Manifestasi Tuhan
17 January 2023
Setelah kita menghias diri, berarti kita telah berusaha tampil sebagai sosok yang menarik di hadapan Allah. Siapa hamba yang paling menarik di “mata” Allah? Dialah hamba yang selalu mengagungkan rasa ridha—menerima—setiap takdir yang mengalir dari Allah. Dia senantiasa berjuang untuk menumbuhkan rasa yang sekemauan dengan Allah. Bukankah hanya dengan ridha pada ketetapan-Nya, seorang hamba akan meraih ridha Allah SWT? Siapa yang telah mendulang ridha Allah, maka dia telah memperoleh segala-galanya.
Dikala seorang hamba telah ridha, maka Allah pun ridhap kepadanya. Kehendak si hamba dan Allah tak lagi ada selisih. Selalu menyatu, selaras, dan sejalan. Jika Allah sudah ridha dengan seorang hamba, maka Allah akan memberikan karunia yang besar, yakni berupa makrifat. Makrifat adalah sebuah kesadaran akan hadirnya Tuhan. Tercelup di “kolam kesadaran” bahwa Allah selalu menyertai kita. Tak pernah terpisah.
Ketika makrifat telah bertahta dalam hati, maka kita tak pernah menemukan tempat yang sepi dari Allah. Karena Dia selalu meliputi, menyertai, dan membersamai kita semua tanpa jeda. Yang terlihat hanya Allah. Sementara diri sendiri telah tenggelam dalam keagungan-Nya. Dimanapun yang terlihat hanya Allah saja.
Jika ini telah menghiasi kesadaran kita, maka rasa kasih sayang akan memancar luas pada seluruh makhluk. Seperti halnya Majnun yang senantiasa menatap Laila pada setiap obyek yang dia pandang. Seolah Laila selalu hadir menyertainya. Ketika tatapan matanya tertuju pada sebuah pohon yang sedang bergoyang, di hatinya justru melintas gambaran Laila yang sedang bergoyang. Intinya, kemana saja mata menghadap, dia hanya memandang Laila saja.
Pun demikianlah rasanya ketika makrifat telah menyentuh kita. Kita tak melihat siapa-siapa lagi. Kita hanya memandang Allah saja. Karena itu, ketika berhadapan dengan manusia misalnya, maka dia tergerak untuk melayaninya semaksimal mungkin. Seperti halnya ketika dia melayani Allah Swt. Tembok separasi antara Kholiq dan makhluk telah runtuh.
Sosok seperti ini dengan sendirinya akan berbuat muhsin. Dia tulus melakukannya. Karena yang dituju hanya Allah. Dan dia sangat menyadari bahwa setiap kebaikan akan berbalas kebaikan pula dari Allah.
“Tidak ada balasan kebaikan selain kebaikan”. (QS. Ar-Rahman : 60)
Sosok seperti ini tidak lagi menghadap dan berharap pada siapa-siapa dari setiap amal yang dilakukannya, kecuali Allah semata. Berharap pada makhluk dipandang sebagai bentuk patah hati yang disengaja. Kita sudah patah hati berkali-kali setiap kali berharap kepada makhluk. Lalu mengapa kita tak juga memusatkan harapan pada Allah semata dan masih sering mengaitkan harapan pada sesama? Jika kita memandang Allah dalam setiap keadaan, maka keikhlasan sudah pasti mengaliri setiap aktivitas yang kita jalani. Karena ketika fokus pada Allah tapi dia mendapatkan balasan jahat dari orang lain, rasa kecewa tak akan mengoyak jiwanya. Karena hati memang tak pernah berharap dari makhluk. Hanya berharap dari Allah semata.
Selain itu, orang yang telah menggapai makrifat, dia tak lagi memiliki ruang untuk dirinya sendiri. Pada hakikatnya, segala kebaikan yang memancar adalah bukan darinya, melainkan dari Allah Swt. Karena itu, ketika dia mengukir kesuksesan, dia akan mengembalikan pencapaiannya pada Allah. Sebaliknya, ketika dia terpuruk dalam kegagalan, dia memilih menisbatkan pada dirinya sendiri.
Ketika dia bersedekah pada seseorang, misalnya, dia diliputi kesadaran bahwa semuanya berasal dari Allah. Keinginan bersedekah sebagai bentuk kehendak Allah. Uang yang dia sedekahkan pun sejatinya berasal dari Allah. Tidak ada jejak diri sama sekali. Semuanya adalah Allah. Jika kesadaran telah meliputi kita, maka terasa sulit untuk tidak ikhlas. Sementara kita yang belum menggapai makrifat, memang sulit untuk berlaku ikhlas, karena kita masih melihat tindakan, bahkan sama sekali tidak melihat Allah dalam setiap aktivitas yang kita jalani. Kita hanya melihat kita dan orang lain.
Ketika orang telah diliputi kesadaran makrifatullah, maka segala macam kesuksesan yang diperolehnya dianggap sebagai anugerah dari Allah. Bukan karena hasil usahanya. Seperti sikap yang memancar dari Nabi Sulaiman as. Bagaimana beliau menanggapi segala pencapaian sebagai anugerah dari Allah. Tidak ada jejak dirinya sama sekali.
Sosok makrifatullah benar-benar menghayati dan bahkan hanyut dalam kesadaran Laa Hawla walaa quwwata Illaa billah. Iya, kita tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa mengukir kesuksesan secuil pun tanpa kuasa dari Allah. Semakin berkibar orang ahli makrifat, maka semakin merendah serendah-rendahnya di hadapan Allah.
Kesadaran Makrifatullah
Makrifatullah meniscayakan orang hanya melihat Allah saja. Memang Zat Allah tak bisa dikenali. Seorang Nabi pun tak bisa mengenali Zat-Nya. Sejauh yang bisa kita kenali adalah sifat-sifat-Nya. Dan sifat Allah tak bisa dipisahkan dengan Zat-Nya.
Hubungan Zat Allah dan sifat-Nya seperti hubungan matahari dan cahayanya. Cahaya tak bisa dipisahkan dari matahari. Memang, cahaya tidak identik dengan matahari, karena ada cahaya yang lain, seperti cahaya lampu, cahaya bintang. Tapi dalam konteks cahaya (matahari) bukan selain matahari. Keduanya tak bisa dipisahkan.
Atau seperti mawar dan harumnya. Keduanya tak bisa dipisahkan. Apakah kau bisa meletakkan harum di ruang tamu, sementara mawarnya di teras rumah? Tentu tidak bisa. Keduanya selalu berpadu.
Atau juga seperti gula dan manisnya. Keduanya, lagi-lagi, tak bisa dipisahkan. Atau seperti besi dan paku. Besi ada terlebih dahulu, sementara paku tercipta kemudian.
Allah selalu menyertai dimana pun kita berada. Dia tak pernah terpisahkan dari kita. Seperti halnya tidak terpisahnya besi dan pakunya, bunga dan harumnya, gula dan manisnya. Tapi, sekali lagi, meski kita tidak bisa dipisahkan dari-Nya, bukan berarti kita adalah Allah. Bukan. Sama sekali bukam. Dia bersifat Qidam dan kita bersifat Hudus. Dialah yang sebenar-benarnya Ada, sementara kita hanya keberadaan. Diadakan oleh Dia. Dalam kekuasaan Dia. Di mata Allah, kita tak punya dampak apa-apa. Kita kosong.
Kesadaran inilah yang akan membimbing kita untuk tidak lagi melihat jejak aku yang individual. Kita hanya melihat Aku Universal. Allah Swt. Karena hanya ada satu Aku, maka berarti tidak ada yang hidup kecuali Allah, berarti tidak ada yang terpuji kecuali Allah, dan tidak ada yang berbuat kecuali Allah. Kita hanya menemukan aktor tunggal yang memantulkan banyak peran.
Kita akan menemukan Allah setelah tergerusnya keakuan kita. Kita akan menemukan Dia ketika kita telah kehilangan diri yang palsu (ananiyah). Insya Allah.
0 comments