Akarnya adalah Kesadaran
11 August 2023
Setiap
mengajarkan perjalanan menuju Allah, Guru Mulia memulai pembahasan tentang yaqdah.
Sadar. Sadar adalah seperti matahari yang menerangi dan menampakkan semuanya.
Tanpa kesadaran, semuanya tidak terlihat, juga tidak terasa. Kesadaran sendiri
tidak menyeruak tiba-tiba. Ilmulah salah satu piranti yang membimbing
terpantiknya kesadaran. Karena itu, mengapa ilmu tauhid menjadi asas utama yang
membuat kita merangkum kesadaran. Semakin meningkat dan menanjak kesadaran
seseorang, maka semakin memancar kebahagiaan dari ufuk jiwanya.
Anda akan bertanya, kesadaran apa saja yang perlu mengisi akal kita?
Kesadaran
Ketuhanan
Tuhan bukan
oknum yang bisa diraba dengan mata maupun dengan akal pikiran. Dia hanya bisa
dicerap dengan hati. Sementara akal hanya menghadirkan penjelasan yang sangat
terbatas. Tak usah menjelaskan tentang siapa Tuhan. Menggambarkan tentang ruang
saja, Anda tak sanggup. Apakah kau bisa meraba, memegang, dan melihat ruang?
Tentu saja tidak bisa. Namun, meski kita tak bisa memegang ruang, sama sekali
tidak terselip keraguan bahwa ruang itu ada. Iya, ruang itu ada. Menampung dan
meliputi semua keberadaan. Iya, semua keberadaan ditampung oleh ruang.
Agar kita mengakses
pengetahuan sekaligus pengenalan tentang Allah, maka disuguhkan di hadapan kita
tentang ilmu tauhid, disebut sebagai aqidah. Mengenal Allah bisa menggunakan
dua perspektif, yakni perspektif tasybih dan tanjih. Dari sisi
tasybih, kita bisa memberi gambaran yang diterima oleh akal karena ada
persamaan yang bisa kita hadirkan. Misalnya, ketika kita membahas tentang Allah
Yang Mahatahu, Anda bisa mengambil contoh orang yang paling alim yang ada di
sekitar kita. Contoh tersebut sebagai fasilitas untuk menggambarkan tentang
Allah Yang Mahatahu meski tidak bisa memberikan gambaran secara tepat dan utuh
karena pengetahuan Allah jauh di atas pengetahuan hamba-hamba-Nya. Bahkan,
pengetahuan hamba yang paling genius sekalipun hanyalah setetes dari lautan
ilmu-Nya.
Terkait
dengan sifat Tasybih ini, kita dipahamkan dengan tauhid i’tiqadi, yakni
tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, dan tauhid uluhiyah.
Tauhid rububiyah sebentuk kesadaran bahwa Allah satu-satunya pencipta
dan pemelihara kehidupan. Karena Dia yang Mencipta, maka Dia pula yang
memelihara kehidupan. Kalau Anda menyelami tauhid ini, maka segala kenyataan
yang mengiringi kehidupan manusia adalah sebagai bentuk pemeliharaan Allah.
Mengapa Allah menghidupkan dan mematikan makhluk? Mengapa Allah memberi
kesehatan pada sebagian manusia dan memberi sakit pada sebagian yang lain? Itu
juga sebagai bentuk pemeliharaan. Bahkan mengapa ada orang yang berbuat dosa
dan berbuat baik, juga tidak lepas dari tujuan pemeliharaan dunia. Ada sebuah
hadis yang menyampaikan bahwa apabila semua manusia baik, tapi ada orang yang
berbuat maksiat sedikit pun, maka Allah akan membinasakan mereka, lalu
mengganti dengan kaum yang baru. Di dalamnya hidup orang yang berbuat maksiat
dan berbuat taat. Pada orang yang berbuat taat, Allah curahkan rahmat-Nya. Dan
pada orang yang berbuat maksiat, Allah turunkan pengampunan-Nya jika maksiat
itu diiringi permintaan ampun sama Allah.
Tentu di
antara kita, tidak mau terjangkit penyakit. Kita ingin sehat terus-terusan.
Sakit dipandang tidak ada manfaatnya. Mudharatnya sudah pasti ada. Namun, kalau
kita mencoba membuka perspektif yang lebih luas, melihat kelangsungan hidup
manusia, maka sakit itu mengandung manfaat. Bayangkan, karena adanya orang
sakit, lantas dirasa pentingnya kehadiran dokter, perawat, dan apoteker. Rumah
sakit berdiri megah. Rumah sakit tidak ada artinya, bahkan seperti rumah tak
berpenghuni jika semua orang sehat. Karen ada orang sakit, maka berdiri megah
kampus kedokteran. Jika demikian, bukan hanya sehat, sakit pun sebagai bentuk
pemeliharaan terhadap kehidupan.
Kedua,
tauhid mulkiyah. Sebuah kesadaran bahwa Allah satu-satunya penguasa dan
pengatur kehidupan. Iya, karena Dia Pemilik sebenarnya, maka Dia satu-satunya
yang berhak mengatur kehidupan. Kesadaran ini membimbing kita agar tidak merasa
merdeka dalam melakukan apa saja. Karena sejatinya semua pencapaian kita tidak
akan mewujud tanpa izin dari Allah. Manusia tidak bisa apa-apa jika Allah tak izinkan.
Inilah makna mengapa setiap kali kita hendak memulai setiap kebaikan diawali
dengan Bismillahirrahmanirrahim. Pesannya jangan membawa nama diri dalam
setiap perbuatan, sehingga perlu mengatasnamakan Allah.
Dan
menyadari setiap pencapaian bukan karena kemampuan dirinya, melainkan karena
pertolongan Allah. Melakukan apa saja kita perlu menyadari peran sebagai wakil
Allah. Seorang wakil—tentu saja—bertindak atas yang diwakili. Artinya, setiap
perbuatan kita tidak boleh berselisih dengan Allah. Guru saya memisalkan Anda mempunyai
sepetak sawah. Kemudian Anda menyuruh seseorang untuk mengelola sawah tersebut.
Namun yang disuruh mengelola tidak mengikuti instruksi dan kemauan Anda, tentu
saja Anda akan kecewa. Karena sawah itu bukan milik orang yang mengelola, tapi
milik Anda. Seharusnya pengelola itu mengikuti selera Anda. Bukan hanya tidak
sesuai dengan selera Anda, tapi pengelola sawah itu tiba-tiba mengklaim sebagai
sawahnya sendiri. Tentu saja Anda akan marah besar.
Karena Anda
sebagai wakil Allah, maka Anda harus menyesuaikan diri dengan perintah Allah.
Tidak layak terbesit niat berselisih apalagi menentang kehendak Allah, apalagi
semua pencapaian dianggap karena kemampuan Anda. Pemahaman seperti ini bisa
disebut subversif karena mengambil hak Allah. Sebagai khalifah, maka Anda tak
boleh memiliki rencana sendiri selain rencana Allah. Boleh punya rencana
asalkan pada akhirnya berserah pada rencana Allah. Ketika pemahaman seperti ini
tertanam kuat, maka dikala mendapati kenyataan tidak sejalan dengan rencana,
maka Anda tetap menemukan kemurnian dari tindakan Allah. Disanalah kuasa Allah
benar-benar dirasakan. Dikala kenyataan sejalan dengan harapan, maka Anda menghayati
kasih sayang Allah.
Iya, ketika
semua amal dilakukan dengan dan atas nama Allah, maka sudah tidak ada ruang
bagi kita untuk mengklaim sebagai amal apalagi pencapaian kita sendiri. Selain
itu, manusia akan terus terdorong untuk jadi wakil Allah yang bisa melakukan
ekspansi rahmat terhadap seluruh kehidupan, karena kebahagiaan manusia sangat
terkait pada banyaknya kasih sayang yang disebar dan dibagikan.
Ketiga,
tauhid uluhiyah, yakni sebentuk kesadaran bahwa Allah satu-satunya
sesembahan, kecintaan, dan tujuan. Allah benar-benar agung dan mendominasi hati
kita. Semua amal yang kita lakukan tertuju pada Dia saja. Tidak pada yang lain.
Keadaan batin ini digambarkan melalui ayat : “Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku, dan matiku untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu
baginya dan dengan demikian aku diperintahkan, aku menjadi orang pertama kali
berserah diri”.
Menempatkan Allah sebagai kekasih tumbuh dari kesadaran bahwa kita sebagai kekasih-Nya. Kekasih tidak memiliki tujuan lain kecuali selalu sejalan dan berujung pada pertemuan dengan kekasih. Penderitaan terbesar bagi seorang kekasih bukan dengan bertumpuknya musibah yang menimpanya di dunia, melainkan terpisahnya dengan Allah karena tidak lagi menyerap lezatnya beribadah, berzikir, dan berdoa pada Allah.
Dikala
kesadaran kita terserap dalam keagungan Allah, maka kita sudah tak lagi peduli
kehidupan ini dipuji dan dicaci oleh makhluk. Karena apapun yang makhluk
lakukan tidak memberi credit point pada meningkatnya kedudukan kita di
hadapan Allah. Pujian tidak membuatnya mengembang beterbangan, sementara cacian
sama sekali tidak membuatnya terjerembab. Dia tidak setia pada apa kata orang
lain, melainkan lebih setia pada nilai-nilai yang terikat dengan Allah.
Ketika orang
telah terserap dalam kesadaran sebagai kekasih, maka segala kenyataan yang mengunjungi
sanantiasa disikapi dengan syukur. Karena dia tak lagi tertuju pada kenyataan,
tapi fokus pada Pencipta kenyataan. Kenyataan sama sekali tidak terpisah dari
yang membuat kenyataan. Kalau kita sangat mencintai Allah—sebagai pelaku yang
sebenarnya—maka kita pun mencintai semua kenyataan yang mendatangi kita. Dengan
demikian, kita akan terus sejalan dengan Allah.
0 comments