Menghayati Cinta Allah
19 May 2023
Seorang Samurai bersama kekasihnya baru saja menikah dan sedang bepergian dengan kapal untuk berbulan madu, ketika badai besar tiba melanda. Istri sang Samurai mulai gemetar dan ketakutan; tidak ada pantai yang terlihat dan mereka tampak seperti akan terbalik setiap saat. Ketika dia berlari mencari, suaminya dengan damai melihat ke laut. Seolah matahari terbit dan ombak tenang.
Dia berlari ke arahnya dan berteriak, “Bagaimana kau begitu tenang ketika akan mati! Apakah kau tidak menghargai hidupmu?”. Ketika Samurai mendengar itu, dia mengeluarkan pedangnya dan meletakkan di leher istrinya. Istrinya mulai tertawa. Dia berkata, “Mengapa kamu tertawa? Apakah kamu tidak takut?”. Dia berkata, “Karena aku tahu kau mencintaiku dan tidak akan pernah menyakitiku”.
Samurai pun tersenyum dan berkata, “Yah, aku juga berada di tangan Dia yang mencintaiku, jadi bagaimana aku bisa takut?”.
Sebuah kisah yang saya kutip dari buku Secrets of Devine Love yang dibesut oleh A Helwa. Dari kisah itu, kita bisa meraba betapa besarnya cinta Allah. Cinta membuat kita merasa aman bersama dengan yang dicintai. Ingatlah, Allah selalu bersama kita, dan cinta-Nya tidak pernah berubah, tidak pernah bergeser, apalagi mengalami penyusutan pada kita. Cinta Allah pada kita tidak bersyarat.
Cinta-Nya selalu full pada kita. Cinta
Allah seperti matahari yang selalu terbit. Cahaya-Nya memancar kemana-mana.
Jika kemudian ada orang yang tidak mendapatkan terpaan cahaya matahari, bukan
karena cahaya tidak mendatanginya, akan tetapi karena dia sendiri menutup diri
untuk memeroleh terpaan cahaya matahari.
Sejauh apapun kau melangkah dan membelakangi Allah, Dia tak pernah membelakangimu. Dia selalu ada bersamamu dalam keadaan apapun. Kehadiran-Nya melebihi oksigen. Anda bisa mati tersebab tidak menghirup oksigen. Tentu saja, tanpa Allah, kehidupanmu akan segera berakhir, karena Dialah yang memelihara dan menjaga kehidupanmu.
“Aku adalah Cinta”. Demikian firman Allah yang pernah saya baca. Jika Allah Mahacinta, maka keseluruhan diciptakan dengan motif yang sama. Alias cinta. Allah tidak menciptakan semesta kehidupan sambil mengutuk, atau disertai kebencian yang berjibun. Dia merangkai dan menenun kehidupan ini dengan cinta. Seperti orang tua kita yang menjadi wasilah lahirnya kita ke dunia.
Mereka “menciptakan” kita dengan kemesraan, dengan
cinta dan welas asih. Tidak ada kebencian yang terselip dikala keduanya sedang
menjalin hubungan. Selain itu, sudah barang tentu, tak ada orang tua yang
menghendaki anaknya berperangai buruk atau bernasib buruk. Semua orang
tua—meski dia sendiri berperangai buruk—tidak mau anaknya mengikuti jejaknya
sebagai orang yang berperilaku buruk, apalagi jahat.
Bayangkan, jika orang tua menciptakan kita dengan penuh cinta, tentu saja Allah melahirkan kita ke bumi ini juga dengan penuh cinta. Cinta Allah pada kita tidak pernah berubah atau bergeser. Cinta tetap dan menetap pada kita, hanya saja keadaan cinta kita yang sering berubah pada Allah, bahkan menjauh dari Allah.
Andai orang sudah bergumul dengan sekian perbuatan maksiat, Allah tidak kemudian membenci, apalagi mengutuknya agar terus tenggelam di lautan derita. Sama sekali tidak. Ketika tertimbun dalam perbuatan dosa, Allah masih saja berharap dia kembali kepada-Nya. Saking rindunya Allah, tak jarang kemudian seorang hamba ditimpa kesulitan dan masalah—yang sepertinya—sulit untuk dihindari dan keluar darinya.
Dikala
masalah bertubi-tubi menghantam, diharapkan orang tersebut akan kembali
mendekat pada Allah.
“Andaikan kalian melakukan kesalahan sempai
menjulang ke langit, kemudian kalian bertobat, niscaya Allah menerima tobat
kalian”.
Jika Tuhan seperti manusia biasa, tentu saja akan
bisa menaruh dendam dan benci pada orang yang senantiasa berlaku maksiat. Mungkin
juga sudah membinasakan orang yang terbiasa berbuat maksiat. Akan tetapi, Allah
terus membentangkan kasih sayang-Nya meski orang telah tertimbun dalam
perbuatan maksiat. Jika seorang hamba bertobat pada Allah, Allah akan
membersihkan seluruh dosa dan menjadikannya sebagai sosok yang kembali bahagia.
Seperti seorang ibu yang tentu saja menaruh kasih
sayang yang kuat pada anaknya, meski seorang anak telah berlaku durhaka pada
sang ibu. Lantas, anak tersebut mau kembali pada Allah. Tentu saja sang ibu
akan menerima dengan lapang dada. Dia akan memeluk anaknya.
Pada suatu kesempatan, Rasulullah Saw bersama
sahabat sedang berbincang. Di kejauhan, beliau melihat seorang ibu sedang
menggandeng anaknya. “Bagaimana menurut kalian”, tanya Rasulullah Saw pada
sahabat, “jika anak itu dilemparkan ke kobaran api, apa yang akan dilakukan
ibunya?”
“Tentu saja ibunya akan menerobos kobaran api itu,
sekaligus menyelamatkan”, sebagian sahabat menjawab.
“Begitulah cinta Allah pada hamba-Nya, melebihi
cinta seorang ibu pada anaknya”, Rasulullah Saw membabar kesimpulan.
Manusia sebagai makhluk yang tidak hanya Allah
cintai, tapi juga Allah muliakan di antara makhuk-Nya yang lain. Bahkan bumi
dibentangkan, langit ditegakkan, lautan luas menjelma, pepohonan ditanam,
binatang berkeliaran di hutan, matahari selalu terbit, demikian juga dengan
rembulan dan bintang Allah ciptakan tidak ada lain kecuali untuk manusia. Bahkan,
malaikat dan surga Allah ciptakan tidak lain kecuali untuk manusia. Manusia
adalah mahkota kehidupan.
Karena itu, kita selalu menyadari bahwa cinta Allah senantiasa meliputi kita. Jika Allah dipandang mencintai kita, maka kita pun harus terus memancarkan cinta pada Allah dalam situasi dan kondisi apapun. Jika kita mencintai Allah dalam situasi apapun, maka kita akan selalu bahagia dalam kondisi apapun, karena hadirnya cinta yang membuat kita bahagia. Kalau cinta kita arahkan pada Allah yang Mahakekal, maka kebahagiaan yang kita peroleh pun akan kekal.
0 comments