Ibrahim Al-Adham
31 October 2022
Setiap kali membuka sejarah kehidupan orang besar, mendadak jiwa mekar menampung inspirasi melimpah. Iya, sejarah mereka mampu menghidupkan hati-hati yang sedang mati. Pun mengingat orang shaleh, bisa menuru1nkan rahmat.
Bayangkan, orang sudah berkalang tanah, dan mendahului kita dalam rentang waktu yang sangat jauh, namun masih terasa hidup dan menyertai kita dengan inspirasinya yang tak pernah memudar. Sebaliknya, orang yang nyata-nyata hidup secara fisik, karena jiwanya masih mati, maka tak ada legacy apapun yang dia tinggalkan. Bukan hanya tidak meninggalkan legacy, tapi juga kehidupannya tak membawa dampak kehidupan dan kebahagiaan bagi orang lain.
Pada kesempatan ini, saya hendak mengangkat sosok sufi agung, Ibrahim Al-Adham. Sebelum menapaki, menyusuri, dan menyelami dunia sufi, dia hidup sebagai pangeran di Balkan. Segala macam kemewahan hidup dia nikmati. Dari makanan yang super lezat, pakaian mewah, dan istana yang mewah sudah dia nikmati. Seolah tak mengenali kesulitan sedikit pun perihal kehidupan duniawi.
Meski demikian, di sudut hatinya yang terdalam, tersembunyi kegelisahan yang terus bergolak. Segala kemewahan hidup yang selama ini mengitarinya ternyata sama sekali tak mengantarkan ke relung kebahagiaan terdalam. Bahkan, seperti terus mengapung di permukaan kehidupan yang berwarna-warni. Timbul dan tenggelam. Datang dan pergi. Pasang dan surut. Mungkin saja, secara fisik dan psikis terpenuhi, namun ruhaninya sedang lapar, terlantar, dan menggelapar.
Karena ikhtiar untuk mengusir kegelisahan dan kegalauan yang terus-menerus menyambar hidupnya, dia tergerak mengikuti sebuah zawiyah sufi. Disana, dia mendapatkan pelajaran-pelajaran ruhani yang sangat istimewa. Berkali-kali dia mengikuti lingkaran sufi tersebut. Hanya saja, kebahagiaan belum benar-benar meluapi dirinya. Seolah masih ada jarak yang menganga antara pelajaran sufi yang diterimanya dengan kenyataan hidup yang dialami. Lebih tepatnya, tasawuf, baginya, masih sebatas ilmu. Bukan jalan hidup yang harus ditempuhnya. Hingga datanglah sebuah peristiwa yang mengetuk kesadarannya.
Ada seorang yang berlari-lari di atap istana. Tentu saja, seluruh keluarga istana terusik dengan tindakan orang tersebut. Tidak terkecuali Ibrahim Al-Adham. Mereka meminta penjaga kerajaan untuk menegur dan mengamankan orang tersebut, sekaligus dibawa ke hadapan Ibrahim Al-Adham.
Setibanya di atas atap, salah seorang pengawal kerajaan bertanya, “Apa yang sedang kau lakukan disana?”
“Aku sedang mencari kuda yang hilang”, ujar orang tersebut.
“Kamu sudah gila, ya!”, bentak pengawal sembari menyeret orang tersebut turun dari atap istana.
Orang tersebut pun digiring ke hadapan Ibrahim Al-Adham. “Apa yang sedang kau lakukan di atap kerajaan?”, tanya Ibrahim.
“Saya sedang mencari kuda yang hilang”, ujarnya santai.
“Tidak masuk akal. Masa kuda lari di atap”, tegur Ibrahim.
“Ada yang lebih tidak masuk akal lagi, Tuan”, sela orang tersebut.
“Apa itu?”, tanya Ibrahim.
“Tuan lebih tidak masuk akal. Karena Tuan sering mengikuti zawiyah, tapi kehidupan Tuan masih dikelilingi kemewahan”, sindir orang tersebut dengan menghujam, menyengat, sekaligus menyengat.
Perkataan tersebut membuat Ibrahim Al-Adham tertunduk malu. Malu pada dirinya sendiri. Kalimat sederhana yang dilontarkan oleh orang asing tersebut sangat membekas dan mengubahnya. Bahkan seperti menyetel orientasinya secara dramatis.
Tanpa banyak berpikir, dia menyerahkan pengurusan kerajaan pada saudaranya. Dia sendiri keluar dari kerajaan dengan membawa bekal seadanya. Pakaian mewah yang membalut tubuhnya, dia lepaskan. Lalu ditukar dengan baju yang dikenakan oleh seorang pengembala yang berteduh di pinggir jalan. Ibrahim, kini, mengenakan pakaian compang-camping. Tidak ada yang mengira bahwa dia adalah seorang pangeran dari Balkan.
Sepanjang jalan yang dia tapaki, dia bertegur sapa dengan orang. Setiap kali, dia menemukan orang yang membutuhkan, maka dia berikan uangnya. Seluruh uang dibawanya, dia bagi-bagikan hingga habis.
Demi mendengar ada seorang darwis yang membagi-bagikan uang, maka seorang ibu bersama anaknya mengejar dan menghampiri Ibrahim. “Wahai Tuan, berhari-hari kami kelaparan”, ujar ibu tersebut. “Sudikah kiranya, kau berderma pada kami?”
“Wahai ibu, aku sudah tidak punya apa-apa”, ujar Ibrahim. “Tapi, kalau ibu mau, antarkan saya pada orang terkaya di daerah sini”.
Diantarlah Ibrahim Al-Adham pada orang terkaya di daerah situ. Setibanya di hadapan orang kaya tersebut, Ibrahim bertutur, “Wahai Tuan, belilah aku sebagai budak”, minta Ibrahim. “Dan berikanlah pada ibu dengan anaknya ini”.
Sebuah keputusan yang mengejutkan. Dia tidak hanya men-sedekah-kan hartanya, tapi sekaligus berani mewakafkan dirinya. Bayangkan, dari seorang pangeran yang berlimpah harta, dia kemudian memilih sebagai budak untuk menyelamatkan kehidupan orang lain. Dia bukan hanya melepaskan harta, tapi juga melepaskan keakuannya.
Keberaniannya melepaskan satu persatu segala kebanggaan yang melekat padanya, dari kedudukan, harta, hingga dirinya sendiri, maka dia telah menggapai kedekatan dengan Allah. Dia meraih pencerahan yang agung. Mereguk lezatnya makrifatullah.
Dari kisah sederhana tentang orang agung ini, kita bisa memetik sebuah kesimpulan bahwa perjalanan yang panjang dari seorang sufi yakni untuk menerobos keakuan. Ketika orang telah berhasil menerobos tembok keakuan, disana dia akan merasakan matahari makrifat bersinar terang.
Saya teringat dengan kisah dari Guru Mulia. Dahulu ada seorang murid yang disekap kesedihan. Sedih tersebab tidak bisa selalu berada di majelis gurunya. Dia seorang pedagang yang menjalankan bisnis di luar kota. Berhari-hari. Sehingga baru beberapa bulan, bisa bersimpuh di hadapan sang guru. Dia ingin sekali selalu membersamai gurunya.
Setelah mengetahui kesedihan yang menyelinap di hati sang murid, tentu saja sang guru tergerak untuk memberinya pencerahan.
“Wahai anakku, panjangnya nasihat yang ku sampaikan, bisa diringkas oleh seujung kuku saja”, ujar sang guru.
“Apa itu, wahai guru?”, si murid bertanya penasaran.
“Hilangkan keakuan!”, pungkas sang guru.
Iya, perjalanan panjang seorang sufi untuk meraih pencerahan tiada lain kecuali hanya bagaimana bisa merobek, mengikis, sekaligus melenyapkan keakuan yang bersarang pada dirinya. Tanda seorang murid sudah hilang keakuan adalah dia akan sejalan, selaras, dan serasi dengan gurunya. Ujungnya, dia akan serasi dengan Allah SWT. Jika tidak ada lagi selisih dengan Allah, maka kebahagiaan akan selalu tercurah dalam kehidupan kita.
0 comments