka dia tidak menemukan jejak apapun tentang situasi yang sedang menyertainya dikala tidur. Apalagi kalau dia memasuki tidur yang dalam. 

Seluruh kenyataan yang melintas di hadapan kita hanya akan eksis ketika kita menyadarinya. Bayangkan ketika kesadaran kita sedang tenggelam pada film yang kita saksikan. Kala kita terserap dalam film tersebut, kita tak akan menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar kita. Bahkan, tak jarang saking khusyuknya, ketika di samping kita tersedia kacang, dan kita memakannya hingga tandas. 

Namun karena kesadaran kita terserap pada film tersebut, kita sama sekali tidak sadar sedang makan kacang. Hingga film itu buyar, kesadaran kita normal kembali, maka kita jadi heran siapa yang telah makan kacang tersebut. Kok tiba-tiba sudah ludes. Kita tak sadar bahwa yang menghabiskan kacang tersebut adalah diri kita. Iya, ada bergantung pada sadar, tidak ada bergantung pada lupa.  

Lalu siapa yang memancarkan kesadaran tersebut? Kesadaran disebut juga dengan Nur Muhammad. Maka tanpa Nur Muhammad, kita tak bisa menghadirkan penilaian. Nilai yang baik dan buruk tidak akan pernah kita dapatkan. Ketika terbentuk kesadaran, baru seseorang memiliki perbedaan. Kesadaran pertama adalah akal. Iya, akal bisa membedakan, mana yang hak dan mana yang bathil. 

Kesadaran yang bertahta pada diri kita tersalurkan dari Nur Muhammadiyah. Guru mulia mengumpamakan seperti lampu yang menyala di setiap rumah. Lampu tidak hanya menerangi satu rumah, tapi setiap rumah mendapatkan saluran energi lampu. Lampu ini bisa menerangi istana raja, apartemen orang kaya, atau gubuk reot orang miskin. 

Meskipun mungkin warna lampu dan harganya berbeda, tapi cahaya yang menerangi tetaplah sama. Berasal dari energi listrik yang sama. Hanya saja mungkin watt-nya yang berbeda. Ada yang ber-watt besar, juga ada yang ber-watt kecil. Tapi, energi cahaya berasal dari sumber yang sama.

Yang mengaitkan dengan lampu-lampu adalah trafo. Trafo tersambung pada pembangkit listrik. Dari sanalah cahaya itu mengalir. Ketika kita berhasil mengidentifikasi diri kita sebenarnya (esensial), maka kita akan mengetahui bahwa dalam diri kita ada Nabi. Nur Muhammad.

Ketika kita menyadari pada diri kita ada Nur muhammad, maka kita akan mengidentifikasi diri kita dengannya, sehingga timbul cinta yang mendalam pada beliau SAW. Cinta selagi bermakna cinta adalah identifikasi diri. Kalau kita telah terserap dalam cinta pada Nur Muhammad, maka kita akan mengaktualisasikan sifatnya. 

Sifat utamanya adalah berserah diri pada Allah. Karena sesungguhnya Nur Muhammad-lah yang pertama-tama berserah diri pada Allah. Dengan berserah diri, kita berpeluang mengakses—sekaligus meneladani—sifat-sifat baik yang menghiasi Sayyidina Muhammad SAW.


Diantara kita mungkin masih merekam tentang kisah Abdullah bin Umar ra. Begitu besar rasa cinta pada Nabi Muhammad SAW, membuatnya terpacu untuk melakukan identifikasi diri, menenggelamkan jiwanya pada jiwa Sayyidina Muhammad SAW. 

Tersebab jatuh dalam identifikasi diri, maka dia selalu menapaki setiap tempat yang pernah dihampiri Nabi SAW, sekaligus meniru bagaimana beliau SAW duduk, berdiri, berbicara, bahkan tersenyum. Karena terserap pada Sayyidina Muhammad SAW, maka nyaris eksistensi diri sendiri hilang dan lenyap, melebur dengan Sayyidina Muhammad SAW. 

Ingatlah, setiap kita memiliki potensi Nur Muhammadiyah. Tinggal bagaimana kita mengaktualisasikannya. Ketika kita—dengan izin Allah—mengaktualisasikan diri dengan Nur Muhammad, maka kebahagiaan akan selalu menyertai kita.



BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang