Setan Tak Sudi Kita Bahagia
01 September 2022
Aku sedih, aku kecewa, aku kesal, aku merana, aku putus asa. Ungkapan kalimat semacam itu dinantikan oleh musuh kita, Iblis. Kalimat-kalimat itu sesungguhnya sangat mengiris dan mencabik-cabik hati kita sendiri. Akan tetapi, kata-kata tersebut, bagi Iblis, sangat menyenangkan untuk didengar; seperti simfoni yang membuatnya bisa berpesta. Iblis bergembira sekali melihat kita bersedih, terlunta-lunta, apalagi putus asa.
Jadi, ketika kita sedih, kecewa, apalagi mengutuk keadaan, tentu saja kita telah memberikan “hidangan” empuk bagi Iblis untuk bergembira. Jika kita telah mengakui Iblis sebagai musuh bebuyutan, maka jangan pernah beri kesempatan Iblis bergembira. Karena sekali lagi, target utama Iblis adalah agar kita tidak bersyukur.
“Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS. Al-A’raf [7]: 17)
Dalam suatu kesempatan, salah satu guru saya, KH. Mas Yusuf Muhajir, memimpin rombongan umroh. Setibanya di tanah suci, beliau mengajak segenap rombongan untuk melaksanakan ibadah umroh. Tentu lebih banyak secara kuantitas daripada rombongan yang lain. Bahkan, beliau meminta mereka banyak beraktivitas di luar penginapan, dalam bentuk ibadah umroh, ketimbang tidur-tiduran di penginapan.
Jika beliau mendapati ada sebagian anggota rombongan yang malas-malasan, atau mungkin tidur pulas, beliau ingatkan agar bangun dan mengisi hari-hari selama di Mekah dengan umroh. Karena hanya ibadah umroh yang tidak bisa dikerjakan di luar Mekah. Kalau shalat, masih bisa dikerjakan di luar Mekah.
Jika melihat ada orang menikmati kenyamanan di maktab, maka beliau menyeru “Jangan menggembirakan Iblis”. Karena Iblis, tentu saja, gembira ketika berhasil menyaksikan orang malas beribadah.
Karena itu, jangan beri celah Iblis gembira oleh karena kita menjauh dari Allah. Kalau kita tekun beribadah, hati bergayut dalam perasaan butuh pada Allah, tentu saja akan membuat Iblis bersedih hati. Maka hendaknya kita selalu menunjukkan rasa syukur dengan terus menghadapkan hati pada Allah. Salah satunya melalui ibadah yang disertai ingat dan syukur pada Allah.
Kalau kita mau merenungi lebih dalam, sejatinya target Iblis hanya satu. Apa itu? Agar kita tidak bersyukur kepada Allah. Bukankah hanya orang yang terampil dan pandai bersyukur yang hatinya melulu diisi dengan kebahagiaan? Ibadah yang kita lakukan adalah ekspresi kita bersyukur kepada Allah. Jika seseorang beribadah, namun tidak dihiasi dengan spirit syukur, ibadahnya akan terasa hambar.
Tak sedikit diantara kita, mungkin saja, sangat tekun ibadahnya, kuat puasanya, ringan sedekahnya, akan tetapi masih saja hatinya disesaki oleh keluhan. Di samping itu, dia juga masih menemukan perkara yang bisa dia protes dan selalu menemukan dimensi negatif dari kenyataan yang menerpanya. Hal itulah yang membuat kebahagiaannya tidak terdongkrak meski dia telah melakukan semua ibadah tersebut.
Ditambah lagi, kala dirinya telah dirasuki sebuah pemikiran bahwa dengan ibadah yang tekun, Allah akan selalu memberikan jaminan kehidupan yang mudah, lapang, dan selalu diguyur nikmat. Sehingga, ketika dia terperosok dalam kesulitan hidup yang tidak terurai, bahkan ujian beruntun datang menghampirinya, maka dia akan dengan mudahnya menyimpulkan bahwa Allah tidak baik padanya. Bahkan menyangka Allah tidak adil.
Allah hanya disebut baik—menurut dia—jika apa yang dia inginkan bisa terpenuhi. Misalnya, ketika dia pengin kaya dan Allah berikan kekayaan, maka Allah baik. Namun jika keinginan kaya tidak Allah penuhi, bahkan terus saja terperosok dalam kekurangan, maka dia artikan bahwa Allah tidak baik padanya.
Selain itu, ada orang yang sudah beribadah pada Allah, akan tetapi di hatinya selalu disusupi perasaan kurang. Terperangkap oleh pikiran, apakah ibadahnya diterima atau tidak. Bayangan takut diterimanya ibadah tersebut akan mengikis rasa syukur atas ibadah yang dia lakukan. Dia terus dibayangi perasaan bahwa ibadahnya tidak diterima karena jauh dari kategori khusyuk.
Tak jarang kemudian terlintas pikiran, untuk apa shalat jika tidak disertai khusyuk. Sebagian kemudian memilih untuk tidak shalat. Shalatnya menunggu nanti setelah bisa khusyuk. Kondisi batin seperti ini hanyalah jebakan dari setan agar kita tidak bersyukur. Atau, seperti orang yang enggan bersedekah karena masih terselip riya. Nunggu ikhlas dulu saja, lalu nanti bersedekah. Ini pun salah satu jebakan dari Iblis.
Jika kita sudah mendirikan shalat, seharusnya kita bersyukur pada Allah. Mengapa bersyukur? Kita bersyukur karena telah diizinkan oleh Allah untuk shalat. Tak semua orang diizinkan oleh Allah untuk mendirikan shalat. Ibadah—sejatinya—bukan karena kemampuan yang berhimpun pada kita, melainkan sebentuk hidayah yang Allah transfer ke dalam hati.
Artinya, kita patut bersyukur karena telah diberi kesempatan untuk beribadah, sembari terus membenahi kualitas ibadah kita dari waktu ke waktu. Bukankah dengan bersyukur, Allah pasti akan menambahkan? Dengan mensyukuri hidayah Allah pada kita, yang mana kita bisa mendirikan shalat atas izin-Nya, bisa jadi Allah akan menambah karunia yang lebih besar. Salah satunya karunia batin berupa khusyuk.
Manusia sulit bersyukur karena melihat keadaan dirinya yang penuh dengan kekurangan, lantas lupa akan karunia Allah yang terus mengalir, tanpa jeda, padanya. Ingatlah, nikmat yang Allah curahkan pada kita bukan hanya nikmat lahir berupa sandang, pangan, dan papan, tapi juga nikmat ruhani yang sangatlah penting nilainya dalam mendongrak kebahagiaan kita.
Kalau kita fokus pada nikmat yang Allah berikan, maka kebahagiaan akan terus meluap di jiwa kita. Jangan sampai karena kesedihan yang terlalu dalam terkait urusan dunia, lalu kita lupa bersyukur atas karunia Allah yang sangat agung, berupa iman yang Allah tanamkan ke dalam hati kita.
Cari Alasan Untuk Bersyukur
Jika Iblis menargetkan kita agar tidak bersyukur, maka kita harus mencari ribuan alasan untuk bersyukur pada Allah. Dengan demikian, kita tidak memberi ruang bagi Iblis untuk bergembira. Bukankah kegembiraan Iblis hanya ketika melihat kita mengeluh, alias tidak bersyukur?
Mungkin Anda bukan orang kaya. Tapi Anda diberi keluarga yang sehat, harmonis, dan anak-anak yang sholeh dan sholehah. Jadikan keadaan tersebut sebagai pemancing rasa syukur.
Sesekali Anda berkunjung ke penjara. Amatilah bagaimana kehidupan orang yang mendekam di penjara. Mereka jauh dari keluarganya. Kebebasannya sangat dibatasi. Lantas, menengok keadaan kita yang bisa merajut kebersamaan dengan keluarga, bisa beribadah, bisa bersilaturahmi dengan leluasa, maka rasa syukur akan terbit dari ufuk jiwa kita.
Kalau kita selalu memiliki alasan untuk bersyukur, maka kita tidak akan pernah diterpa penderitaan dalam hidup. Itulah janji yang Allah torehkan dalam kalam-Nya.
“Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allah Maha Mensyukuri dan Maha Mengetahui”. (QS. An-Nisa [4]: 146)
Kalau kita tidak bersyukur, apalagi terus-menerus terjebak dalam keluhan, maka kita sedang mengikuti jalan Iblis. Tapi, kalau kita selalu memiliki alasan untuk bersyukur pada Allah, berarti kita telah menempuh jalan yang Allah bentangkan.
“Dan Dia pula yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin berzikir (mengambil pelajaran) atau yang ingin bersyukur”. (QS. Al-Furqon [25]: 62)
Allah menginginkan kita bahagia. Karena itu, Allah meminta kita bersyukur, karena kebahagiaan jiwa kita terselip dalam syukur.
Source:
Sumber Tulisan Oleh Ustad Khaliel Anwar
Sumber Gambar Oleh Freepik.com
0 comments