-->

Mengagungkan Rasa Syukur

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Mengagungkan Rasa Syukur

23 June 2023

Mengagungkan Rasa Syukur

23 June 2023




Ketika bertakbir, berarti seseorang sedang mengibarkan rasa syukur. Sementara orang yang takabur berarti merenda kekufuran. Tiada orang bersyukur, kecuali akan dituangi kebahagiaan dari cawan yang penuh kemuliaan. Dan tiada orang bersikap takabur, kecuali akan disambar petir penderitaan.

Terkait dengan prolog di atas, saya akan mengangkat pesan sentral dari Dzulhijah agar kita lebih banyak dan lebih sering bersyukur kepada Allah. Saya mengumpamakan Dzulhijah sebagai era panen raya. Tidak ada ucapan yang paling cocok untuk diekspresikan melebihi alhamdulillah. Bukankah ucapan pamungkas ahli surga adalah alhamdulillahi robbil ‘alamin?

Selama ini kita mengetahui pemahaman tutur tinular bahwa keberkahan selalu ditemukan di akhir. Seperti orang makan, maka yang berkah justru terletak di akhir. Tapi, jarang kita menyantap makanan di piring kita hingga bersih dan tandas. Kadang masih ada sisa-sisa butiran yang tercecer di piring kita.

Tak salah, ketika orang makan dengan dialiri jiwa syukur, maka ridha Allah akan mengalir disitu. Bersyukur ditandai dengan tidak membuang-buang makanan yang sudah tersedia di piring kita. Sembari menghayati bagaimana mata rantai proses yang harus dilalui sehingga makanan itu terhidang di depan kita. Jika kita tidak memahami ini, maka kita kadang membuang sia-sia makanan.

Kembali lagi pada pemahaman bahwa bulan Dzulhijah adalah fase berbuah. Masa panen raya. Karena itu, hati kita—seharusnya—diluapi perasaan gembira. Diluapi rasa syukur tanpa jeda. Lantas, bagaimana mengekspresikan rasa syukur.

Pertama, lisan mengucapkan alhamdulillah. Terkait dengan ini, saya teringat dengan kisah yang disajikan di buku karya Al Habib Ali Al Jufri. Disitu dikisahkan, seorang yang dirundung ujian hidup. Selain kulitnya terkena lepra, pincang, dan sekaligus buta. Akan tetapi, dia tak pernah jeda mengucapkan terima kasih pada Allah. Lalu ditanya, “Mengapa kau masih mau berterima kasih?”

“Karena diberi lisan untuk berzikir dan hati yang dihiasi rasa syukur”.

Dia tidak perlu menanti hadirnya nikmat besar untuk bersyukur. Cukup dengan ilham dia bisa berzikir dan bersyukur yang Allah anugerahkan, dia bisa bersyukur berlipat-lipat.

Ketika orang tiada pernah absen merapal alhamdulillah di setiap waktu keadaan, dia telah menyediakan kunci akses kebahagiaan dari berbagai pintu. Bukankah alhamdulillah dalam rangkaian huruf hijaiyah terdiri dari 8 huruf yang melambangkan 8 pintu surga?

Kedua, bersyukur dengan hati. Selalu bergembira dalam setiap kenyataan yang dihadapi. Terkait ini, saya mengangkat kisah Nabi Ayyub a.s. Beliau hidup berkelimpahan, banyak anak, hewan peliharaan berjibun, pun keluarga yang sakinah. Dalam kondisi seperti itu, Nabi Ayyub as senantiasa bersyukur kepada Allah. Menyaksikan kenyataan tersebut, Iblis menaruh benci Nabi Ayyub. Lantas, dia meminta kepada Allah untuk memberi kekuasaan padanya untuk menguji Nabi Ayyub. Iblis berpikir bahwa Nabi Ayyub senantiasa bersyukur karena memeroleh nikmat yang meruah.

Karena itu, Iblis diberi kuasa oleh Allah untuk menguji Nabi Ayyub. Mula-mula dia harus kehilangan hewan peliharaan. Semua hewan itu tewas. Meski seluruh hewan peliharaannya telah mati, tak tersisa, beliau tetap melangitkan syukur kepada Allah. Kemudian anak-anaknya juga meninggal. Tapi beliau tetap bersyukur pada Allah.

Puncaknya, tubuh beliau harus rela digerogoti ulat, sehingga bernanah, menimbulkan bau tidak sedap yang menguar kemana-mana. Beliau pun diusir oleh tetangga kanan kirinya, karena baunya yang menyengat itu juga menyebar. Beliau mengungsi berdua dengan istrinya di sebuah tempat yang jauh dari penduduk. Dalam kondisi seperti itu, beliau tetap mengagungkan rasa syukur pada Allah. Bersyukur bukan karena nikmat saja, tapi karena Allah yang selalu memberi nikmat tanpa jeda. Hatinya selalu bergembira karena dihiasi syukur.

Ketiga, bersyukur lewat perbuatan. Ekspresi syukur dalam perbuatan dapat dilakukan melalui dua jalan; jalan shalat dan berbagi pada sesama. Shalat sebagai aktualisasi nyata dari syukur. Karena itu, mengapa orang tidak sah shalatnya tanpa fatihah. Padahal, dalam fatihah memuat alhamdulillah.

Shalat sebagai kewajiban yang melekat pada hamba Allah. Tidak ada cuti dalam shalat kecuali wanita berhalangan karena haid dan nifas. Jika orang tidak bisa berdiri, bisa shalat dengan duduk. Jika tak bisa duduk, dianjurkan shalat dengan berbaring. Bahkan bisa dengan menggunakan kode mata.

Ketika dalam rangkaian perjalanan, diberikan rukhsah agar orang tetap bisa shalat. Melalui jamak dan qasar. Intinya, kita tak boleh meninggalkan shalat dengan sengaja. Karenanya, shalat ditempatkan sebagai pokok dari semua ibadah.

Syukur dalam bentuk perbuatan lainnya diekspresikan melalui berbagi dengan sesama. Bahagiakan orang lain. Lewat bersedekah. Karena itu, mengapa sehabis perintah shalat, lantas diwajibkan berbagi dengan sesama. Tidaklah sempurna syukur manusia pada Allah jika belum bersyukur pada sesama.

“Siapa yang tidak berterima kasih pada manusia, berarti belum bersyukur kepada Allah”, begitu sabda Nabi Muhammad Saw.

Baiknya kita pada Allah tercermin pada kebaikan yang kita sebarkan pada sesama.

Semoga di bulan Dzulhijah ini Allah mengangkat kita sebagai ahli syukur. Bersyukur dalam setiap keadaan. 
BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang