Istighfar dan Shalawat
02 March 2023
Dalam perspektif tasawuf, kita mengenal takholli, tahalli, dan tajalli. Takholli dan tahalli merupakan proses, sedangkan tajalli merupakan puncak pencapaian. Hanya saja, meski sebagai pencapaian, tajalli sama sekali tidak berada dalam kendali manusia, tetapi sebagai bentuk inayah dari Allah Swt.
Tajalli adalah bentuk kehadiran Allah dalam relung hati, kemudian memantulkan sifat Allah yang baik bagi manusia yang telah memeroleh tajalli Allah. Para Nabi dan para wali merupakan salah satu golongan yang telah mendapatkan pancaran tajalli Allah. Jika akhlak mereka begitu memukau dan mengagumkan, sejatinya kita hanya terpesona pada Allah yang telah menghiasi hamba-hamba terkasih dengan sifat-sifat-Nya.
Bagaimana sejatinya proses kita mencapai tajalli secara sederhana? Setiap mursyid memiliki rumusan sendiri—sebagai saripati perenungannya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits—untuk mempercepat wushul seorang hamba pada Allah. Meski, sekali lagi, wushul bukan kuasa manusia, melainkan bentuk kasih sayang Allah Swt. Abuya Dhiyauddin Kushwandhi menyuguhkan sebuah formula takholli dan tahalli, untuk kemudian memasuki mihrab tajalli.
Pertama, takholli. Banyak rumus membersihkan hati, salah satunya mujahadah yang sangat keras. Mengurangi tidur (as-sahr), mengurangi makan-minum (al-ju’), mengurangi pergaulan duniawi (uzlah), dan mengurangi berbicara (ash-shumt). Tidak semua orang bisa menjalani mujahadah keras seperti itu, apalagi di zaman yang serba sibuk. Waktu bergulir sangat cepat ditambah dengan obsesi yang berjejal dan susul-menyusul.
Dalam proses takholli, Abuya Dhiyauddin mengajukan formula praktis, yakni dengan banyak membaca istighfar. Tentu saja tidak berhenti pada membaca, tapi dilanjutkan pada upaya meresapi hingga kesadaran terdalam. Kesadaran apa yang harus menyertai ketika membaca istighfar? Kesadaran betapa hina dan fakirnya kita. Ketika kita merasa hina, maka kita akan “merunduk” dan menjatuhkan diri di hadapan Allah. Ketika kita merasa kotor di hadapan Allah Yang Mahasuci, maka kita akan dibersihkan dan disucikan oleh Allah Swt. Kalau kita merasa lemah, maka kita akan mendapatkan suntikan kekuatan dari Allah.
Sebanyak mungkin kita istighfar, semoga Allah bersihkan kita, bukan hanya bersih dari maksiat lahir, tapi juga bersih dari maksiat batin. Sombong, dengki, dan riya digusur dan dibersihkan oleh Allah tersebab istighfar. Istighfar merupakan ekspresi kerendahan hati kepada Allah. Dan hanya dengan merendah, Allah mengangkat ke derajat ketinggian.
Kedua, shalawat. Jika istighfar sebagai upaya membersihkan hati, maka shalawat berfungsi sebagai penghias hati (proses tahalli). Bukankah hanya hati yang dihias yang menarik? Ingatlah, tak ada yang paling menarik di sisi Allah melebih kekasih-Nya, yakni Sayyidina Muhammad Saw.
Kalau kita ingin menarik Allah ke dalam hati kita, maka isilah hati dengan beliau Saw, dengan memperbanyak shalawat. Semakin sering kita membaca shalawat disertai dengan cinta dan kerinduan yang mendalam pada Sayyidina Muhammad Saw, maka hati kita akan didatangi Allah. Yah, jika kita jadikan hati kita dikuasai nama Nabi Saw, maka tentu saja Allah sebagai Kekasih-Nya akan mendatangi hati kita. Hati kita akan menjadi singgasana bagi Allah.
Dengan demikian shalawat sangat efektif untuk menghiasi hati. Apalagi shalawat yang berisi kerinduan dan cinta sepenuh hati pada Sayyidina Muhammad Saw. Ketika hati kita telah dipenuhi cinta pada Sayyidina Muhammad Saw, maka hati akan sangat menarik bagi Allah. Tentu berbeda halnya ketika hati kita dipenuhi dengan cinta duniawi, Allah akan menyingkir dari hati kita.
Kembali lagi, ketika hati sudah bersih melalui istighfar, dan dihias dengan banyak shalawat, maka Allah bertajalli di hati kita. Jika sudah bertajalli, maka Allah akan mewariskan sifat-sifat luhur-Nya kepada kita. Salah satunya, kita akan menjadi orang yang selalu berserah diri pada Allah. Mentauhidkan Allah bukan sebatas kata, tapi ditampakkan dalam perbuatan, juga sikap hidup. Dan jika kita mendapat sifat-sifat Allah yang indah, maka kebahagiaan sudah barang tentu menyertai hidup kita.
Sebagai pamungkas dari tulisan ini, saya ingin menyampaikan tamsil yang diungkapkan oleh Abuya Dhiyauddin Kushwandhi terkait istigfar dan shalawat. Beliau mengumpamakan seperti sembrani yang tak bisa menarik pasir-pasir besi. Mengapa? Sembrani itu tidak bisa menarik pasir besi dikarenakan kotor, dan juga jauh. Bersihkan sembrani dari segala kotoran yang berkarat, dan dekatkan dengan pasir-pasir besi itu, maka sembrani akan bisa menariknya.
Hati kita seperti sembrani, tidak bisa menarik (mendatangkan) Allah karena kotor dan jauh. Jalan untuk membersihkan kotoran tersebut adalah istigfar, dan jalan untuk mendekatkan kita kepada Allah adalah dengan banyak membaca shalawat pada Sayyidina Muhammad Saw. Setelah keduanya dijalani, hasilnya kita serahkan sepenuhnya pada Allah. Insya Allah kebahagiaan akan senantiasa menyertai kita.
0 comments