-->

Menangislah Agar Ditarik ke Puncak

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Menangislah Agar Ditarik ke Puncak

15 December 2022

Menangislah Agar Ditarik ke Puncak

15 December 2022



Menangis bukanlah perkara baru. Manusia pertama yang Allah ciptakan dengan tangan-Nya juga pernah terjatuh dalam kesedihan yang panjang. Kebahagiaan yang dicerap telah dicabut semuanya. Seolah segala keindahan surgawi yang beliau rasakan tertinggal sebagai kenangan yang menyayat hati. Mengapa tidak selamanya tinggal di surga? Air mata pun bercucuran terus-menerus, sehingga nyaris semua tanah yang berada di sekitarnya digenangi air mata sosok mulia ini.

Dua keadaan yang membuat beliau terus didera kesedihan. Pertama, beliau mengenang kebersamaan dengan Allah di surga, sedangkan kini harus menerima kenyataan berada di bumi dengan realitas yang berkebalikan dengan surga. Terpisah dari Allah. 

Kedua, di surga, semua apa yang terlintas di pikiran segera terhidang di depannya. Tinggal menikmati. Akan tetapi, ketika sudah berada di bumi, beliau harus mengikuti jalur sebab akibat yang Allah tetapkan. Selama di bumi dia harus menjalani prosesnya. Selain itu, beliau harus menerima kenyataan bahwa beliau tidak lagi dekat dengan Allah. Tidak lagi jadi tetangga Allah. Selain itu, harus terpisah dengan kekasih yang dianggap sebagai penenang dan penggenap jiwanya. Sang istri tercinta.

Tangisan itu menggerus segala kesalahan yang berjejak dalam hidupnya. Pengampunan Allah segera meliputinya. Tobatnya yang disertai dengan tangisan itu sudah diterima oleh Allah. Dipulihkan namanya. Bukan lagi sebagai pendosa, melainkan beliau tercatat sebagai hamba yang berdoa. Karena seketika terdampar di bumi, kalimat yang dibubungkan ke langit mengandung pengampunan yang menyayat hati. Kesedihan Sang Nabi merambat pada seluruh hewan yang berada di sekelilingnya. Hewan-hewan itu ikut bersedih. Bukan hanya dipulihkan dirinya sebagai hamba, melainkan Allah angkat beliau sebagai khalifah di muka bumi.

Iblis salah sangka, dikira setelah manusia pertama ini “terjungkir” ke bumi nasibnya akan terus tertimbun di jurang kehinaan. Akan tetapi, kenyataan berbicara lain, justru beliau semakin bersinar karena sikap anggunnya. 

Mengapa Malu Menangis?

Dialah pencipta air mata. Tanpa air mata, mungkin orang tak mengenal ihwal menangis. Menangis—secara fisik—membersihkan mata dari debu-debu yang terselip di antara celah-celah mata. Sementara secara psikologis, tak jarang tangisan mengeluarkan segala bentuk sesak yang menjejal jiwa.

Seorang wanita ditimpa oleh bertumpuk masalah. Dia menceritakan bermacam masalah membelit hidupnya seraya berurai air mata. Dia merasa seperti terperosot di titik terdalam. Setelah mengungkapkan segala bentuk kepedihan hidup yang dialaminya, dia seperti telah menguras kotoran yang menggenang di hatinya. Dia merasa lega. Justru kebahagiaan mulai terbit dari hatinya. Seperti langit yang mendung. Hanya akan cerah setelah mendung tersebut menjadi hujan. Begitu pula ketika dia menumpahkan segala persoalan yang dialami disertai dengan air mata, maka kebahagiaan mulai terbit di ufuk jiwa. 

Memang, kitq harus memilih kepada siapa mencurhatkan permasalahan kita. Tapi lebih baik lagi kalau kita mencurhatkan permasalahan hidup kita pada Allah. Apalagi diiringi tangisan. Didasari oleh sebuah keyakinan bahwa tiada yang bisa membentangkan jalan keluar atas masalah yang memapar kita kecuali Allah Swt. 

Andaikan seluruh manusia berhimpun untuk membukakan jalan keluar atas masalah yang kita hadapi, namun Allah masih belum ingin mengangkat masalah yang sedang menimpa kita, maka masalah itu tetap saja ‘menjerat’ kita.

Sebaliknya, jika ribuan orang berhimpun untuk menimpakan masalah pada kita, tipu daya mereka sama sekali tidak akan mengenai kita selagi Allah menolong agar terhindar dari segala masalah. 

Menangis di hadapan manusia, apalagi berharap mendapatkan uluran tangannya, hanya menambah sesak di dada. Kita bukan memeroleh jalan keluar, melainkan masalah yang ada semakin membesar. Atau bahkan aib kita hanya menyebar pada banyak orang. Kita tak mendapatkan jalan keluar, malah masalah kita jadi viral. Tersebar dari mulut ke mulut. Keadaan yang menimpa tidak hanya tak bisa mengeluarkanmu dari masalah yang sedang dialami, tapi juga malah menjadikan kita semakin terperangkap dalam labirin tanpa jalan keluar.


Dikala masalah telah menghantam kita, ditambah dengan imajinasi buruk yang terus berdesakan di pikiran, di sanalah saatnya kita merebahkan jiwa di hadapan Allah. Bertumpu sepenuhnya pada Allah. Jangan pernah berpaling pada selain-Nya. Dia bukan hanya muasal dari semua perkara yang menghantam kita, melainkan Dia juga sebagai jalan keluar yang Mahasanggup untuk mengakhiri plot ending masalah kita dengan sangat memuaskan . 

Dikala kita menangis di hadapan-Nya, kita pasti akan menemukan kebahagiaan yang tak terperikan. Seperti saat kita merebahkan diri di hadapan ibu yang kasih sayangnya tak pernah diragukan. 

Karena bermacam masalah tiba-tiba menyerang kita secara bersamaan, mungkin kita tak kuat menanggung sendiri. Di titik terendah itulah, kita menghamburkan diri di hadapan ibu. Meski mungkin sang ibu tidak memberikan jalan keluar. Setidaknya, kita berada dalam stasiun rasa aman. Kita merasakan belaian ibu dan kasih sayangnya yang masih murni. Kita kembali ke akar kehidupan fisik kita (secara majasi). 

Sementara kalau kita menghamburkan diri pada Allah, maka kita mengembalikan jiwa kita pada muasal kehidupan kita (secara hakiki). Kita berlari dari Allah (sifat Qahhar-Nya) menuju Allah (sifat lutfiyah-Nya).

Kita mengilas balik sejarah Nabi Muhammad Saw ketika hendak memerangi orang-orang Kafir Quraisy dalam perang Badr. Sebelum perang terbesar itu ditabuh, di malam harinya Rasulullah Saw shalat, berdoa, dan bermunajat dengan menyayat. Doa yang diiringi dengan tangisan yang mendalam. Apa kemudian yang terjadi? Pasukan umat Islam—yang jelas-jelas tidak seimbang kekuatannya dengan pasukan musuh—mampu menaklukkan musuh dengan sangat heroik. 

Menangislah di hadapan Allah, maka disana kita akan menemukan keajaiban. Menangislah dengan didasari penghayatan kehambaan di hadapan Allah. Kita bukanlah siapa-siapa, tanpa pertolongan Allah Swt. Dikala kita sudah benar-benar menjatuhkan diri di hadapan Allah, maka Allah akan mengangkat kita pada ketinggian dan kedekatan dengan-Nya. Ketika kita mengadukan keadaan kita dengan diiringi air mata yang bercucuran, maka Allah sendiri yang akan mengusap air mata kita. Mengubahnya menjadi butir-butir mutiara kebahagiaan. 


BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang