Proses Makrifat : Bagian 1 (Takholli)
02 January 2023
Makrifat bukan pengetahuan, melainkaebentuk pengalaman jiwa. Siapa yang belum mengalaminya berarti belum makrifat. Karena berupa pengalaman, tentu sulit dilukiskan. Seapik apapun kita menggambarkan, tetap saja tak bisa menjelaskan dengan sempurna. Selalu ada yang kurang. “Pernyataan”, tutur Guru Mulia, “tak bisa menampung kenyataan”.
Seperti halnya orang yang usai menyeduh teh. Lalu dimintanya untuk menjelaskan rasa teh pada orang yang belum pernah merasakan teh. Tentu saja, sedetail apapun dia menjelaskan tentang rasa teh, tetap meninggalkan pertanyaan di hati pendengarnya.
Karena itu, ahli makrifat bukan menjelaskan perihal makrifat, melainkan mengajak orang untuk mereguk air makrifat. Tak jarang, ketika saya menemani guru saya, beliau membimbing saya menemukan makrifat lewat laku yang dijalani. Bahkan, berdekatan dengan beliau, terpancar cahaya ke dalam hati. Ada pencerahan. Ketika cahaya makrifat yang sebentar saja menerobos hati, mendadak kebahagiaan memancar dan berlimpah di dalam hati, meski tak lama berdiam disana. Dari situ, guru mulia hendak menyampaikan pada saya tentang bagaimana nikmatnya makrifat. Saya sebagai seorang murid hanya mendapatkan pancaran secuil dari makrifat, hingga kemudian terhapus oleh kehidupan yang berubah.
Seorang murid seperti saya lalu berpikir, kalau merasakan makrifat sejenak saja menjadikan hati begitu bahagia, bagaimana jika makrifat tersebut telah bermukim selamanya dalam hati kita? Tentu kebahagiaan selalu menghiasi hati. Jika dulu selalu memiliki alasan untuk mengeluh, maka setelah makrifat memancari hati, kita akan selalu punya alasan untuk bahagia. Bahkan bukan lagi alasan, karena sesungguhnya dia melihat secara terang-benderang bahwa hanya kebahagiaan yang tergelar di depan. Makrifat menemukan Allah dalam setiap realitas yang tergelar. Tidak lagi pangling dengan Allah. Bukankah hanya orang yang pangling yang terperosot dalam penderitaan?
Begitu nikmat merasakan makrifatullah, sehingga sangat memantik rasa penasaran, bagaimana cara agar kita bisa meraih makrifat. Kita telah mengenal tiga tahapan yang harus ditempuh untuk mereguk makrifat, yakni takholli, tahalli, dan tajalli.
Pertama : takholli, lebih menekankan pada pembersihan hati. Hati akan dibersihkan jika merasa ditimpuki oleh kotoran. Apa kotoran yang melekat pada hati? Beberapa kotoran yang harus disingkirkan dari hati antara lain sombong, dengki, dan riya. Apakah hanya tiga? Sebenarnya banyak penyakit yang mudah memapar hati kita. Bukan hanya tiga, bisa jadi ada 10, 40, bahkan ratusan bahkan ribuan penyakit hati. Meski demikian, kita harus mengerti akar dari penyakit hati. Kalau akarnya tercerabut, insya Allah penyakit yang lain ikut terusir dari dalam hati.
Dalam proses ‘takholli’, kita fokus pada hati kita seraya memeriksa, masihkah ada sombong dalam hati. Jika kita mendeteksi ada kesombongan yang menjalar di hati, segeralah melumpuhkannya dengan cara merasakan betapa hinanya diri kita. Bayangkan, bahan dasar kita adalah dari air mani. Jika kita menjajakan ke pasar, tentu saja tidak ada yang tertarik membelinya. Masih jauh lebih berharga telur ketimbang mani.
Selain itu, kita perlu melihat kesudahan kita. Setelah tamat dari kehidupan dunia ini, selanjutnya kita akan ditimbun di tanah. Menjadi bangkai, sekaligus jadi santapan belatung. Selain itu, perlu disadari bahwa kita keluar dari dua tempat kotoran. Keluar dari tempat keluarnya kotoran kencing laki-laki dan lahir dari tempat kencingnya perempuan.
Jika kita mau merenungi perkara tersebut, maka tidak ada peluang bagi kita untuk berlagak sombong pada siapapun. Jika kita—sepertinya—bersemat kemuliaan, sesungguhnya bukan karena benar-benar mulia, melainkan karena Allah telah menutupi kehinaan kita, disembunyikan dari makhluk, dan Allah menghiasi kita dengan sifat-sifat baik. Buktinya, tak sedikit orang yang pada mulanya hidup berbalut kemuliaan, kemudian harus terperosok ke jurang kehinaan.
Kita mengenal Bal’am bin Ba’ura, seorang ulama yang sangat disegani. Tempat rujukan bagi umat. Hanya karena dia terpukau oleh pesona duniawi, dia rela menggadaikan ilmunya untuk mendulang dunia yang sangat menyihir. Apa yang terjadi kemudian? Allah mencopot mahkota kemuliaannya sebagai seorang ulama, lalu Allah mengutuknya sebagai kera. Kita tak pernah tahu, bagaimana akhir kehidupan kita. Jangan pernah merasa aman. Selalu berharap pertolongan Allah di setiap waktu yang kita jalani.
Kalau kita memahami diri kita yang hakiki, maka tidak akan terlintas kebanggaan apalagi kesombongan atas apa yang kita peroleh. Karena segala pencapaian kita adalah berasal dari Allah. Tanpa pertolongan Allah, maka kita bukanlah siapa-siapa. Dan bukan apa-apa.
Jika ada tunas kesombongan yang sedang bersemi, langsung ditebas, bahkan dicabut. Apa ciri orang sombong itu? Orang sombong tidak mau menerima kebenaran, dan suka merendahkan orang lain. Kita harus mau menerima kebenaran meski dari anak kecil. Boleh jadi anak kecil lebih bening hatinya ketimbang kita, lebih jujur dalam menyampaikan perkataannya, tak pernah dibumbui kepura-puraan. Tak jarang, dari orang polos dan benar hidupnya, suara ilahi mengalir. Sementara kita, boleh jadi, karena tertimbun oleh dosa dan kepura-puraan, kebenaran tidak pernah bersahabat dengan kita. Cinta sejati juga menjauh. Kebahagiaan pun tak mengiringi hidup kita.
Selain itu, kesombongan membuat orang berhenti belajar. Berhenti bertumbuh. Gagal menyesuaikan diri dengan kenyataan yang terus berubah. Dia tampak seperti orang yang lama mendekam di rumah. Tak pernah menjalin interaksi dengan orang di luar rumah. Setelah beberapa tahun berlalu, dia keluar dari rumah. Dia melihat banyak yang sudah berubah. Dia telah ketinggalan banyak perubahan yang terus bergulir. Dia ketinggalan kereta perubahan yang terus meluncur tanpa henti.
Sombong bertentangan dengan fitrah. Fitrah ingin bertumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Sementara orang sombong merasa sudah sampai, sehingga perjalanan sudah tak lagi dia tempuh. Ketahuilah bahwa tujuan kita tak terbatas. Tujuan puncak kita adalah Allah Swt. Ridha-Nya. Dia adalah samudera tak bertepi. Tapak perjalanan yang tak berujung.
0 comments