Menghayati Peran Kekasih Melalui Puasa
21 July 2023
Puasa adalah ibadah yang paling intim dengan Allah Swt. Tak ada yang bisa mengendus apakah kita sedang puasa atau tidak ketika kita berada di bulan Ramadan. Hanya Allah dan kita sendiri yang mengetahui. Di malam hari, mungkin saja Anda ikut sahur bersama dengan anggota keluarga. Lantas, di pagi hari pamit untuk kerja.
Dalam
perjalanan menuju kantor, Anda mendapati sebuah warung yang sedang buka. Anda
menghampiri warung tersebut. Setibanya di warung tersebut, Anda mencium bau
makanan yang menguar dimana-mana. Tentu saja, perut Anda semakin terasa
kelaparan. Lalu Anda membeli dan membungkus makanan tersebut. Anda bisa saja
bilang ke penjaga warung bahwa makanan itu untuk anak Anda yang masih kecil.
Tapi Allah Mahatahu dan Anda juga tahu bahwa sebenarnya Anda tidak puasa.
Puasa merupakan amal yang sangat rahasia antara Anda dengan Allah. Lantas, bagaimana kita bisa mengimplementasikan nilai-nilai puasa dalam kehidupan kita? Sebuah amal mengirimkan tenaga terhadap batin ketika disertai dengan ikhlas, karena Allah. Demi meraih ridha Allah. Iya, dengan menjadikan Allah sebagai tujuan dari setiap amal yang dilakukan.
Bahkan, kemudian timbul kesadaran bahwa ketika kita
berkhidmat kepada manusia, sejatinya kita sedang berkhidmat pada Allah. Karena
yang dia tuju adalah Allah, maka dia tak perlu menanti kebahagiaan itu sampai
besok. Seketika dia beramal, kebahagiaan pun dia petik.
Selain itu,
dia akan melayani sesama seperti melayani Allah. Seorang suami, misalnya, ketika
memberi nafkah terbaik pada istrinya, selalu terselip kesadaran bahwa dia
sedang melayani Allah. Ketika seseorang menyadari sedang melayani Allah, sudah
barang tentu dia akan menyuguhkan pelayanan yang terbaik.
Anda mungkin
saja sudah pernah mendengar dialog antara Allah dengan seorang Nabi Bani
Israil. “Wahai Nabi-Ku, aku kelaparan, mengapa kau tidak memberi-Ku makanan?
Aku sakit, mengapa kau tidak menjenguk-Ku? Aku telanjang, mengapa kau tidak
memberi-Ku pakaian?”
“Yaa Rabb,
Kau Tuhan Semesta Alam, bagaimana mungkin Engkau sakit, Engkau lapar, dan
Engkau telanjang?”
“Iya, Wahai
Nabi-Ku. Ketika ada orang sakit dan kau menjenguk-Nya, Aku ada di sisinya.
Begitu juga ketika kau memberi makan orang kelaparan, Aku ada di sisinya.
Demikian juga ketika memberi pakaian pada orang yang telanjang, Aku ada di
sisinya”.
Dikala orang telah terserap kesadaran sebagai kekasih, maka bukan hanya berakhlak dengan akhlak kekasih, tapi juga menyadari setiap yang dia lakukan sebagai persembahan untuk kekasih. Bukan yang lain. Andaikan ada orang yang kemudian tidak terima terhadap perbuatan baik yang dia lakukan, maka dia sama sekali tidak kecewa.
Karena tujuan utamanya adalah bagaimana mendapatkan ridha Allah Swt. Dia selalu
bersemangat bekerja, dengan atau tanpa mendapat pujian dari sesama. Dia bahagia
karena diberi kesempatan oleh Allah untuk mempersembahkan kebaikan pada Allah
dengan cara melayani makhluk-Nya.
Menghayati
sebagai Bayangan Allah lewat Haji
Kita bukan hanya sebagai hamba, khalifah, dan kekasih, tapi kita juga sebagai bayangan Allah. Jika Anda sejenak merenungi, Anda akan menyadari bahwa bayangan tidak punya kehendak apa-apa. Bergeraknya bayangan karena geraknya yang punya bayangan. Seperti halnya Anda sedang berada di depan cermin. Lantas, Anda bergerak, maka gambar yang berada di cermin juga ikut bergerak. Anda melihat gambar di depan cermin adalah Anda. Tapi, ketika Anda pahami dengan seksama, gambar di cermin bukan Anda. Tanpa gambar Anda. Dia sejatinya tidak ada.
Buktinya, setelah Anda berlalu dari depan cermin, gambar Anda tidak lagi
tampak. Gambar mengikuti yang punya bayangan. Jika yang punya bayangan bergerak
ke kiri, bayangan juga ikut bergerak ke kiri. Kesadaran seperti ini akan
mengikis ujub, karena sama sekali tidak menemukan jejak diri. Kesemua aktivitas
yang dijalani sebagai bentuk kuasa Allah yang dijelmakan melalui dia. Dia
seperti pion yang digerakkan oleh orang yang sedang memainkan catur.
Sosok yang
telah terserap dalam kesadaran serupa ini, ketika bergerak, dia merasa
digerakkan oleh Allah. Ketika dia menyampaikan ilmu sama sekali tidak dia klaim
sebagai ilmunya, melainkan sebagai ilmu Allah. Ketika dia menghasilkan
pencapaian lewat usahanya, sama sekali dia tidak menganggap sebagai usahanya,
melainkan karena kuasa Allah.
Dari sini,
kita bisa memahami firman Allah, “Wahuwa ma’akum ainamaa kuntum wallahu
bimaa ta’maluuna bashiir”. “Dia bersama kalian dimana saja kalian
berada, dan Dia melihat akan apa yang kalian lakukan”. Kebersamaan atau
kesertaan Allah (maiyatullah) dengan kita seperti obyek asli dan bayangannya.
Tentu tak bisa dipisahkan. Tapi secara hakiki yang ada hanya Allah. Kita hanya
bayangan-Nya saja. Ketika merasa sebagai bayangan, maka dia telah merasa berada
dalam lautan laa hawla walaa quwwata illaa billah. Dia telah hilang
keakuannya. Karena dia mengenali aku sejati adalah Allah Swt.
0 comments