Kita adalah pikiran
22 November 2022
Pikiran memang bukan hakikat kita. Karena pikiran setiap orang berbeda. Sementara hakikat sudah pasti sama. Akan tetapi, untuk mengukur kualitas kehidupan bisa dijajaki dari apa yang kita pikirkan.
Kalau kita melulu memikirkan kebaikan, insya Allah sebuah pertanda bahwa kita adalah baik. Tentu saja tidak berhenti disitu. Karena orang baik tidak pernah merasa baik, tapi merasa sebagai orang yang harus terus bertumbuh menjadi lebih baik.
Selain itu, orang baik selalu terpukau dan kagum pada orang baik. Dia tergerak mencontoh orang baik. Dia membuka-buka biogrofi yang menggambarkan kehidupan orang baik. Dengar kabar orang baik datang, maka dia bergegas untuk hadir dan menemuinya. Setidaknya satu majelis bersamanya. Meski tak bisa bersalaman. Menyaksikan wajahnya saja sudah cukup menambah stok kebahagiaan dalam dirinya. Jika karena suatu hal tak bisa menemui orang baik, setidaknya di hati terbawa kerinduan padanya. Bukankah orang baik selalu ingin bersama orang baik pula?
Sebaliknya, kalau kita selalu tertarik dengan keburukan, berpikir buruk, atau berprasangka buruk tentang orang lain, maka sejatinya pikiran demikian sedang menggambarkan keadaan diri kita. Seperti lalat, sukanya menghinggapi makanan, atau mungkin kotoran. Karena ia baru saja beterbangan dan hinggap di tempat yang kotor, lalu dia bergeser ke tempat yang bersih. Ia bukan membuat tempat bersih tetap bersih, malah tertimpa kotoran.
Kalau pikiran kita sering tertuju pada perkara yang kotor, maka itu menjadi pertanda bahwa kita sedang dalam keadaan kotor. Sudah pasti orang yang senantiasa berpikir kotor terperangkap dalam kesedihan dan kedukaan. Bukan hanya tertuju pada perkara kotor, bahkan pada orang baik-baik saja, orang yang berpikir kotor masih bisa berhasil menemukan keburukan. Selalu berhasil mengintip, mengintai, dan menangkap keburukan yang melekat pada orang lain. Memang, seseorang hanya menemukan apa yang dicarinya.
Seperti seseorang yang membuat janji ketemuan dengan sahabatnya. Tempat yang dipilih untuk bertemu adalah tempat dimana banyak orang berkerumun. Tapi setibanya disana, dia hanya fokus pada orang tersebut. Pemandangan yang lain tak menarik baginya. Bahkan, terkadang melihat orang lain seperti orang yang hendak ditemui. Sebenarnya tidak sama, tapi karena pikiran terlalu fokus pada yang dicari sehingga sekilas tampak sama.
Guru mulia menggambarkan tentang kecondongan pikiran manusia melalui sosok tukang copet. Seorang copet suka menggasak dompet yang mencuat di saku orang. Setiap ketemu orang, perhatiannya tertuju pada dompet. Tak peduli yang melintas di hadapannya adalah orang baik atau tidak, ataupun orang yang berpenampikan kaya atau berbalut pakaian sederhana.
Bahkan, pada sekaliber seorang ulama pun dia tidak peduli. Seorang ulama berpakaian jubah dan serban lewat di hadapannya. Kewibawaannya pun jelas terpancar. Banyak orang berkerumun hendak memeroleh berkahnya. Sementara fokus tukang copet tetap tertuju pada saku sang ulama. Semakin menggebu semangatnya untuk menggarong dompet. Apalagi kesempatan didukung oleh adanya kerumunan.
Karena itu, sepatutnya kita menempatkan pikiran sebagai hal yang sangat perlu untuk diarahkan. Dan bukan pikiran yang mengarahkan kita. Pikiran perlu dibersihkan dari segala “penilaian-penilaian” kotor, karena kelak akan berdampaknya pada kotornya kenyataan yang dilihatnya. Seperti halnya kacamata. Kalau kita berkacamata hitam, maka yang terlihat di depan hanya warna hitam. Kalau kita mengenakan kacamata kuning, otomatis yang tersaksikan di depan kita warna kuning. Jika kau menggunakan kacamata bening, maka yang terlihat di depan kita adalah realitas yang apa adanya.
Kalau kita menyaksikan kenyataan yang apa adanya, maka kita akan selalu menemukan kebahagiaan. Apalagi ketika dikuasai kesadaran bahwa kenyataan yang ada telah diramu dengan sangat baik dengan ke-mahabaik-an Allah. Teologi tersebut akan membimbing kita agar bisa tersenyum dalam melihat kenyataan. Kita, memang, tidak tertambat pada kenyataan. Kita hanya melekat pelaku (fa'il) dibalik kenyataan. Dan fa'il yang kita kenal Mahabaik, sehingga seluruhannya adalah baik.
Karena itu, situasi dan kondisi apapun yang tergelar, tetap saja isinya hanya kebaikan. Kita kadang memandangnya sebagai sebuah keburukan, karena pengetahuan kita tidak sanggup menjangkau kebaikan itu. Kalau kita bisa mengenali lebih dalam, maka kita akan menemukan kebaikan di setiap kenyataan.
Karena itu, jika kita tak berhasil menemukan kebaikan pada sebuah kenyataan, jangan sama sekali menyalahkan kenyataan. Apalagi menyalahkan Allah. Kesalahan hanya dinisbatkan pada diri sendiri, kenapa belum juga menemukan kebaikan yang menyusup dari kenyataan tersebut.
Kalau kita tak menemukan alasan sedikit pun, atau pintu masuk untuk menemukan kebaikan, sekali lagi salahkan diri sendiri, kenapa masih juga gagal menemukan kebaikan pada realitas yang tergelar. Karena kegagalan kita menemukan kebaikan berarti kita gagal mengenal Allah. Karena, kelak, jika kita mengenal Allah, maka sejauh mata memandang kita hanya melihat samudera kebahagiaan yang tak bertepi.
0 comments