-->

Semesta pun Bertasbih

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Semesta pun Bertasbih

01 December 2023

Semesta pun Bertasbih

01 December 2023



Cinta, selagi bermakna cinta, ia selalu terdorong untuk memuji, sekaligus mengagungkan, sekaligus meninggikan, sekaligus memuliakan yang dicintai. Tak terlihat sedikit pun keburukan yang menempel pada sosok yang kita cintai.

Iya, dalam kacamata cinta, semuanya terlihat sempurna. Berbeda halnya ketika dada seseorang dipenuhi kebencian, tentu saja dia hanya menemukan dan menyaksikan keburukan menempel pada sosok yang dibenci. Sesempurna apapun Anda, di hadapan pembenci tetap saja ada cacat dan keburukan yang bisa dia bongkar.  

Tentu berbeda dengan Allah. Allah sama sekali tidak tergantung pada penilaian hamba-Nya. Karena Dia sempurna tanpa terikat pada siapapun. Bahkan, kesempurnaan hanya milik Dia semata. Andaikan seluruh makhluk memuja Dia, kemuliaan-Nya tidak surplus sama sekali. Pun demikian, jika seluruh makhluk secara berbondong-bondong membangkang dan mencaci-Nya tidak membuat kemuliaan-Nya mengalami defisit sama sekali. Karena Allah sempurna. Tidak bisa dikurangi maupun ditambah. Sekali lagi, Dia bukan hanya tak bisa ditambah dan dikurangi kesempurnaan-Nya, melainkan Dia juga pemilik kesempurnaan. Sementara makhluk tidak ada yang sempurna, kecuali Allah menghiasinya dengan kesempurnaan.

Seluruh semesta memuja Allah sebagaimana diterakan dalam Al-Qur’an :

تُسَبِّحُ لَهُ ٱلسَّمَٰوَٰتُ ٱلسَّبْعُ وَٱلْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِۦ وَلَٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُۥ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا

“Langit yang tujuh, bumi dan semua apa yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu kecuali bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Penyantun lagi Maha Pengampun”.

Andai kita bisa mendengar tasbih seluruh semesta, tentu saja kita akan dimabuk kesyahduan karena mendengar nama Allah bergema dimana-mana. Seluruh semesta hanya menyebut nama-Nya, karena Dialah satu-satunya yang Mahaterpuji.


Jika kita memuja Allah, maka jiwa kita selaras dengan seluruh semesta, sehingga yang menyusup dan merasuk ke dalam hati kita tentu kebahagiaan. Karena, memang, yang jadi kerinduan bagi jiwa hanya Allah saja. “Seperti kerinduan pohon pada akarnya, dan seperti kerinduan seruling pada pohon bambu”, kata Rumi. Tentu saja, tanpa akar, kehidupan ini tidak akan tumbuh dan terus berlangsung. Tanpa Allah, tentu kita tidak akan mengalami kehidupan dengan segala macam warnanya.

Sadarilah, kita bertasbih bukan berarti mensucikan Allah atau menambah agar Allah semakin suci. Sama sekali bukan. Karena Dia telah sempurna dengan kesucian-Nya. Setiap kali kita merapal tasbih, sejatinya untuk menyucikan bermacam kotoran yang meliputi kita, menghapus dan mencerlangkan titik hitam yang menempel di hati kita, melunturkan seluruh dosa-dosa yang masih melumuri kita. Mencerahkan kesadaran kita hingga sampai di mihrab makrifatullah.

Agar kalimat tasbih memberi dampak terhadap ruhani, maka tidak cukup hanya dibaca. Kita perlu menelusuri, mengulik, dan menguak rahasia dibalik kalimat tasbih. Tasbih terdiri dari 7 kalimat, yakni Subhanallah, alhamdulillah, laa ilaaha Illallah, Allahu akbar, laa Hawla walaaquwwata illaa billah, istighfar, dan terakhir shalawat. Sama dengan memutar gelang dalam satu minggu yang menjelajah 7 hari. Sebagaimana orang tawaf juga memutari ka’bah 7 kali.

Pertama, Subhanallah. Dikala kita mengucapkan subhanallah, sudah seharusnya menekan dan menghapus mindset merasa benar sendiri. Yang Suci dari Kesalahan—berarti Yang Mahabenar, hanya Allah. Dikala berdebat atau terbawa dalam perbedaan pendapat yang sengit, dia tetap memberi ruang dalam hatinya bahwa dia bukan pemegang kebenaran mutlak. Bisa jadi salah, sehingga dia tetap merendah, dan memberi ruang orang lain untuk mengungkapkan gagasan, siapa tahu kebenaran Allah dialirkan melalui hamba-Nya. Intinya, dia tidak sombong. Selalu menerima gagasan dan masukan orang lain dengan kerendahan hati dan jiwa yang lapang.


Kedua, Alhamdulillah. Yang berhak menyandang pujian hanya Allah. Sementara manusia, jika mendulang pujian, itu karena Allah menutup aibnya sekaligus menghiasnya dengan sifat-sifat terpuji, sehingga orang berkerumun memujinya. Tak jarang, kemudian orang yang dulunya dipuji dimana-mana, tiba-tiba berbalik ditimpuk oleh bermacam cacian. Karena memang manusia bukan pemilik pujian. Segala puji milik Allah.

Tak sedikit orang sakit hati karena dia tidak mendapatkan penghargaan dan pujian dari orang lain. Jika tahu bahwa yang berhak dipuji hanya Allah, tentu dia tidak perlu sakit hati. Kalau orang memiliki obsesi mendulang pujian, sejatinya dia “pencuri”, mau mengambil apa yang menjadi hak Allah. Apalagi setiap manusia memang tempatnya salah dan lupa. Hanya orang-orang yang disertai pertolongan Allah yang akan selalu terpelihara dan istiqamah dalam kebaikan. Dikala orang menyerap makna dari kalimat ini, maka ketika dia mendapatkan pujian dari sesama, maka dia langsung memuji Allah. Karena yang sebenar-benarnya berhak memeroleh pujian hanya Allah semata.

Ketiga, Laa ilaaha Illallah. Sebuah kesadaran dimana kita hanya menghambakan diri pada Allah. Allah adalah Tuhan satu-satunya  yang kita sembah. Menjadi tujuan dari setiap langkah. Dia tidak akan pernah memalingkan hatinya pada selain Allah. Selagi kita mengutamakan selain Allah, berarti diam-diam kita menuhankan selain Dia. Itu harus dihapus dan disingkirkan dari hati kita. Seluruh berhala buatan kita dihancurkan. Mungkin ada orang yang menuhankan jabatan, kekayaan, popularitas, kedudukan sosial dan semacamnya, semua dihancurkan. Karena diyakininya semuanya akan berlalu dan fana, sementara Allah selalu membersamai kita dengan Mahakekal. Hanya Allah satu-satunya Tuhan yang menempati hati kita dan menjadi sesembahan kita, menjadi kecintaan kita, dan menjadi tujuan kita.

Keempat, Allahu Akbar. Diembuskan dalam kesadaran kita bahwa pencarian kita tidak berhenti di surga. Karena ada yang lebih agung daripada surga, yakni ridha Allah. Ketika kita mendapatkan Allah, maka kita telah mendapatkan segala-galanya, hati ini akan selalu berada dalam kepuasan yang tiada tara. Dalam kondisi apapun kita selalu puas, karena ridha Allah telah bersinggasana dan menguasai hati kita. Ketika Allah ridha pada kita, maka terpantul ridha kita pada Allah selalu.


Kelima, Laa Hawla walaa quwwata illaa billah. Tidak ada daya untuk melakukan kebaikan dan kekuatan untuk menghindari keburukan kecuali dengan pertolongan Allah. Artinya, bukan hanya bertujuan untuk mencapai ridha Allah, melainkan terbit sebuah kesadaran yang melangkahkan kita pada ridha Allah, ya Allah juga. Bukan karena kuasa kita. Secara lahir sepertinya kita yang berjalan menuju Allah, tapi secara hakiki, kitalah yang diperjalankan oleh Allah menuju-Nya.

Keenam, istighfar. Kita tidak hanya meminta ampun atas dosa lahir dan dosa batin, tapi juga dosa batinnya batin berupa perasaan aku ada. Kita merasa eksis. Padahal, kita sejatinya tidak eksis, tapi dieksiskan oleh Allah. Lebih tepatnya, istighfar yang dibaca tertuju pada keakuan yang masih membelenggu kita kuat-kuat. Kita harus meruntuhkan keakuan, sehingga tak lagi merasa terpisah dari Allah. Seperti kendi berisi air yang kemudian dihanyutkan ke lautan. Air tak bisa bergabung dengan lautan selagi terjebak dalam kendi. Maka pecahkan kendinya, air akan tumpah dan menyatu dengan lautan. Begitulah, keakuan adalah penghalang yang membuat seorang hamba terpisah dari Allah.

Ketujuh, shalawat. Ketika keakuan sudah runtuh, maka manusia akan bergabung dengan nur muhammadiyah. Ketika sudah menyatu dengan nur muhammadiyah, sejatinya telah mengenal Allah. Karena hubungan nur muhammadiyah dengan Allah seperti hubungan cahaya dan matahari, seperti hubungan harum dan bunga, seperti hubungan manis dan gula. Tak bisa dipisahkan. Dari sanalah, kita mengetahui bahwa kita semua berasal dari nur muhammadiyah. Pengalaman mengidentifikasi diri kita dengan nur muhammadiyah akan membawa kita pada pengalaman jiwa yang begitu dekat dengan Allah. Sebagaimana Rasulullah Saw begitu dekat dengan Allah dikala tiba di sidratil muntaha.

Dari sini, kita bisa memahami mengapa tasbih ringan di lisan, tapi berat di timbangan.           

 

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang