Semesta pun Bertasbih
01 December 2023
Cinta, selagi bermakna cinta,
ia selalu terdorong untuk memuji, sekaligus mengagungkan, sekaligus
meninggikan, sekaligus memuliakan yang dicintai. Tak terlihat sedikit pun
keburukan yang menempel pada sosok yang kita cintai.
Iya, dalam kacamata cinta,
semuanya terlihat sempurna. Berbeda halnya ketika dada seseorang dipenuhi
kebencian, tentu saja dia hanya menemukan dan menyaksikan keburukan menempel
pada sosok yang dibenci. Sesempurna apapun Anda, di hadapan pembenci tetap saja
ada cacat dan keburukan yang bisa dia bongkar.
Tentu berbeda dengan Allah.
Allah sama sekali tidak tergantung pada penilaian hamba-Nya. Karena Dia
sempurna tanpa terikat pada siapapun. Bahkan, kesempurnaan hanya milik Dia
semata. Andaikan seluruh makhluk memuja Dia, kemuliaan-Nya tidak surplus sama
sekali. Pun demikian, jika seluruh makhluk secara berbondong-bondong membangkang
dan mencaci-Nya tidak membuat kemuliaan-Nya mengalami defisit sama sekali.
Karena Allah sempurna. Tidak bisa dikurangi maupun ditambah. Sekali lagi, Dia
bukan hanya tak bisa ditambah dan dikurangi kesempurnaan-Nya, melainkan Dia
juga pemilik kesempurnaan. Sementara makhluk tidak ada yang sempurna, kecuali
Allah menghiasinya dengan kesempurnaan.
Seluruh semesta memuja Allah sebagaimana diterakan dalam Al-Qur’an :
تُسَبِّحُ لَهُ ٱلسَّمَٰوَٰتُ ٱلسَّبْعُ وَٱلْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِۦ وَلَٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُۥ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
“Langit yang tujuh, bumi
dan semua apa yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada
sesuatu kecuali bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih
mereka. Sungguh, Dia Penyantun lagi Maha Pengampun”.
Andai kita bisa mendengar
tasbih seluruh semesta, tentu saja kita akan dimabuk kesyahduan karena
mendengar nama Allah bergema dimana-mana. Seluruh semesta hanya menyebut
nama-Nya, karena Dialah satu-satunya yang Mahaterpuji.
Jika kita memuja Allah,
maka jiwa kita selaras dengan seluruh semesta, sehingga yang menyusup dan
merasuk ke dalam hati kita tentu kebahagiaan. Karena, memang, yang jadi
kerinduan bagi jiwa hanya Allah saja. “Seperti kerinduan pohon pada akarnya,
dan seperti kerinduan seruling pada pohon bambu”, kata Rumi. Tentu saja, tanpa
akar, kehidupan ini tidak akan tumbuh dan terus berlangsung. Tanpa Allah, tentu
kita tidak akan mengalami kehidupan dengan segala macam warnanya.
Sadarilah, kita
bertasbih bukan berarti mensucikan Allah atau menambah agar Allah semakin suci.
Sama sekali bukan. Karena Dia telah sempurna dengan kesucian-Nya. Setiap kali
kita merapal tasbih, sejatinya untuk menyucikan bermacam kotoran yang meliputi
kita, menghapus dan mencerlangkan titik hitam yang menempel di hati kita,
melunturkan seluruh dosa-dosa yang masih melumuri kita. Mencerahkan kesadaran
kita hingga sampai di mihrab makrifatullah.
Agar kalimat tasbih
memberi dampak terhadap ruhani, maka tidak cukup hanya dibaca. Kita perlu
menelusuri, mengulik, dan menguak rahasia dibalik kalimat tasbih. Tasbih
terdiri dari 7 kalimat, yakni Subhanallah, alhamdulillah, laa ilaaha
Illallah, Allahu akbar, laa Hawla walaaquwwata illaa billah, istighfar, dan terakhir
shalawat. Sama dengan memutar gelang dalam satu minggu yang menjelajah 7
hari. Sebagaimana orang tawaf juga memutari ka’bah 7 kali.
Pertama, Subhanallah.
Dikala kita mengucapkan subhanallah, sudah seharusnya menekan dan menghapus mindset
merasa benar sendiri. Yang Suci dari Kesalahan—berarti Yang Mahabenar, hanya
Allah. Dikala berdebat atau terbawa dalam perbedaan pendapat yang sengit, dia
tetap memberi ruang dalam hatinya bahwa dia bukan pemegang kebenaran mutlak.
Bisa jadi salah, sehingga dia tetap merendah, dan memberi ruang orang lain
untuk mengungkapkan gagasan, siapa tahu kebenaran Allah dialirkan melalui
hamba-Nya. Intinya, dia tidak sombong. Selalu menerima gagasan dan masukan
orang lain dengan kerendahan hati dan jiwa yang lapang.
Kedua, Alhamdulillah.
Yang berhak menyandang pujian hanya Allah. Sementara manusia, jika mendulang
pujian, itu karena Allah menutup aibnya sekaligus menghiasnya dengan
sifat-sifat terpuji, sehingga orang berkerumun memujinya. Tak jarang, kemudian
orang yang dulunya dipuji dimana-mana, tiba-tiba berbalik ditimpuk oleh
bermacam cacian. Karena memang manusia bukan pemilik pujian. Segala puji milik
Allah.
Tak sedikit orang sakit
hati karena dia tidak mendapatkan penghargaan dan pujian dari orang lain. Jika
tahu bahwa yang berhak dipuji hanya Allah, tentu dia tidak perlu sakit hati.
Kalau orang memiliki obsesi mendulang pujian, sejatinya dia “pencuri”, mau
mengambil apa yang menjadi hak Allah. Apalagi setiap manusia memang tempatnya
salah dan lupa. Hanya orang-orang yang disertai pertolongan Allah yang akan
selalu terpelihara dan istiqamah dalam kebaikan. Dikala orang menyerap makna
dari kalimat ini, maka ketika dia mendapatkan pujian dari sesama, maka dia
langsung memuji Allah. Karena yang sebenar-benarnya berhak memeroleh pujian
hanya Allah semata.
Ketiga, Laa ilaaha
Illallah. Sebuah kesadaran dimana kita hanya menghambakan diri pada
Allah. Allah adalah Tuhan satu-satunya
yang kita sembah. Menjadi tujuan dari setiap langkah. Dia tidak akan
pernah memalingkan hatinya pada selain Allah. Selagi kita mengutamakan selain
Allah, berarti diam-diam kita menuhankan selain Dia. Itu harus dihapus dan
disingkirkan dari hati kita. Seluruh berhala buatan kita dihancurkan. Mungkin
ada orang yang menuhankan jabatan, kekayaan, popularitas, kedudukan sosial dan
semacamnya, semua dihancurkan. Karena diyakininya semuanya akan berlalu dan
fana, sementara Allah selalu membersamai kita dengan Mahakekal. Hanya Allah
satu-satunya Tuhan yang menempati hati kita dan menjadi sesembahan kita,
menjadi kecintaan kita, dan menjadi tujuan kita.
Keempat, Allahu Akbar.
Diembuskan dalam kesadaran kita bahwa pencarian kita tidak berhenti di surga.
Karena ada yang lebih agung daripada surga, yakni ridha Allah. Ketika kita
mendapatkan Allah, maka kita telah mendapatkan segala-galanya, hati ini akan
selalu berada dalam kepuasan yang tiada tara. Dalam kondisi apapun kita selalu
puas, karena ridha Allah telah bersinggasana dan menguasai hati kita. Ketika
Allah ridha pada kita, maka terpantul ridha kita pada Allah selalu.
Kelima, Laa Hawla walaa
quwwata illaa billah. Tidak ada daya untuk melakukan kebaikan dan
kekuatan untuk menghindari keburukan kecuali dengan pertolongan Allah. Artinya,
bukan hanya bertujuan untuk mencapai ridha Allah, melainkan terbit sebuah
kesadaran yang melangkahkan kita pada ridha Allah, ya Allah juga. Bukan karena
kuasa kita. Secara lahir sepertinya kita yang berjalan menuju Allah, tapi
secara hakiki, kitalah yang diperjalankan oleh Allah menuju-Nya.
Keenam, istighfar.
Kita tidak hanya meminta ampun atas dosa lahir dan dosa batin, tapi juga dosa
batinnya batin berupa perasaan aku ada. Kita merasa eksis. Padahal, kita
sejatinya tidak eksis, tapi dieksiskan oleh Allah. Lebih tepatnya, istighfar
yang dibaca tertuju pada keakuan yang masih membelenggu kita kuat-kuat. Kita
harus meruntuhkan keakuan, sehingga tak lagi merasa terpisah dari Allah.
Seperti kendi berisi air yang kemudian dihanyutkan ke lautan. Air tak bisa
bergabung dengan lautan selagi terjebak dalam kendi. Maka pecahkan kendinya,
air akan tumpah dan menyatu dengan lautan. Begitulah, keakuan adalah penghalang
yang membuat seorang hamba terpisah dari Allah.
Ketujuh, shalawat.
Ketika keakuan sudah runtuh, maka manusia akan bergabung dengan nur
muhammadiyah. Ketika sudah menyatu dengan nur muhammadiyah, sejatinya telah
mengenal Allah. Karena hubungan nur muhammadiyah dengan Allah seperti
hubungan cahaya dan matahari, seperti hubungan harum dan bunga, seperti
hubungan manis dan gula. Tak bisa dipisahkan. Dari sanalah, kita mengetahui
bahwa kita semua berasal dari nur muhammadiyah. Pengalaman
mengidentifikasi diri kita dengan nur muhammadiyah akan membawa kita pada
pengalaman jiwa yang begitu dekat dengan Allah. Sebagaimana Rasulullah Saw
begitu dekat dengan Allah dikala tiba di sidratil muntaha.
Dari sini, kita bisa
memahami mengapa tasbih ringan di lisan, tapi berat di timbangan.
0 comments