Benarkah Dosa Penyebab Musibah?
01 December 2022
Saya sering mendengar bahwa musibah menyambar seseorang tersebab dosa yang dilakukan, sebagai bentuk peringatan keras dari Allah. Kalau Anda tak ingin disambar musibah, jangan pernah coba-coba berbuat dosa.
“Tengoklah, mengapa disana terjadi gempa, mengapa disana dihantam banjir bandang, mengapa disana disambar badai yang menakutkan? Semua itu terjadi karena dosa umat manusia”, sebagian mengomentari perihal musibah.
“Karena pelaku dosalah yang menjadi penyumbang terbesar terjadinya musibah sengit di sana”, sebagian lagi memberikan penilaian tajam.
Alih-alih bersikap simpati, empati, apalagi mengidentifikasi diri dengan korban musibah tersebut, mereka justru terkesan mengutuk, bahkan menyudutkan para korban. Seolah setuju jika siksa yang perih dan pedih pantas menimpanya.
Sekilas yang mereka katakan ada benarnya. Bahwa pengundang musibah adalah dosa. Makin menumpuk dosa di sebuah kampung, peluang datangnya musibah juga makin besar. Sementara ketika orang menegakkan amal kebaikan, sekaligus sering menyebut-nyebut nama Allah, maka Allah akan menahan musibah agar tidak turun di kampung tersebut.
Akan tetapi, dosa disebut mendatangkan musibah, itu tidak sepenuhnya benar. Karena Allah juga menghendaki untuk mengikis dosa-dosa, meningkatkan derajat, dan membenahi jiwa manusia melalui musibah. Allah menghendaki kebaikan melalui musibah yang ditimpakan pada manusia.
Menafsirkan Ulang Musibah
Kita kudu memugar sudut pandang kita bahwa terjadinya musibah bukan semata-mata karena dosa saja. Banyak orang jauh—menurut penilaian kita—dari Allah. Disana banyak orang melakukan perbuatan maksiat, akan tetapi musibah tidak juga turun di tempat tersebut. Mereka tetap happy menjalani hidup saja. Sementara di sisi lain, di sebuah kampung yang menggalakkan kebaikan, tapi musibah tetap saja menjangkau mereka. Selama ini, kita kadung menilai musibah itu negatif. Padahal, boleh jadi dibalik musibah yang kita “benci” mengandung kebaikan melimpah jika kita sanggup meresponnya dengan kesabaran yang kukuh. Bukankah kesabaran mendatangkan pahala tanpa batas?
Bukan hanya pahala, dengan ridha terhadap musibah yang memapar, derajat seseorang juga diroketkan pada maqom yang tinggi. Tak jarang, musibah menjadi sebentuk “surat cinta” dari Allah Swt pada hamba-hamba-Nya. Dengan musibah, seseorang akan ditarik mendekat, bermesraan, sekaligus merasakan lezatnya “berpadu” dengan Allah.
Boleh jadi sebelum musibah itu menghantam, ibadah yang dilakukannya terasa kering, gersang, dan tak membekaskan kebahagiaan di jiwa, alias dipapar kehampaan saat beribadah. Bersamaan dengan datangnya musibah, perasaan butuh pada Allah semakin meningkat. Bukankah hanya ketika rasa butuh dan tawakkal pada Allah semakin meresap ke dalam jiwa, lezatnya hubungan dengan Allah akan terasa? Tak jarang, musibah Allah timpakan sebagai pintu bagi seorang hamba untuk mereguk kelezatan beribadah, bermunajat, dan tawajuh pada Allah Swt.
Mungkin saja, sebelum musibah menerpa kita, kenikmatan kita masih sekitar makan, minum, pakaian, atau paling tinggi kenikmatan seksual. Setelah musibah dihadirkan, terbukalah kenikmatan yang tak pernah kita rasakan sebelumnya. Kenikmatan ini jauh lebih lezat daripada kenikmatan indrawi. Yakn berupa kenikmatan terhubung dengan Allah. Bukankah damai hanya bisa disesap oleh orang yang ingat, alias merasakan hadirnya Allah Swt.?
Bayangkan, di malam hari yang sepi, sunyi, dan hening, Anda bersimpuh di hadapan Allah dengan hati berserah diri pada Allah. Anda bertobat dengan sungguh-sungguh pada Allah hingga derai tangis membasahi pipi. Dikala Anda bersimpuh, menghinakan diri di hadapan keagungan Allah Swt, maka Anda akan benar-benar ditarik dalam palung kelezatan ruhani yang tak bisa digambarkan.
Allah Perancang Musibah
Setiap orang tentu saja tidak pernah merencanakan diri mendapat musibah. Akan tetapi, Allah telah menetapkan musibah bagi setiap hamba-hamba-Nya. Karena dengan adanya musibah, seseorang akan memperoleh poin yang tinggi melebihi dari ibadah ritual yang biasa dijalani. Musibah sudah Allah tetapkan bahkan sebelum manusia dilahirkan ke bumi.
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikannya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri". (QS. Al-Hadid [57] : 22-23)
Tidaklah masuk akal, peristiwa yang terjadi sekarang menjadi penyebab apa yang sudah ditetapkan-Nya dahulu. Bukankah penyebab seharusnya bertempat di awal? Jika kita memahami ini, maka kita tak mudah mengutuk, merendahkan, dan menghinakan orang lain tersebab musibah. Karena Allah bukan melihat musibah yang datang, melainkan bagaimana kita menyikapi musibah tersebut.
Jika kita bersabar atas musibah tersebut, maka musibah justru menjadi pendongkrak pahala tanpa batas bagi kita. Kalau kita ridha dengan kenyataan pahit yang menerpa kita, maka kita bisa mencatat poin rida Allah dalam kehidupan kita. Rida Allah tak bisa didapatkan dengan banyaknya ibadah. Meski bisa, tapi sangat sulit. Karena rida Allah tak terbatas, sementara amal manusia—sebanyak apapun—tetap saja terbatas. Bagaimana mungkin suatu yang terbatas bisa meraih yang tak terbatas dari Allah? Namun, dengan rida terhadap musibah, manusia bisa mendulang ridha Allah.
Nikmat dan musibah adalah dua realitas yang pasti mengiringi kehidupan manusia. Jika tidak sedang mendulang nikmat, manusia sedang diterpa musibah. Bagi orang beriman, menurut Nabi Muhammad Saw, keduanya sama-sama baik. Nikmat menjadi baik jika direspon dengan syukur, dan musibah menjadi pemancing kebaikan jika ditanggapi dengan kesabaran.
Mari kita sejenak berpikir tentang peristiwa yang menimpa Nabi Adam as. Beliau dikeluarkan dari surga tersebab melampaui batas yang telah Allah tetapkan. Allah melarang Nabi Adam as mendekati apalagi memakan buah khuldi. Namun godaan yang dilemparkan Iblis datang dengan luar biasa. Setelah gagal menggoda Nabi Adam as, Iblis pun menggoda Sayyidah Hawa. Melalui Sayyidah Hawa-lah perangkap Iblis berhasil. Singkat cerita, keduanya menikmati buah khuldi.
Iya, tersebab makan buah khuldi itulah mereka “diusir” dari surga oleh Allah Swt. Dari kisah tersebut, kita meyakini karena telah berbuat dosa itulah, Nabi Adam as dan Sayyidah Hawa harus terperosot dari surga ke bumi. Sebuah tempat yang dihiasi oleh dualisme.
Sikap kita akan berubah drastis setelah kita membuka percakapan antara Nabi Adam as dan Nabi Musa as. Nabi Musa as yang berjuluk sebagai kalimullah cenderung menyalahkan Nabi Adam sebagai penyebab anak manusia turun ke bumi. Di bumi inilah, orang mengenal penderitaan. Akan tetapi, Nabi Adam as menampik. 40 tahun sebelum terlemparnya Nabi Adam as dari surga sudah Allah rencanakan di lauhul mahfudz bahwa Nabi Adam as pada saatnya harus terusir dari surga.
Tentu saja, banyak hikmah yang terbuka di balik keluarnya Nabi Adam as dari surga. Salah satunya, tersebab peristiwa itu, kita mendapati manusia berkembang biak. Dari sekian manusia yang dilahirkan, ada manusia yang ditunggu di setiap zaman. Bahkan jadi cahaya seluruh zaman. Termasuk sosok yang ditunggu kelahirannya oleh Nabi Adam as, yakni Nabi Muhammad Saw.
Sebagian ulama menyampaikan bahwa sejatinya Nabi Adam as keluar dari surga dikarenakan saking besarnya kerinduan pada Nabi Muhammad Saw. Dan tidaklah terlahir Nabi Muhammad Saw secara jasmani tanpa melalui reproduksi. Dan reproduksi itu hanya berlaku di bumi.
Musibah bukan semata-mata karena dosa. Boleh jadi Allah hendak memberikan pendidikan spiritual pada hamba-Nya. Dengan berdosa, akan timbul perasaan hina. Menyeruaknya perasaan hina akan membuat orang ingin kembali pada Allah. Bertobat pada Allah Swt. Ketika orang bertobat pada Allah, maka dia telah diangkat sebagai kekasih Allah. Jika Allah telah mengangkat seseorang sebagai kekasih Allah, maka kebahagiaan akan selalu meliputinya. Karena itu, kita jangan berpikir linear. Kita perlu berusaha berpikir dialektis. Tak jarang apa yang kita sukai justru tersembunyi dibalik apa yang tidak kita sukai.
Musibah Bahan Introspeksi
Ketika musibah menghantam, kita jangan buru-buru menghakimi dan menyalahkan orang lain. Apalagi kesalahan diarahkan pada korban musibah. Selain tidak memberikan solusi, pernyataan seperti itu hanya terkesan nir-kasih sayang. Tuna empati. Seharusnya ketika orang terkena musibah yang mencuat dari hati kita adalah kasih sayang, semangat untuk membantu agar mereka terhibur, dan segera bisa melalui musibah tersebut. Bukan malah mengutuknya.
Ketimbang retrospeksi, seharusnya musibah menjadi bahan introspeksi bagi kita. Bagaimana jika musibah itu menerpa kita? “Mungkin saja saya telah jadi penyumbang terjadinya musibah itu”.
Banjir, misalnya, terjadi di sebuah daerah. Kita introspeksi. Boleh jadi kita rentan menyumbang terjadinya banjir. Kadang membuang sampah di selokan, sehingga air yang masuk selokan tertahan, lalu meluap. Atau mungkin karena dosa-dosa yang kita lakukan telah ikut berperan mendatangkan masalah dalam kehidupan orang lain.
Kenyataan yang menerpa seseorang sebagai tempat bercermin, sehingga musibah bukan hanya menjadi penggugur dosa bagi yang sedang kena musibah, tapi juga menjadi pembersih hati dari segala bentuk kotoran. Dengan musibah yang menerpa orang lain, mendongkrak semangat ibadah kita, melapangkan jiwa kita untuk berbagi dengan sesama, meneguhkan kebersandaran pada Allah, dan memupuk kelezatan munajat pada-Nya.
Jangan biarkan peristiwa berlalu begitu saja tanpa membekasan pelajaran pada kita. Kita harus bisa menambang pelajaran, bahkan kebersihan lewat musibah yang berserakan dalam kehidupan. Sehingga apapun yang terjadi, entah pada diri sendiri atau orang lain, menjadi pendorong dekatnya kita pada Allah Swt. Bukankah hanya dengan mendekat pada Allah, semua peristiwa pada puncaknya akan membuahkan kebahagiaan di hati?
0 comments