Urgensi Cinta
26 May 2023
Cinta seharusnya tidak hanya sesuai dengan tuntutan syariat, tapi juga sesuai dengan tuntutan akal sehat, karena cinta sendiri sebagai nyawa dalam kehidupan. Tanpa cinta, agama justru akan menjelma sebagai drakula. Saban hari, agama hanya memproduksi dan mempertontonkan kekerasan, sekaligus memberangus kemanusiaan. Padahal, agama hadir untuk menjaga dan merawat kemanusiaan.
Bayangkan, tanpa diresapi cinta, kita tak bisa menikmati
ibadah yang kita jalani. Ibadah akan terasa garing, hampa, dan tak meninggalkan
kebahagiaan hingga ke relung hati. Pada akhirnya, tanpa cinta, agama menjelma
sebagai kumpulan dogma dan seremonial semata.
Islam—sendiri—mengajarkan cinta pada Allah. Semakin kuat cinta kita pada Allah, maka semakin besar pula volume kebahagiaan yang akan kita rasakan. Sejak dahulu, secara primordial, jiwa manusia condong mencintai Allah. Hanya ketika terdampar di bumi, manusia mulai tertarik oleh bermacam pesona duniawi.
Ketika manusia terpesona pada yang tampak, pelan-pelan cinta pada
Allah mengalami deviasi. Diarahkan pada perkara yang jelas-jelas akan hilang,
lantas lupa pada Zat Yang Mahakekal. Karena cinta diarahkan pada suatu yang
akan hilang, maka kesenangan yang dirasakan juga bersifat sementara. Lalu
buyar. Sebaliknya, jika orang mengarahkan cintanya pada Allah, maka kebahagiaan
yang kekal akan dicerapnya.
Tentu Anda menaruh penasaran, mengapa cinta pada
Allah sangat penting dalam mengarungi kehidupan ini? Ada beberapa alasan
mendasar mengapa kita harus mencintai Allah.
Pertama, manusia akan menghadapi kematian. Iya, kematian merupakan sebuah kenyataan yang tak bisa dielakkan dan dihindari oleh siapapun. Meski kita bersembunyi di benteng yang kokoh, jika ajal sudah tiba, kematian akan tetap menjangkau dan merenggut kita. Kematian—sungguh—menjadi momen menegangkan, sekaligus menakutkan, sekaligus menggetarkan jika hati tidak diliputi dengan cinta pada Allah.
Sebaliknya, ketika hati diluapi rasa cinta pada Allah, maka kematian dipandang sebagai momen perjumpaan dengan Zat yang dicintainya. Setiap orang pasti rindu—karena terpisah lama—dengan sosok yang dicintai. Kerinduan ini hanya bisa dipenuhi melalui pertemuan. Kematian adalah sebuah sarana pertemuan antara hamba dengan Tuhannya.
Bagi pencinta Allah,
kematian bukanlah perkara yang menakutkan, melainkan sebagai hari raya. Jika diserupakan
dengan petani, maka kematian serupa dengan panen raya. Adakah yang tidak
mereguk kebahagiaan dikala panen raya sudah tiba? Tentu saja bahagia meruahi
jiwa.
Suatu saat, Jalaluddin Rumi sedang berada di ambang
kewafatan. Murid-muridnya melingkar di sisi beliau. Mereka sesenggukan, digayut
kesedihan mendalam. Didera ketakutan jika sang guru meninggalkan mereka. Mereka
berharap kematian tidak menjumpai sang guru terlebih dahulu. Karena mereka
merasa masih butuh hadirnya Rumi dalam kehidupan mereka. “Mengapa kalian
bersedih dengan kematianku”, tiba-tiba Rumi berucap, “bukankah kondisi seperti
ini yang sudah lama saya rindukan. Karena kematian akan mempertemukan saya
dengan kekasih sejati”.
Kematian memantik kebahagiaan bagi seorang pencinta
Allah, karena menjadi pintu gerbang pertemuan dengan kekasih.
Kedua, Sakratul Maut. Setiap orang akan menjelang masa sakratul maut. Disana detik-detik yang sangat menentukan. Ketika sakratul maut sudah menyambar manusia, maka kesadaran biasa telah pupus. Jika bukan atas sadar yang aktif, maka bawah sadar yang aktif.
Jika manusia jatuh dalam kecintaan yang kuat pada
dunia, maka dia akan membiarkan dirinya terperangkap dalam bawah sadar.
Sehingga kelak, yang menjelma adalah perkara yang dicintainya dari dunia.
Sebaliknya, jika cintanya pada Allah yang tinggi dan memenuhi jiwanya, dia
berada di atas sadar, sehingga di selalu tergerak untuk menyebut-nyebut nama
Allah.
Kita masih merenung, apa berbedaan husnul khotimah
dan suul khotimah. Husnul khotimah membawa orang mati dalam kondisi penuh
kedamaian. Sebaliknya, suul khotimah melemparkan orang mati dalam keadaan penuh
penderitaan. Orang yang mati dalam keadaan husnul khotimah terserap dalam
kedamaian karena dia akan berjumpa dengan yang Dicintainya. Sementara suul
khotimah menyergap seseorang dalam penderitaan karena sebentar lagi dia akan
berpisah dengan yang dicintainya.
Ketiga, kehidupan ini terasa berat. Semakin kesini, kita telah disuguhi banyak sekali fasilitas, akan tetapi manusia terlihat semakin sibuk. Padahal seharusnya, semakin banyak kemudahan dan fasilitas maka diharapkan akan dapat mengurangi manusia dalam beraktivitas berlama-lama. Tapi yang terjadi sebaliknya. Manusia semakin sibuk. Dalam kesibukan yang tiada jeda tersebut, manusia merasakan kehidupan ini sangat berat untuk dijalani. Tak ayal, kesejahteraan terlihat dimana-mana, tapi keluhan hidup juga kian meningkat.
Tentu kita perlu menawarkan gagasan agar orang tidak
lagi terperangkap dalam keluhan. Kita harus menyertakan cinta pada Allah dalam
setiap aktivitas yang kita jalani. Salah satunya menyadari bahwa bekerja juga
merupakan bentuk ungkapan cinta pada Allah. Sehingga walaupun bertumpuk-tumpuk
kegiatan, sama sekali tidak memicu jiwa untuk mengeluh. Apalagi semua aktivitas
disadari sebagai persembahan pada Allah. Zat yang dia cintai. Bukankah dengan
cinta suatu yang jauh terasa dekat, yang berat terasa ringan, bahkan yang tidak
mungkin jadi mungkin?
Kalau Anda bekerja disertai kebencian atau
permusuhan dengan orang di sekeliling Anda, Anda akan merasa begitu lama
mendekam di penjara. Pekerjaan melahirkan penderitaan. Akan tetapi, ketika
bekerja disertai orang-orang yang Anda cintai, meski waktu yang dilalui begitu
lama, maka akan terasa singkat. Karena aktivitas yang dijalani selalu memancarkan
kebahagiaan. Jika Anda merasa selalu dibersamai oleh Allah—Zat Yang Anda
cintai—tentu Anda akan selalu dalam keadaan bahagia.
Keempat,
keluarga. Hadirnya cinta karena Allah pada pasangan akan menyemai harmoni dan
sakinah dalam rumah tangga. Kalau cinta pada pasangan berangkat dari hawa
nafsu, maka keadaan rumah tangga pasti akan pasang surut. Bahkan boleh jadi
tergusur dan pupus. Akan tetapi, ketika cinta yang tumbuh pada pasangan adalah
karena Allah, maka Allah yang akan merawat cinta yang terjalin diantara
pasangan. Karena yang mengaitkan hati—sejatinya—bukan kita, melainkan Allah.
Ingatlah, kebahagiaan timbul karena adanya cinta.
Jika kita mencintai sesuatu yang bersifat sementara, maka kebahagiaan yang
diraih juga sementara. Tapi, kalau kita mengarahkan dan mendasari cinta pada
yang Abadi, maka kebahagiaan yang diterima dalam rumah tangga juga akan
langgeng. Jika istri mencintai Allah, maka ia mencintai suami karena Allah.
Begitu juga, seorang suami mencintai Allah dan mencintai istri karena Allah, maka
ikatan cinta karena Allah inilah yang akan memproduksi kebahagiaan atau qurrata
a’yun dalam rumah tangga.
Empat alasan mengapa mencintai Allah tersebut
penting, sehingga dengannya diharapkan menjadi penguat bagi kita untuk terus
istiqamah di jalan cinta kepada Allah.
0 comments