Kehilangan Yang Mendewasakan
17 October 2022
Sebelumnya Abdul Muthallib hanya memiliki anak tunggal. Tak ayal, beliau diejek. Karenanya, Kakek Nabi Muhammad bernazar, jika memiliki sepuluh anak, maka satu diantara mereka akan dijadikan korban. Sepuluh anak yang sudah dewasa pun diundi, siapa kiranya yang bernasib untuk memenuhi nazarnya. Dan undian pun jatuh pada Abdullah bin Abdul Muthallib.
Hanya saja orang-orang berdatangan membujuk agar Abdul Muthallib tidak mengorbankan Abdullah. Pada akhirnya, Abdullah diganti dengan 100 ekor unta. Sehingga bebaslah Abdullah sebagai persembahan.
Abdullah telah mempersunting Aminah binti Wahhab. Beberapa lama pernikahan itu terjalin, Aminah didapati telah mengandung janin. Hanya beberapa bulan mendapati istrinya hamil, Abdullah meninggal dunia dalam perjalanan dagang. Sungguh kesedihan menghujam hati Aminah. Kehilangan seorang suami tentu sebuah kedukaan mendalam, akan tetapi beliau tahu bahwa beliau tidak bisa mengembalikan masa lalu. Pelan-pelan beliau sanggup menyesuaikan diri dengan kenyataan yang dialami. Beliau dekap dengan sempurna.
Beliau menjalani kehamilan dengan sangat ringan. Tanpa beban sedikit pun. Kegembiraan raya terkait janin yang dikandung telah menindih segala perkara yang menghajar beliau. Apalagi, beliau sering mendapatkan bisikan yang menstimulus kebahagiaan di hatinya.
Dengan penantian yang panjang, akhirnya bayi mulia yang dirindukan pun lahir. Kegembiraan menyeruak dimana-mana. Bukan hanya Aminah yang gembira dengan kelahiran anaknya, tapi juga kakek, paman, dan orang-orang sekitar pun terjalar oleh kegembiraan yang menguari hati Bunda Aminah. Hanya saja, baru menginjak usia 6 tahun, Rasulullah SAW harus rela berpisah selamanya dengan ibunda tercinta.
Pengasuhan pun berpindah pada kakeknya, Abdul Muthallib. Sang Kakek pun tidak begitu lama mendampingi dan menyertai beliau. Iya, sebentar saja kakek memberikan pendidikan padanya. Tidak lama, kakek beliau pun wafat. Selanjutnya pengasuhan diserahkan pada pamannya, Abu Thalib. Abu Thalib sangat menyayangi Rasulullah SAW.
Namun karena kehidupan beliau miskin, maka Rasulullah SAW yang menginjak remaja harus bekerja keras demi kelangsungan hidupnya. Rasulullah SAW sempat menjadi pengembala kambing, lalu menjadi pedagang. Abu Thalib lumayan lama mengiringi keponakannya, hingga Rasulullah SAW menuju mahligai rumah tangga bersama Khadijah Al-Kubro.
Bahkan kedua sosok yang dicintai, yakni Abu Thalib dan Khadijah Al-Kubro pada gilirannya terlebih dahulu meninggalkan Rasulullah SAW. Sudah tak ada lagi orang yang bisa dijadikan sebagai tempat bersandar.
Memang, manusia datang dan pergi dari kehidupan kita. Di masa remaja, kita—mungkin—memiliki sahabat yang sangat dekat. Tidur bersama, makan bereng, jalan-jalan bareng. Tak jarang, orang mengidentikkan kita dengan teman yang setia menyertai kita. Seiiring berjalannya waktu, takdir memisahkan Anda dengan teman Anda. Jika garis takdir Anda menuju arah barat, teman Anda mungkin saja berjalan ke timur. Di perjalanan yang sekarang banyak orang istimewa mengisi hidup Anda. Tak ayal, kenangan-kenangan yang telah terlukis indah tergerus dan menguap begitu saja.
Intinya, orang-orang yang kita cintai tidak abadi. Kini, dia bisa menyertaimu dengan sepenuh hati. Mungkin besok, fisiknya sudah jauh darimu. Begitu pula kehidupan yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Secara beruntun orang-orang dicintainya meninggalkan beliau. Ayahnya, lalu ibunya, lalu kakeknya, lalu pamannya, bahkan istri tercinta yang menjadi peneguh perjalanan dakwahnya pun harus meninggalkan beliau.
Apa kiranya pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa tersebut?
Pertama, sejarah kehidupan Rasulullah yang ditinggalkan orang-orang tercinta hanya hendak menegaskan bahwa beliau tidak dididik oleh manusia. Tidak ada satu pun orang yang menorehkan pengaruh dalam kehidupan beliau. Akhlaknya yang agung, tutur katanya yang manis, dan perbuatannya yang selalu mengesankan bukan karena dipelajari atau dicontohkan oleh orang-orang sebelum beliau.
Semua pendidikan yang tercurah dan mewarnai kehidupan Rasulullah SAW berasal dari Allah SWT. Iya, Allah yang telah mendidik beliau SAW dengan adab yang sangat tinggi. Allah pula yang telah memuji Nabi SAW dengan menempatkannya sebagai sosok yang berakhlak agung. Allah langsung yang mendidik beliau, Allah juga yang memuji betapa indah dan agungnya akhlak yang menghiasi beliau.
Ayah yang paling berhak mewariskan nilai-nilai kebaikan, Allah panggil dikala beliau masih berada dalam kandungan ibundanya. Disusul kemudian—ketika beliau sudah menginjak usia 6 tahun, Allah panggil ibunda Aminah. Tugas pengasuhan pun berpindah pada sang kakek, Abdul Muthallib. Tak lama, kakeknya juga meninggalkan beliau. Pengasuhan berpindah ke pamannya, Abu Thalib. Paman yang penuh belas kasih ini—dikenal—tidak sempat masuk Islam. Tanpa pendidikan intensif dari orang-orang sekitarnya, beliau telah menjelma menjadi sosok yang sangat berpengaruh.
Allah mengambil satu per satu orang yang merawat beliau agar kelak tidak ada persepsi yang berkembang bahwa Nabi Muhammad SAW menjadi besar karena dididik oleh manusia. Nyatanya mereka tak bisa memberikan pengajaran dan pengaruh yang mendalam dalam kehidupan Rasulullah SAW.
Kita masih ingat, bagaimana di usia masih kanak-kanak, beliau dibelah dadanya, lalu dibersihkan. Dihilangkan segala potensi kotor yang bersarang di hati beliau. Dan Allah terus-menerus mendidik beliau sebagai manusia yang berakhlak mulia, dan menjadikan manusia maksum yang terjaga dari segala macam dosa dan kesalahan.
Kedua, sejak awal Rasulullah belajar bersandar pada Allah. Bayangkan, ketika beliau ditinggalkan oleh orang-orang tercinta. Puncaknya ditinggal oleh Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah Al-Kubro. Beliau seperti burung yang tak lagi punya sayap untuk terbang. Kedua sosok yang beliau cintai berposisi seperti benteng dalam perjalanan dakwahnya. Ketika keduanya meninggalkan beliau, ke mana lagi hati akan bersandar?
Karenanya, tahun kewafatan kedua sosok tersebut disebut sebagai tahun kesedihan (‘amul hazn). Saking dalamnya rongga kesedihan yang memapar beliau, beliau meninggalkan Mekah sementara waktu. Meluaskan dakwah ke Bani Thaif. Hanya saja, setibanya di Bani Thaif, alih-alih dakwahnya diterima, malah mendapat penolakan secara terang-terangan. Beliau dilempari batu oleh penduduk Thaif. Mereka mengerahkan orang gila dan anak-anak kecil untuk melempari Rasulullah SAW dengan batu hingga tumit beliau berdarah.
Memang, sudah tidak ada siapa-siapa lagi yang layak dimintai bantuan. Hanya Allah saja. Peristiwa Thaif tersebut sebagai pengantar Rasulullah SAW melakukan perjalanan Isra dan Mi’raj. Melalui peristiwa agung tersebut, Allah seolah mengirimkan pesan, agar tidak lagi bersandar pada makhluk, tapi bersandar total pada Allah. Sarana untuk menguatkan keterhubungan jiwa dengan Allah SWT adalah melalui shalat.
Siapa yang benar shalatnya terbentang di hadapannya jalan keberuntungan dan kebahagiaan. Setelah peristiwa Isra Mi’raj, yang berarti telah meneguhkan keterjalinan jiwa Rasulullah dan para sahabat pada Allah SWT, maka Islam mengalami transformasi yang luar biasa. Diawali dengan hijrah secara bergelombang dari para sahabat, disusul oleh Nabi Muhammad SAW, berikutnya sahabat-sahabat yang diminta khusus menyusul Nabi Muhammad SAW.
Iya, kehilangan orang-orang tercinta sejatinya mengingatkan kita untuk kembali mengaitkan jiwa kita pada pokok kehidupan, yakni Allah SWT. Dan jaminan bagi setiap orang yang bersandar pada Allah adalah mencapai kemenangan yang gilang-gemilang. Tak pernah tersentuh kecewa orang yang bersandar sepenuh hati pada Allah SWT.
0 comments