Luka sebagai Wadah Kebahagiaan
15 September 2023
Setiap orang
tidak mau disakiti, dilukai, dirisak. Namun kita tak bisa mengontrol orang lain
agar tidak menyakiti kita. Tak jarang, dalam interaksi yang nampaknya datar-datar
saja, tiba-tiba terselip kalimat yang menyerbu bak anak panah. Menusuk dan
melukai hati. Perlu ditancapkan di relung kesadaran kita, tak ada satu orang
pun yang punya otoritas mutlak menyakiti kita. Mereka berhasil menyakiti dikarenakan kita mengizinkan dia
menyakiti. Andaikan Anda tidak terlalu perhatian, dan tak menangkap kalimat yang
diluncurkan secara emosional, maka kalimat yang dia lontarkan tidak mempan
merobek luka ke hati Anda.
Bagaimana
dengan orang yang hatinya kadung dirobek oleh luka? Dia harus mengembalikan
keadaan itu pada Allah. Karena jika dia lebih fokus memanggil kenangan buruk
masa lalu, sembari menyalahkan orang lain, maka alih-alih lukanya sembuh, malah
bertambah parah. Setiap kali mengingat orang yang melukai, tiba-tiba luka itu
kembali menganga. Mungkin saja sudah sembuh. Tapi karena perhatiannya terus
tertuju pada pelaku sekaligus gambaran perlakuannya, maka luka itu terus
bertambah-tambah. Bahkan robekannya semakin membesar.
Akan tetapi,
kalau Anda mengembalikan kepada Allah, maka kau bisa menggali hikmah dibalik
kenyataan pahit tersebut. Setiap orang besar dan hebat tidak sepi dari
pembenci, pendengki, penghasut, serta pemfitnah. Namun mereka tetap tegak
berdiri dengan kesabaran yang kokoh, alih-alih bangunan kehidupannya runtuh
tersebab cacian yang menerpanya. Malah, kehidupannya terbang makin tinggi,
menanjak dengan indah, bahkan menebarkan manfaat bagi sesama.
Kalau kita menyadari semua dari Allah, sembari meyakini Allah suci dari kesalahan, sudah barang tentu kenyataan yang kita alami bukan perkara yang acak, melainkan sudah ada skenerio dan pengaturan yang kokoh dari Allah. Jika kita bersikap ridha dengan kenyataan pahit tersebut, maka kebahagiaan akan terus tumbuh dari ufuk jiwa kita.
Sebaliknya, kalau kita membangun benteng resistensi terhadap kenyataan,
maka bukan malah membuat kita bisa menaiki altar kemuliaan dan kemajuan, justru
kita akan “melorot” ke titik terendah. Setiap kenyataan pasti benar sekaligus
baik. Ketika kebenaran dan kebaikan itu telah menjadi persepsi yang menghidupi
jiwa kita, maka kita akan menemukan “pengalaman kebahagiaan” melalui peristiwa
yang mengalir dalam kehidupan kita.
Kedua, kesulitan
sebagai pintu kemudahan. Bagaimana kau bisa memasuki ruang yang menguar
kemudahan tanpa melewati pintunya? Ketika orang sedang diterpa masalah, maka
harus yakin bahwa dia tidak akan terus terperangkap dalam masalah tanpa jalan
keluar. Kelak, masalah tersebut akan disingkap dari kita, bahkan Allah akan
memberi jalan keluar tak terduga sekaligus menghadirkan dampak kebahagiaan tak
terkira ke relung jiwa. Kita harus selalu menyadari bahwa nikmat yang kita
terima lebih berlimpah ketimbang musibah yang menerpa kita. Bahkan musibah
sebatas selingan saja, karena nyaris kesemuanya adalah nikmat demi nikmat yang
tak terhitung.
Adalah seorang yang diterpa masalah bertubi-tubi, datang silih berganti. Saya menaruh kagum kepadanya karena dia terlihat tegar menghadapinya. Suatu saat, dia menyampaikan sedikit kegalauan yang menyergap batinnya. Saya pun bercerita tentang seorang teman yang kini telah memetik buah kesuksesan. Teman saya ini pada mulanya mendirikan sebuah lembaga. Sebelum bertumbuh pesat, ada beberapa anak didik yang ditampung di lembaga yang ia bina. Tiba-tiba gelombang masalah menghantam, dia difitnah telah melakukan perbuatan yang keji dengan salah satu muridnya.
Kabar negatif itu terus berhembus. Pada akhirnya, dia diusir dari
tempat tersebut. Namun dia terus merawat kesabarannya. Apa yang terjadi
kemudian? Dengan berjalannya waktu, alih-alih lembaganya runtuh dan bubar,
melainkan berkembang lebih pesat. Bahkan ada orang yang bersedia mewakafkan
tanahnya untuk didirikan pesantren.
Memang, kita—kadang dipaksa—menghadapi kenyataan yang pahit, agar tumbuh rasa butuh dan kebersandaran jiwa pada Allah. Sembari menyadari bahwa kita bukan siapa-siapa tanpa kasih sayang Allah. Setelah itu, kita akan menyaksikan bagaimana Allah melimpahkan bermacam nikmat dalam kehidupan kita. Perlu senantiasa ditanam dalam kesadaran kita, bahwa setiap kesulitan yang menghimpit sejatinya Allah hendak membukakan banyak kemudahan setelahnya.
Ketiga, semakin banyak duka yang menciderai, maka semakin berlimpah pula suka yang bisa kita tampung. Seperti halnya bentuk cekungan yang sangat dalam, maka sangat berpeluang menampung air yang melimpah. Siapa orang yang paling bahagia? Adalah orang yang dulu pernah mengalami kenyataan hidup yang pahit.
Para Nabi, terutama Nabi
Muhammad Saw, adalah sosok yang paling bahagia. Mengapa? Karena beliau pula
yang paling banyak mendapat ujian dalam hidupnya. Kalau ujian tiba-tiba
menyerbu kita, maka selalu bangun dalam kesadaran kita bahwa sebentar lagi
Allah akan memberi nikmat yang besar pada kita. Ujian itu seperti umpan. Kalau
kita ingin memperoleh ikan yang besar, maka harus menggunakan umpan yang besar
pula.
Keempat, ujian tanda kita akan naik kelas. Jika sedang menghadapi ujian sekolah, mungkin saja jantung berdebar, kecemasan menggerogoti, berpikir bagaimana jika tak bisa menjawab pertanyaan, banyak gambaran buruk—mungkin—melintas di pikirannya. Tapi pada akhirnya, dia melewati ujian itu dengan penuh riang gembira. Mengapa? Karena sebentar lagi dia akan naik kelas.
Kita tak usah susah oleh sebab
banyaknya ujian, karena itu menandakan Allah hendak menaikkan kelas kita.
Justru mestinya Anda merasa sedih jika hidup tak pernah disapa ujian. Kehidupan
aman-aman saja, datar-datar saja, begitu-begitu saja. Karena kondisi aman tak
jarang membawa manusia dalam kondisi mandek, jumud, tidak ada perkembangan.
Semoga
setiap ujian yang menyerbu dan menyambar kita membuat kita semakin kokoh,
tercerahkan, dan terus menjadi orang yang bertumbuh menggapai hebat dan mulia.
0 comments