Mensyukuri Kemerdekaan
18 August 2023
Jika sebuah negara masih berada dalam rongrongan
penjajah, bukan hanya tidak berkembang, tapi Negara tersebut juga boleh jadi
mengalami penggusuran dan kepunahan. Tengoklah, bagaimana Libya, meski masih
tetap ada, sudah kehilangan gaungnya. Tidak sebesar dahulu saat Moaammr Khodafi
berkuasa.
Bayangkan, tanpa kemerdekaan, kita mungkin tidak bisa
menikmati konser shalawat yang bersifat kolosal, atau menghelat istighasah
kubro, atau menggeber kajian dengan menghadirkan jamaah yang berjibun dan
membludak.
Karena negara telah mendulang kemerdekaannya, maka
kita bisa melakukan apa saja, asalkan tetap berada dalam koridor peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku di negara ini.
Kebebasan yang sejati bukan kebebasan tanpa batas, melainkan
kebebasan yang terukur dan dibatasi. Jika kebebasan tanpa batas yang
digalakkan, maka akan menghasilkan resiko kekacauan bagi negara. Seperti orang
yang mengendarai kendaraan pribadi. Sepanjang jalan mereka melewati marka
jalan. Jika mereka semua tidak mengikuti petunjuk marka jalan, maka kecelakaan
massal dan beruntun rentan terjadi.
Kemerdekaan yang kita nikmati sebagai modal awal bagi
kita untuk memberi sumbangsih terbesar agar kemerdekaan ini bisa membawa kita
pada keselamatan, kesejahteraan, dan kemuliaan. Bagaimana kita menyikapi
kemerdekaan?
Pertama, kita bangga sebagai rakyat Indonesia. Kebanggaan
sebagai rakyat Indonesia perlu kita ekspresikan. Tidak perlu merasa minder
pada bangsa lain. Karena keminderan membawa kita terkagum-kagum pada negara
lain, sembari merendahkan bangsa sendiri. Mengeluk-elukan pemimpin bangsa lain
sembari menghina dan mencaci maki pemimpin sendiri.
Sebagai pemantik kebanggaan kita sebagai bangsa, bayangkan,
negara ini sangat luas, merangkul sekaligus merangkum berbagai macam perbedaan.
Indonesia seperti sebuah medan koreografi bermacam perbedaan, kemudiaan
menghasilkan puzzle yang indah.
Bahasa, misalnya. Kita memiliki banyak bahasa. Memang
bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia. Tetapi setiap daerah yang
terserak, memiliki bahasa sendiri-sendiri, yang disebut bahasa daerah. Negara
ini membingkai, menenun, dan menghimpun multi-daerah sekaligus multi-bahasa. Iya,
meskipun kita memiliki bermacam bahasa, masih sanggup disatukan dengan bahasa
Indonesia.
Dengan berbahasa Indonesia, ketika berkunjung sebuah
daerah, kita bukan hanya bisa menghilangkan pembatas antar daerah, tapi
menyadari bahwa Indonesia adalah negara besar yang memayungi banyak sekali
perbedaan.
Orang Madura berkunjung ke Lombok, misalnya. Disana,
dia tidak mengerti bahasa Lombok. Tentu saja dia akan terus disesaki oleh
kebingungan. Dan orang lombok, tentu saja tidak mengerti bagaimana berujar
dengan bahasa Madura. Dari perbedaan diantara dua daerah ini bisa diretas
dengan bahasa Indonesia. Mereka bukan hanya menghilangkan kecanggungan dalam
berbincang, tapi diam-diam dalam dirinya juga akan merasakan bahwa dirinya adalah
bangsa Indonesia. Bukan bangsa Madura. Bukan bangsa Lombok. Keadaan seperti ini
sudah seharusnya membangkitkan kebanggaan bagi kita. Karena keberagaman itu
telah diikat dengan Indonesia.
Coba kita tengok negara-negara di Arab. Mereka nyaris
memiliki bahasa yang sama. Anehnya, meski bahasa mereka sama, disana sering
terjadi konflik, lalu peperangan, dan saling membunuh satu sama lain. Dari
fenomena tersebut, sudah cukup bagi kita untuk berbangga sebagai rakyat
Indonesia. Di tengah keberagaman, kita bersatu dalam bingkai Pancasila dan UUD
1945.
Kedua, mengisi kemerdekaan dengan karya agung. Kita bukan hanya mendapatkan
amanah dari generasi terdahulu -Sang founding father, tapi kita juga
bertanggung jawab terhadap masa depan generasi kita selanjutnya. Apa kiranya legacy
yang bisa kita tinggalkan terhadap mereka.
Selain kita berpijak pada sejarah, dengan menggenggam
cita-cita yang mendasari pendirian negeri ini, kita juga berhak menorehkan
sejarah bagi masa depan bangsa. Sebagai anak bangsa, seharusnya jiwa untuk
menyumbang, bermanfaat, bahkan berkorban untuk bangsa harus digalakkan. Jangan
sampai generasi kita, lantas menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membangun bangsa lain.
Tak sedikit dari generasi cemerlang, karena persoalan
uang, dia mendedikasikan skill dan keahliannya untuk membangun negara
lain. Lantas, tidak punya kepedulian yang mendalam pada pembangunan negerinya
sendiri. Padahal, dia sadar telah menghirup udara dari negeri ini, meneguk air
dari tanah air ini, dan bertumbuh secara jasmani, psikologis, intelektual, dan
spiritual di negeri yang kita cintai. Dia lahir dari negeri Indonesia, tapi dia
tak banyak berbuat untuk Indonesia.
Kita berjuang memberi kontribusi untuk Indonesia
sejalan dengan kemampuan kita masing-masing. Bagi Anda yang berprofesi sebagai
guru, jadilah seorang guru yang hebat. Mendidik generasi yang unggul ke depan.
Menanamkan visi hidup kebangsaan. Juga menguak atau menggali kemampuan besar
yang terpendam pada peserta didik, sehingga mereka bisa menghasilkan manfaat
yang besar bagi negara.
Kalau Anda sebagai pedagang, jadilah pedagang yang
bisa menyumbang peningkatan ekonomi Indonesia. Membuka lapangan kerja untuk
generasi, sehingga kita tidak lagi bergantung pada negara lain. Jangan sampai
terkesan, ada pembangunan di Indonesia, tapi pembangunan Indonesia. Negara lain
membikin perusahaan di Indonesia, tapi membawa karyawan dari negaranya. Menempatkan
warga Indonesia sebagai penonton, lebih jauh sebagai konsumen mereka.
Kita harus merebut kuasa asing dengan terus-menerus
membenahi dan meningkatkan kapasitas kita. Jika Anda seorang penulis, riset
lalu tulislah khazanah Indonesia yang masih tersimpan, sehingga menjadi warisan
terindah bagi generasi mendatang. Intinya, kita berfokus untuk berkontribusi untuk
kebesaran bangsa ini. Jangan sebaliknya, hanya menggerogoti bangsa dengan
keculasan dan ketamakan.
Ketiga, memahami kemerdekaan yang sejati. Kemerdekaan tidak
berhenti pada tataran fisik, tapi bagaimana bisa menyentuh pada mentalitas kita.
Lebih dalam lagi menukik pada sisi spiritual. Karena kemerdekaan secara fisik
tidak menyumbang kebahagiaan sejati selagi manusia masih mengalami belenggu
secara ruhani.
Apa saja belenggu ruhani yang harus kita retas?
1. Kebodohan. Ketika orang lama terbelenggu kebodohan
membaca Al-Qur'an, lalu dengan belajar yang keras akhirnya bisa membaca Al-Qur'an,
tentu saja hatinya disambar oleh kebahagiaan yang tak terlukiskan.
Bagaimana jika kita mengetahui secara mendalam tentang
ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu akhlak, tentu saja kita akan merasakan hidup
jauh lebih ringan. Bukankah hidup sangat menyiksa ketika terperangkap dalam
gelapnya kebodohan?
2. Hawa nafsu. Memang, kita boleh saja punya keinginan,
tapi tak boleh terikat dengannya. Karena terikat pada keinginan membuat orang terjatuh
dalam penderitaan. Apalagi dia tertambat oleh bertumpuknya keinginan. Bagaimana
jika keinginan itu tidak kunjung terealisasi? Kebahagiaan tidak kunjung terbit.
Kendati keinginan terwujud, tak jarang disusul oleh keinginan baru yang lebih
besar. Kebahagiaan didapatkan bukan dengan memenuhi keinginan, melainkan diraih
dengan terkendalinya keinginan.
3. Keakuan. Keakuan sebagai penghalang terakhir seseorang
meraih kemerdekaan yang hakiki. Manusia tanpa keakuan seperti ruang yang tak
bisa dilukai, tapi semuanya dirangkul dengan mesra.
Semoga kemerdekaan yang sebenarnya bisa kita raih.
Salam Merdeka!!!
0 comments