Respon Terhadap Pencaci
17 November 2023
Di suatu kesempatan, orang
yang begitu besar kebenciannya pada Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq mendatangi
rumah sahabat Nabi tersebut. Tanpa banyak berucap, dia tiba-tiba melempari
kotoran binatang ke rumah Abu Bakar. Mengetahui kejadian tersebut, sosok yang
dicintai Nabi tersebut tidak menunjukkan wajah yang muram. Tetap memancarkan
keteduhan. Bahkan beliau menyertai dengan perkataan, “Alhamdulillah, ada orang
yang mengirimkan pupuk untuk tanaman kami”.
Tentu lebih menakjubkan lagi
akhlak Nabi Muhammad Saw. Ketika beliau dilempari kotoran saat sedang shalat,
disertai dengan sumpah serapah. Tidak berhenti disitu, ketika berdakwah di Bani
Thaif, beliau dilempari batu oleh penduduknya. Namun beliau sama sekali tidak menaruh
kebencian, apalagi dendam. Bahkan timbul rasa kasihan di lubuk terdalam beliau,
dalam bentuk mendoakan, semoga kelak dari sulbi mereka lahir orang-orang yang
menyembah Allah dan tidak menyekutukan Allah.
Sejak dahulu, sudah ada orang
baik dan orang usil. Suka menggangu, bahkan berbuat aniaya. Di dunia ini kita
menemukan bermacam karakter manusia. Segalanya bercampur. Apabila kita bisa
menyikapi dengan cara terbaik, kesemuanya bernilai ibadah, sekaligus
menghasilkan pahala. Iya, kita tidak terus berkumpul dengan orang baik saja,
ada kalanya kita berinteraksi, bergaul, dan dipaksa bekerjasama dengan orang
yang jahil.
Mungkin saja, Anda merasa
terongrong, terus saja diusik, dan diganggu, lalu Anda ingin keluar dari
perusahaan dan berpindah ke perusahaan lain. Anda—berharap—berpindah ke
perusahaan lain akan bebas dari orang-orang yang suka usil nan the trouble
maker. Keadaan itu, sudah pasti akan Anda alami. Karena sebagaimana orang
baik bisa ditemui dimana saja, orang yang berlaku jahat juga demikian.
Agama tidak memastikan Anda
hanya bergaul dengan orang baik. Tapi, agama memberikan panduan bagi Anda
bagaimana bergaul dengan orang baik dan orang yang berkata, bertindak, dan
bersikap jahat.
Pertama, memaafkan dan jangan pedulikan. Kalau ada orang yang berkata buruk dan
mencela kita, sejak awal dalam hati kita sudah menyiapkan permaafan, dan jangan
kita terus tersangkut dengan mereka. Tak usah dipedulikan. Diam adalah sikap
terbaik, sembari memaafkan. Karena memaafkan bukan hanya menyelamatkan orang
yang berucap buruk, tapi kita menyelamatkan diri dari pengaruh ucapan buruk
tersebut. Allah berfirman :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raf: 199)
Kedua, sampaikan ‘keselamatan bagimu’ Ketika Anda dijelek-jelekkan,
dicaci maki dan direndahkan, tak usah membalasnya dengan caci maki yang sama.
“Karena ketika Anda membalas caci maki dengan caci maki,” dawuh guru mulia,
“maka Anda telah menghadirkan dua orang jahat. Dia dan Anda”. Ketika Anda tidak
membalas caci maki dengan caci maki, maka ketahuilah makian tersebut kembali
pada yang memaki. Mengapa? Karena Anda tidak menerima. Tapi, kalau Anda
membalas berarti Anda menerima. Diamlah ketika mereka melontarkan caci maki.
Kalimat yang kita pilih untuk
merespon mereka dalam pandangan Al-Qur’an adalah, ‘keselamatan
bagimu’.
وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ
الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ
قَالُوْا سَلٰمًا
“Hamba-hamba Tuhan Yang
Mahapengasih itu berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa
mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapakan salam”. (QS.
Al-Furqon : 63)
Biasanya, orang tidak bisa
memberi keselamatan terhadap orang lain melalui perkataan dan tindakannya,
karena dia sendiri tidak mendapati hatinya selamat. Iya, orang hanya
mempersembahkan apa yang dia punya. Kalau dia punya kebaikan, maka kebaikanlah
yang dia bagikan. Sebaliknya, kalau keburukan yang dimiliki, keburukanlah yang
ditebarkan.
Ketiga, ucapkan ‘subhanallah’ sembari menghayatinya. Ketika ada orang yang
berkata buruk pada kita, boleh jadi itu sebagai alarm untuk menyadarkan bahwa
kita bukan orang suci yang bebas dari cacat dan kesalahan. Setiap manusia,
termasuk kita, tidak bebas dari kesalahan. Perasaan tersebut tentu saja
menghilangkan keangkuhan, perasaan lebih mulia dari orang lain. Sembari
menyadari bahwa yang Mahasuci dari kesalahan hanya Allah Swt.
Keempat, menghayati ucapan ‘alhamdulillah’. Yang Mahaterpuji hanya Allah. Ketika kita ingin dipuji, sejatinya kita sedang berusaha mengambil hak Allah. Kalau kita dipuji oleh orang, bukan karena kita memang terpuji, melainkan karena Allah menutup kekurangan dan aib kita di hadapan orang lain, lalu Allah hiasi kita dengan image yang bagus.
Sama sekali tidak sulit bagi Allah,
orang yang semula bertabur pujian dan dielu-elukan oleh banyak orang tiba-tiba
berbalik diserbu caci maki dari banyak orang. Dari situ, kita menyadari Yang
Mahaterpuji hanya Allah. Dialah satu-satunya Zat yang layak memperoleh pujian.
Kesadaran seperti ini tentu saja akan membimbing kita untuk tidak mudah sakit
dengan celaan.
Kelima, sujud berserah diri pada Allah. Diharapkan setiap celaan dan perkataan
buruk lainnya yang dialamatkan pada kita bisa berdampak positif, yakni mengikis
dan melenyapkan keakuan yang berdiri kokoh. Kita memang bukan siapa-siapa,
tidak lebih daripada debu, bahkan tak ada nilainya, sehingga kita luruh di
hadapan Allah Swt. Ketika berserah diri, maka kita selalu menyadari bahwa
setiap celaan yang menghampiri sudah tentu atas izin Allah.
Dengan demikian, celaan orang
lain tidak berdampak buruk pada kita, justru bisa menjadi batu lompatan yang
membawa kita pada kemuliaan, ketinggiaan derajat dpan kebahagiaan yang
sebenarnya. Bahkan mengantarkan kita semakin mengenal Allah Swt sebagaimana
diilustrasikan dalam firman Allah :
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ
بِمَا يَقُولُونَ * فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ * وَاعْبُدْ
رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Artinya, “Dan Kami sungguh-sungguh
mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan,
maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang
yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang
diyakini (ajal)”. (QS Al-Hijr : 97-99)
0 comments