Sang Guru yang Selalu Hadir
24 February 2023
Sebentar lagi, tepatnya tanggal 26 Februari, akan dihelat Haul Abuya Dhiyauddin Kushwandi yang pertama. Masih tetap basah dalam ingatan dan hati saya meski Abuya telah meninggalkan saya nyaris satu tahun. Banyak kenangan mendadak menyeruak dari ingatan saya. Bagaimana akhlak beliau terhadap sesama, bagaimana kasih sayang yang beliau pancarkan kepada murid-muridnya, bagaimana kesabaran beliau dalam menyikapi setiap masalah. Semua terangkum sangat indah dalam ingatan saya.
Selama membersamai, beliau lebih banyak menyorot tentang agama, tentang bagaimana menjalin kedekatan dengan Allah. Karena hanya dengan kedekatan jiwa pada Allah yang bisa membawa orang pada oase kebahagiaan.
Dikala saya menyertai beliau dalam sebuah perjalanan, beliau memaparkan pandangannya. “Li, sekaya pun orang, tetap saja tidak bisa memberi pada semua manusia. Tapi orang yang tercerahkan bisa membantu menyelesaikan masalah semua orang”, ucap beliau “Dengan cara apa? Tentu saja dengan mengajak mereka pada Allah”.
Saya renungi nasihat beliau. Dan benar adanya. Kita tak bisa menyelesaikan masalah semua orang. Bahkan, mungkin, menyelesaikan masalah sendiri pun kita tak sanggup. Siapa yang sanggup menghandle dan menyelesaikan masalah yang kita hadapi, bahkan seluruh makhluk yang bertempat di bumi ini? Tidak ada yang lain, selain Allah Swt. Karena Allah penguasa langit dan bumi. Berarti, setiap makhluk berada dalam genggaman, kekuasaan, sekaligus dalam pengaturan Allah.
Mungkin saja, secara lahir, masalah itu belum surut dan selesai, tapi batin kita sudah gembira, dan terbebas dari segala bentuk kegundahan. Mengapa? Karena memahami bahwa tidak ada di balik setiap musibah kecuali setelahnya akan ada kenaikan derajat. Tidak ada dibalik setiap “penghancuran” kecuali disana akan berdiri bangunan yang lebih indah. Selalu bahagia, karena mengerti bahwa segala realitas yang tergelar di hadapan kita adalah hasil tindakan Allah. Tidaklah Allah bertindak kecuali telah diatur volume dan dampaknya. Dia tidak pernah menimpakan masalah dengan overdosis. Melebihi batas kemampuan hamba-Nya.
Tugas dai adalah mengajak semua orang kepada Allah. Mendekat kepada Allah. Tidaklah orang melangkah untuk dekat pada Allah kecuali dia telah berjalan menuju kebahagiaan yang sejati.
Keteladanan yang Indah
Beliau berkisah bahwa ada seorang pengusaha yang berjanji membangunkan pesantren untuk beliau. Tentu saja beliau senang. Beliau melakukan survei tanah yang layak dibangun di atasnya sebuah pesantren. Setelah menemukan tempat yang dianggap feasible, beliau sampaikan pada pengusaha tersebut. Pengusaha dari negeri Jiran itu setuju. Buya sudah menyiapkan semuanya, bahkan sudah tersebar kabar pada beberapa kolega beliau bahwa beliau akan mendirikan pesantren.
Pengusaha itu berjanji untuk mendatangi lokasi yang dimaksud, sekaligus menyerahkan biaya awal untuk pembangunan. Akan tetapi, ketika hari-H tiba, pengusaha itu melakukan pembatalan secara mendadak. Apa alasannya? Ternyata ada seseorang yang mengabarkan pada pengusaha itu bahwa Buya berpaham Syiah. Buya mengatahui siapa orang yang memberikan berita palsu tersebut. Meski demikian, Buya sama sekali tidak menaruh kebencian, apalagi dendam. Setiap kali bertemu dengan orang itu, beliau tetap sopan dan baik hati. Bahkan kebaikan beliau tidak berhenti dipancarkan pada orang tersebut.
Kisah ini mengajarkan kepada kami murid-muridnya bahwa terkadang kita harus bertemu dengan orang yang menusuk kita dari belakang. Namun demikian, jangan pernah kita tunjukkan permusuhan, tetaplah dekap ia sebagai saudara. Boleh orang berbuat jahat pada kita, tapi kita tak boleh berbuat jahat pada siapapun. Bukankah orang hanya memberi sesuai kualitas dirinya? Ketika orang memiliki kebaikan, maka yang dia tebar hanya kebaikan. Sebaliknya, orang yang memiliki keburukan, pun hanya bisa menyebar keburukan. Bahkan, beliau mengajarkan kepada kami, agar tidak hanya mendoakan orang yang berbuat baik, tapi juga mendoakan kebaikan pada orang yang berbuat buruk.
Dari sini kita mengetahui, mengapa pahala akhlak lebih berat daripada shalat dan puasa dalam sehari. Karena akhlak terkait dengan perjuangan hati. Bagaimana kita mengikis nafsu dan ego kita. Dikala orang telah berhasil mengikis keduanya, kedamaian sudah barang tentu bersinggasana di hati.
“Berbuat baik pada orang yang berbuat baik tidak membutuhkan agama, karena anjing pun bisa”, tutur Abuya, “Agama menuntun kita untuk bisa berbuat baik bahkan orang yang berbuat jahat”.
Kalimat ini bukanlah pesan kosong tanpa aksi. Sebelum beliau berucap demikian, tentu beliau telah mempraktikkan. Dan laboratorium untuk menguji setiap kata-kata itu adalah diri beliau sendiri.
Ada seorang tetangga yang tidak suka, jika tak mau dibilang benci, terhadap Abuya. Puncaknya, ketika tetangga bersangkutan mengadakan acara tasyakuran haji, seluruh relasinya diundang. Tetangga di kanan-kirinya juga tak luput diundang. Hanya Abuya saja yang tak diundang. Meski demikian, beliau tidak menaruh kebencian sama sekali. Bahkan Abuya terus saja mendoakan kebaikan bagi orang tersebut. Mendoakan kebaikan tentu melebihi dari sekadar memaafkan. Hati beliau sama sekali tak dihinggapi perasaan tidak suka.
Tetangga tersebut pun berangkat menunaikan ibadah haji. Setibanya di Mekah, dia tak bisa menunaikan haji dikarenakan sakit. Dia hanya meringkuk di maktab. Ketika dia tidur terlelap, dia bermimpi didatangi Buya dengan membawa minuman. Minuman itu diberikan Buya pada orang tersebut. Dikala meneguk minuman tersebut, dia merasakan segar. Dia pun terbangun dari tidurnya dan serta merta merasa segar. Sakitnya telah pulih. Dia penasaran, apakah Abuya ikut menunaikan haji. Setelah ditelusuri, Buya tidak menunaikan haji tahun itu.
Seketika itu, orang tersebut berubah sikapnya. Dari awalnya sangat membenci Abuya menjadi sosok yang sangat mencintai Abuya. Beliau pun membawakan Buya oleh-oleh. “Sejak saat itu”, kata Abuya, “Dia menjadi orang yang sangat mencintai saya. Jalan-jalan kemana saja, dia selalu membawakan oleh-oleh untuk saya”.
Hanya dengan pertolongan Allah, orang yang paling membencinya bisa berubah menjadi sosok yang sangat mencintainya.
Keteladan jernih ini sepatutnya jadi warisan bagi kita. Karena hanya akhlak yang menjadi ukuran bahwa agama seseorang sudah berbuah. Jika belum berakhlak mulia, maka berarti agama kita belum berbuah.
0 comments