Pikiran dan Iman
10 November 2023
Kehidupan bergerak sangat
cepat. Tidak lagi linear, juga tidak monoton. Arah kehidupan bergerak sangat
tajam, penuh kelokan dan serba dialektik. Kita tak lagi boleh memahami
kehidupan hitam-putih. Apa yang dulu kita sebut benar, mendadak menjadi salah.
Padahal kebenaran tidak lagi bergantung pada rujukan yang mutlak. Akan tetapi,
bergantung pada pikiran, persepsi dan cara pandang kita terhadap kehidupan.
Bagaimana orang yang dulu sangat strong dalam satu objek bahasan,
berubah menjadi orang yang sangat apatis. Kondisi ini tidak hanya berlaku pada
lingkup individu, bisa meluas ke ranah masyarakat yang lebih luas.
Tak jarang, kita merasa
terkecoh oleh persepsi kita sebelumnya. Pada mulanya begitu gandrung dan
fanatik pada seorang tokoh. Dalam pikirannya, tokoh itu hadir dengan sempurna
mewakili harapan kita selama ini. Dengan berjalannya waktu, tokoh tersebut
terus dibanjiri pujian dimana-mana. Ternyata ketika nyaris sampai di puncak,
tokoh tersebut mulai bergeser dari persepsi yang selama ini terbentuk di masyarakat.
Jika dulu, kehadirannya bisa mengembuskan energi baru dan memantik kegembiraan,
kini telah berubah. Kehadirannya justru menciutkan kebahagiaan sekaligus
menyemburkan penderitaan pada masyarakat.
Selagi orang digerakkan oleh
persepsi, maka dia tidak akan teguh dan kokoh dalam menjalani kenyataan yang
sedang dialami. Mengapa? Karena persepsi menyeruak dari pikiran. Dan pikiran
mudah berubah. Tidak mengakar ke dalam. Karena itu, orang yang digerakkan
persepsi tidak akan pernah bisa menggali kebahagiaan dalam dirinya. Apalagi
hanya mengikuti trend yang berkembang. Dia digerakkan oleh gelombang
yang memancar di luar. Sementara kompas yang bertempat di dalam dirinya—hati
nurani—tidak ikut diaktifkan.
Sekali lagi, persepsi sangat
rapuh. Bisa berubah dalam satu waktu. Bahkan dalam durasi yang sangat singkat.
Seperti orang yang tiba-tiba menjadi terkenal dimana-mana, karena keunikan yang
melekat padanya. Semua orang mengarahkan perhatian padanya. Waktu terus
bergerak, manusia mulai bosan dengan kehadirannya. Apalagi kemudian muncul
tokoh baru yang lebih keren. Maka pelan-pelan nama orang yang bersinar
itu redup dan tenggelam. Tertelan oleh sinar yang lebih benderang.
Dulu, kita pernah disuguhi
pemberitaan tentang mahalnya ikan koi. Orang berbondong-bondong untuk membeli
ikan koi, karena dipandang bisa mengundang hoki. Persepsi publik yang sangat
kuat menjadikan ikan koi diburu oleh banyak orang. Akan tetapi, ternyata
setelah dibeli, sama saja. Ikan koi sama sekali tidak memberi dampak terhadap
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Pelan-pelan orang tak lagi menaruh
kepercayaan pada ikan koi. Sekali lagi, persepsi ini dibentuk oleh pikiran.
Pikiran Vs Iman
Dikala orang menyandarkan hidupnya pada pikiran, maka dia sedang bersandar pada objek yang rapuh. Ketika kenyataan sering tidak sesuai dengan harapan, lalu pikiran akan mengatakan, memang keadaan yang saya alami tidak pernah menguntungkan. Pikiran lebih setuju dengan kenyataan. Seperti halnya gajah yang kakinya tertambat oleh rantai yang sangat kuat.
Berkali-kali dia hendak bergerak ke luar, tetap saja tak bisa. Pada
akhirnya terbentuk persepsi pada dirinya bahwa ia telah diikat kuat-kuat. Tidak
bisa kemana-mana. Kemudian tali yang mengikat kaki gajah tersebut dilepaskan. Namun
tiba-tiba ada ancaman kebakaran di dalam, sehingga gajah pun tetap tidak mau
kemana-mana, karena persepsi yang telah terbangun, yakni bahwa ia diikat.
Akhirnya, dia mati di kandangnya.
Manusia memang menggunakan
pikiran. Tapi tak boleh menuhankan pikiran. Karena pikiran seringkali
mengembuskan pesimisme, suka terjebak dalam dualisme yang terus berkelindan
satu sama lain.
Berbeda halnya dengan iman.
Iman selalu mengaitkan kehidupan kepada Allah. Dan dalam keteguhan memandang
Allah Yang Mahabaik, maka tidak ada yang terjadi dalam hidup kita kecuali
kebaikan. Keburukan tidak bertempat pada kenyataan. Akan tetapi, perspektif
kita terhadap kenyataan itulah yang sering menghadirkan keburukan. Jadi, masalah
sespesial apapun, jika melihatnya dibarengi dengan iman, Anda akan selalu
terpandu melihat kebaikan dibaliknya.
Di sebuah daerah menyembur lumpur panas. Tepatnya Lapindo. Sebuah wilayah yang terletak di Kabupaten Sidoarjo. Kondisi tersebut tentu saja membuat penghuninya terganggu. Bahkan mereka berduyun-duyub keluar dari wilayah tersebut. Memilih mengontrak rumah di wilayah lain. Seiring berjalannya waktu, ternyata tempat tersebut dibeli karena mengandung minyak. Tentu saja dibeli dengan harga yang sangat tinggi.
Dalam waktu singkat, orang yang dulunya
sangat sedih tersebab musibah tersebut, berubah menjadi orang yang sangat
gembira, karena telah mendapatkan uang ganti rugi yang sangat besar. Mereka
tidak hanya bisa membeli rumah baru yang layak huni, bahkan di antara mereka
ada yang berangkat haji tersebab musibah tersebut.
Iman tidak terpengaruh dengan
kenyataan. Karena dia lebih fokus pada Zat yang mencipta kenyataan. Perlu kita
sadari bahwa kenyataan itu akan berubah. Tidak menetap. Pasang surut. Iya,
kenyataan selalu menyuguhkan dualisme yang tak berkesudahan. Orang tak bisa
melanggengkan kekayaannya terus-menerus. Pada saatnya, kekayaan itu akan
tergerus, lalu dia terdampar menjadi orang yang tak punya apa-apa. Sekali lagi,
kalau kebahagiaan kita bergantung pada kenyataan, maka kebahagiaan yang kita
alami juga tidak akan langgeng karena dikontrol oleh kenyataan yang bertebaran
di luar dirinya.
Bagaimana respon orang beriman
ketika diterpa masalah? Masalah adalah kenyataan yang harus dihadapi selagi
nafas masih berhembus. Kalau Anda sedang menghadapi masalah, itu adalah pertanda
bahwa Anda masih hidup. Ketika orang sudah tak lagi berhadapan dengan masalah,
boleh jadi dia sudah mati. Setidaknya mandek. Tidak mengalami
pertumbuhan lagi. Kemuliaan manusia tidak terletak pada ada dan tidak adanya
masalah. Akan tetapi, sangat bergantung pada respon yang ia berikan ketika
dipapar masalah.
Kita selalu memandang positif setiap kenyataan karena perhatian kita tertuju pada pencipta realitas. Allah Swt. Karena kita yakin bahwa takdir apapun mengalir dari Allah Yang Menciptakan takdir. Karena Dialah Yang Mahakuasa. Tidak ada satu pun makhluk yang bisa menembus benteng Kekuasaan-Nya. Kuasa Allah didasari dengan kehendak-Nya. Perlu kita yakini bahwa kehendak Allah selalu baik bagi hamba-Nya.
Berbasis keyakinan
ini, kita akan selalu berbaik sangka pada Allah. Baik sangka selalu memasukkan
kita ke ranah ketenteraman. Di luar boleh bergoncang, tapi di dalam tetap
damai. Dan kehendak Allah didasari ilmu-Nya. Artinya, tidak ada yang salah
dalam takdir. Pasti semuanya mengandung tujuan. Karenanya, Allah tidak
main-main dalam menenun takdir untuk kita. Selain itu, basis keyakinan
terakhir, bahwa semua kenyataan mengalir dari kasih sayang-Nya. Jika didasari
kasih sayang Allah, maka sudah barang tentu semua Allah lakukan demi
kebahagiaan kita.
Keyakinan di atas tumbuh dari
dasar iman yang kokoh. Iman kepada Allah yang mengakar di relung hati.
0 comments