Aku Kehilangan dan Menemukan Dia
14 November 2022
Kehilangan merupakan salah satu perkara yang ditakuti. Bukankah semua orang tidak mau titik kenyamanannya diusik? Memiliki memang terasa enak, tapi kehilangannya membuat hati getir. Jika kita berlebihan menyenangi sesuatu ketika ada, maka kita akan menderita berlebihan ketika sesuatu itu lenyap. Siapa yang hobi memiliki, maka dia pun akan sering mengalami kedukaan.
Seorang wanita, misalnya, hobi bersolek agar tampil molek. Ketika dia sudah merasa memiliki wajah cantik, diam-diam menyusup rasa takut kehilangan. Takut kecantikannya memudar. Apalagi terselip keyakinan, sudah pasti kecantikan itu akan memudar bersamaan dengan datangnya usia tua. Keriput yang memenuhi wajah kelak akan menggusur dan mengikis seluruh kecantikan. Bahkan jejak kecantikan hilang sama sekali. Pun semua perkara di dunia ini, pada gilirannya akan terhempas, hilang, dan lenyap. Karena hanya Allah saja yang Mahakekal.
Hanya saja, kadang dibalik yang kita takuti ternyata terselip kenikmatan lebih agung yang Allah sediakan. Sebuah contoh yang sering disajikan oleh Guru Mulia untuk menggambarkan tentang kehilangan yang pasti Allah sediakan gantinya.
Beliau mengangkat contoh sebuah pohon. Ketika mendekati puncak pertumbuhan, di sela-sela ranting pohon menyembul bunga. Orang-orang bahagia menyaksikan bunga itu bermekaran. Berselang beberapa hari, bunga mulai rontok satu per satu. Tentu saja, ada kesedihan yang menyelinap di hati. Bukankah bunga itu bisa menghadirkan kebahagiaan tatkala diperhatikan. Kini, bunga telah rontok, terhempas ke tanah.
Memang, ada sesuatu yang hilang. Hanya saja dibalik kehilangan itu, Allah menyediakan ganti yang lebih baik. Dinanti saja dengan sabar, tak lama setelah itu akan mencuat buah dari tangkai pohon tersebut. Mungkin kebahagiaan sempat redup ketika bunga telah rontok, tapi kebahagiaan menguar kembali dengan volume yang lebih besar, karena mendapati buah telah menggelantung di pohon. Pada saatnya, dia tidak hanya melihat dan mencium bunga, tapi juga dibawa pada pengalaman merasakan buahnya.
Allah kadang mengambil sesuatu dengan paksa dari genggaman kita. Karena diambil secara tiba-tiba, kita mungkin saja terkejut. Tak pernah terbayang akan mengalami kehilangan. Akan tetapi, kalau kita bisa menyikapinya dengan anggun, Allah ganti yang lebih baik. Ganti yang kita dapatkan tidak bisa kita dapatkan dengan bertahun-tahun beramal. Bahkan amal kita tidak menjamin bisa mendulang anugerah agung ini.
Anugerah ini bukan hanya mengantarkan orang mendapatkan surga, tapi juga mendekap dan berdekatan dengan yang punya surga. Anugerah ini disebut sebagai anugerah yang paling agung. Lebih agung daripada surga.
Anugerah yang lebih agung daripada surga adalah ridha Allah. Kita hanya mendapatkan ridha Allah ketika kita ridha pada apa yang sudah lepas dari genggaman. Kalau kita melepaskan biji pepaya, misalnya, maka akan tumbuh menjadi pohon pepaya. Kemudian menghasilan buah pepaya yang mengandung berbutir-butir biji pepaya. Tidak ada ruginya orang yang ridha atas takdir kehilangan. Karena kita bukan hanya memeroleh ganti yang lebih baik dalam bentuk yang terlihat oleh mata, tapi kita juga akan memeroleh suatu yang lebih agung daripada surga, yakni ridha Allah Swt.
Andai kita kehilangan segalanya, jangan pernah bersedih terlalu dalam. Karena boleh jadi kehilangan itu hanya pengantar kita menemukan Allah Swt. Jiwa hanya menghendaki Allah Swt. Tiada kegembiraan dan ‘pesta pora’ bagi jiwa melebihi dekatnya jiwa dengan Allah. Jika Allah sudah ridha pada kita, maka segala kenyataan sama sekali tidak akan mengusik kebahagiaan. Kita tetap damai meski gelombang menghantam silih berganti.
Sepertinya Allah merampas segala yang kita senangi. Kita menyebutnya sebagai kehilangan. Padahal sesungguhnya Allah datang untuk menguasai hati kita. Dikala seorang raja mendatangi sebuah negeri, maka ia menghancurkan simbol kebanggaan di dalamnya. Sehingga raja pun berkuasa atas tempat itu.
Ketika Allah mengambil segala apa yang kita sukai, sejatinya Allah menghilangkan segala apa yang kita banggakan. Diganti dengan hadirnya Allah di dalam hati. Tidak ada lagi kemelekatan di hati kecuali pada Allah saja. Dan kita sudah pasti bahagia selagi tertaut pada Allah. Ketika Allah menguasai hati kita, berarti kita mencintai Allah. Kalau Allah sudah mencintai kita dan kita mencintai Allah, maka sudah selesai perjalanan hidup kita. Karena kita sudah berada di stasiun ridha. Dan ridhalah puncak pencapaian sesungguhnya.
0 comments