-->

Menghias Hati

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Menghias Hati

09 January 2023

Menghias Hati

09 January 2023



Saya menjelaskan dan menggambarkan tentang takholli, yakni bersihnya hati dari segala penyakit yang cenderung menggerogoti. Ketika kita telah terbebas dari penyakit hati, maka rasa damai akan mendatangi kita. Hanya saja, kebersihan hati tidak cukup bagi orang yang berharap bisa bersanding atau bersimuka dengan Allah Swt. Mereka juga perlu menghiasi hatinya dengan sifat-sifat baik. Tasawuf menyebutkan sebagai level tahalli. 

Saya misalkan orang yang membersihkan hati seperti orang yang mendapati tubuhnya berlumur dan belepotan dengan kotoran. Karena merasa tubuhnya kotor, dia bergegas menuju kamar mandi. Setibanya di kamar mandi, diguyurlah seluruh tubuhnya dengan air yang bersih, sehingga seluruh kotoran yang melekat itu bisa hilang sama sekali. Kalau dia hendak bertemu kekasihnya, tentu saja tidak cukup hanya dengan mandi dan berpakaian apa adanya. Dia tentu saja akan menghias dirinya, mengenakan pakaian yang indah, dibubuhi dengan wewangian yang terus menguar harumnya. Sehingga, ketika bertemu kekasih, dia akan mendapatkan apresiasi yang baik. 

Tentu berbeda halnya kalau kita bertemu kekasih, misalnya. Jika badan kita berbau keringat yang tidak sedap, bahkan lengkap dengan pakaian compang-camping, mungkin saja kekasih mau menemui kita, tapi tentu tidak akan berlangsung lama. Dia langsung ‘kabur’ menjauh dari kita. Atau kalau dia sudah muak dengan penampilan kita, dia langsung saja meninggalkan kita dalam keadaan merana. Berbeda halnya jika kita bertemu dengan orang umum yang tanpa berhias diri pun tak jadi masalah, karena kita tidak menaruh cinta khusus padanya. Iya, hanya orang yang memiliki tempat khusus di hati kita lah yang menggerakkan kita tidak sekadar bersih, tapi juga berhias diri. 

Kalau kita ingin bersimuka dengan Allah, tentu tidak cukup hanya bersih, tapi juga harus berhias. Tidaklah orang berhias kecuali dalam hatinya terpendam cinta. Iya, kalau kita memendam rasa cinta pada Allah, maka kita akan selalu berhias. Termasuk ketika kita ke masjid, tentu kita tidak akan datang dengan mengenakan kaos oblong. Kita tentu berhias diri dengan pakaian yang indah. Kita tidak merasa cukup membalut tubuh kita dengan baju dan sarung. Mungkin kita akan melapisi dengan jas, dan bahkan mengenakan kopiyah yang sekaligus diikat dengan serban. 

Bayangkan, membalut fisik saja begitu, apalagi membalut hati, tentu lebih penting. Karena yang menjadi pusat perhatian Allah adalah hati. Apa hiasan yang harusnya mengisi hati kita? Dalam perspektif guru mulia, ada 8 sifat penting dihiaskan ke dalam hati kita, yakni zikir, shiddiq, ikhlas, berserah diri, syukur, ridha, sabar, dan tawakkal. 



Dari 8 hiasan batin ini lalu mengerucut atau mengkristal pada satu sifat, yakni ridha. Ridha dengan takdir Allah SWT. Tidak pernah membuka perselisihan diri dengan Allah SWT, juga sesama manusia. Dia selalu ridha dengan takdir yang Allah gelar dalam kehidupannya, sekaligus ridha dengan kenikmatan dan kebahagiaan yang memenuhi orang lain. Mengapa ridha? Integrasi kita dengan Allah adalah integrasi dalam kemauan. Tidak berselisih dengan Allah. 

Kita senantiasa menjalin rasa yang sekemauan dengan Allah. Bukankah kebahagiaan itu terbit dari harmonitas, kesesuaian, atau rasa sekemauan tersebut? Dalam perselisihan, orang tak bisa mereguk kebahagiaan. Bayangkan, jika kita berselisih dengan satu orang saja, setiap kali kita bergesekan dengannya, pasti kita akan merasa sedih, bahkan terpapar derita. 

Berselisih dengan satu orang saja sudah cukup membuat hati kita sesak dan menderita, apalagi berselisih dengan banyak manusia. Lebih-lebih bagaimana kalau kita berselisih dengan Allah Swt, sudah barang tentu kita akan selalu merasa ditikam oleh penderitaan. Mengapa? Bukankah setiap tarikan dan hembusan nafas kita mengalir takdir Allah? Tidak jeda sama sekali? Kalau kita berselisih dengan Allah, maka kita selalu mendapati alasan untuk menderita. 

Akan tetapi, kalau kita terus menyelaraskan diri kita dengan Allah, maka akan terbuka kemudahan tergapainya ridha Allah. Karena ridha Allah sangat bergantung pada ridha kita terhadap seluruh ketetapan Allah Swt. 

Di suatu kesempatan, Nabi Musa a.s bertanya pada Allah, “Ya Allah, apakah seluruh amal yang saya lakukan ini menjamin teraihnya ridha-Mu?”

“Belum tentu, wahai Musa”, tegas Allah pada Nabi Musa. Mendadak Nabi Musa a.s tersungkur sujud di hadapan Allah. Hingga kemudian Allah memintanya agar mengangkat kepalanya. 

“Ada cara untuk meraih ridha-Ku, wahai Musa. Yakni ridha dengan segenap ketetapan-Ku”, firman Allah. 

Tentu saja Nabi Musa merasa sangat lapang dadanya. Hanya dengan ridha pada setiap ketetapan Allah, dalam artian selaras dengan Allah, terbuka peluang bagi seorang hamba untuk meraih ridha Allah Swt. 

Iya, cukup dengan hanya terus menjaga ridha kita atas setiap takdir Allah. Kita sekemauan dengan Allah. Walhasil, peluang kita memeroleh ridha Allah sangat besar. Jika seseorang telah meraih ridha, maka 8 sifat yang saya unggah di atas akan ‘ter-stempel’ di dalam hati kita.

Kalau hati sudah dihiasi dengan 8 sifat : zikir, shiddiq, ikhlas, berserah diri, syukur, ridha, sabar, dan tawakkal, maka tentu saja kita sudah mendapatkan kebahagiaan surgawi. Itulah simbol 8 pintu surga batin yang harusnya menjadi pengalaman bagi seorang salik. 




BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang