Semuanya Nikmat Hingga Ingin Memiliki
22 December 2023
Semuanya
terangkai sangat indah. Pepohonan yang berjejer di gunung, di sela-selanya
tertembus cahaya matahari pagi. Disertai tingkah burung-burung yang terbang dan
hinggap dari satu pohon ke pohon lainnya dan kicauannya yang terdengar merdu.
Di kaki gunung, terbentang kali yang mengalirkan air yang jernih. Angin sepoi
yang berhembus membuat rasa segar memenuhi seluruh tubuh. Semuanya terlihat
indah, nyaman, sekaligus menyusupkan rasa segar ke relung jiwa. Apalagi, kita
dongakkan kepala ke atas, menatap langit yang luas dan biru. Sungguh nikmat
yang berlimpah-limpah, berlipat-lipat, tak terhitung jumlahnya. Sehingga tak
ada ruang untuk mengeluh. Semuanya dipenuhi dengan kegembiraan raya.
Kalau
kita menyaksikan apa adanya semua hal yang tergelar di hadapan kita, maka kita
akan memetik bermacam-macam keindahan. Akan tetapi, ketika kita memandangnya
dengan kepentingan pribadi, maka yang tergelar sudah tak lagi indah.
Saya
teringat sebuah kisah sederhana, namun menyimpan hikmah yang berlimpah. Seorang
paman jalan-jalan bersama keponakannya. Tiba-tiba keponakannya girang sekali.
Apa yang membuatnya gembira?
“Paman,
saya gembira melihat mobil baru itu!”, celetuk si keponakan.
“Alhamdulillah,
nak. Kebahagiaanmu cukup dengan menyaksikan mobil yang bagus. Betapa
menderitanya kamu jika kegembiraan itu menunggu sampai kau memiliki”, pungkas
sang Paman.
Ada
pesan sederhana yang disampaikan lewat perbincangan paman dengan keponakannya
ini. Kalau Anda melihat keindahan dengan apa adanya, tentu saja hatimu akan
terhias keindahan. Jika kau melihat ada mobil keluaran terbaru melintas di
hadapanmu dan dikendarai oleh sepasang kekasih, tentu saja indah. Boleh jadi,
hatimu berbunga-bunga. Karena bukan hanya mobilnya yang mewah, tapi kemesraan
yang memancar dari pasangan itulah yang menjalarkan keindahan.
Jika
tetangga memugar rumahnya dengan model bangunan yang lebih anggun dan kokoh,
tentu saja Anda ikut bahagia. Karena setiap kali, Anda hanya melihat keindahan.
Tentu berbeda halnya, ketika Anda ingin memiliki semacam itu, apalagi ingin
memiliki rumah itu, tentu saja bukan kebahagiaan yang kau raih, melainkan
penderitaan.
Jadi,
penderitaan dari “kepemilikan” bukan hanya pada saatnya belum tergenapi apa
yang kita ingin miliki. Di saat apa yang kita inginkan telah tergenapi jadi
milik kita, masih saja penderitaan itu menikam hati kita. Mengapa? Karena kita
menghendaki apa yang kita miliki tetap bertahan dalam genggaman, jangan sampai
hilang, hancur, pupus, atau lenyap.
Ya,
takut kehilangan itu sendiri adalah penderitaan. Apa yang membuat dia menderita? Karena ingin memiliki,
dan merasa memiliki. Mengapa? Karena sejatinya manusia tidak bisa memiliki
secara mutlak. Semua yang dia miliki pada saatnya akan lepas, lenyap, dan
hancur. Menjelma sebagai kenangan saja. Seperti rumah yang telah tinggal
sebagai puing-puing, mengalami kehancuran sana-sini.
Paling jauh dari segala hal yang mampir dalam kehidupan kita adalah digunakan, bukan dimiliki. Menggunakan sendiri harus mengikuti aturan syariat. Ketika Anda mengetahui tetangga memiliki mobil, dan Anda sangat akrab dengannya. Kemudian Anda ingin bepergian ke luar kota, sementara mobil itu tidak sedang dipakai, sedang dianggurkan di garasi. Lantas Anda berinisiatif untuk meminjam atau menyewanya, lalu kau sampaikan kebutuhanmu pada tetangga tersebut. Akhirnya atas kebaikan tetanggamu, kau mendapatkan pinjaman.
Kau
mendapatkan hak untuk menggunakan, bukan untuk memiliki. Jika Anda, kemudian,
berhasrat memiliki mobil itu, dan Anda berhari-hari tidak juga mengembalikan,
bahkan Anda memutus kontak dengan tetangga Anda, tentu saja tetangga Anda akan
marah, kesal, dan kecewa. Atau mungkin Anda akan dilaporkan ke polisi karena
telah membawa mobilnya, dan tidak Anda kembalikan.
Apapun
yang berada di tangan Anda hanyalah berupa pinjaman dari Allah, untuk kau
gunakan dengan sewajarnya. Karena berupa pinjaman, maka pada saatnya akan
diambil oleh Pemiliknya. Tak sedikit orang yang telah menangguk keberuntungan
yang luar biasa, segala obsesinya telah terpenuhi, tiba-tiba harus mendapati
dirinya meluncur ke bawah. Kembali ke titik nol. Seluruh pencapaiannya lepas
tanpa bekas.
Seharusnya, menurut hukum alam, semuanya bertumbuh menjadi lebih baik. Lantas, mengapa dia harus mendapati keadaannya jauh lebih buruk daripada sebelumnya? Harus dipahami bahwa manusia tak bisa mempertahankan apa yang dimilikinya, meski sehelai saja,. Sekuat apa dia menggenggam, pada saatnya akan melompat dan lenyap.
Boleh
jadi seseorang takut dengan kematian. Dia menempuh bermacam cara agar
kesehatannya terjaga, olah raga agar ototnya makin kuat, mengonsumsi makanan
bergizi, menjaga istirahat yang teratur. Semua ditempuh untuk menjaga
kesehatannya, agar terjauh dari kematian. Akan tetapi, kematian tidak perlu
menunggu sakit. Tak sedikit orang yang bertubuh atletis, setiap akhir pekan
ikut menggayuh sepeda, tapi ketika kematian sudah mau menerkamnya, dia tak bisa
lari. Harus merelakan dirinya.
Allah
menganugerahi Anda hidup. Jalanilah kehidupan dengan rasa syukur. Hanya ketika
terus menyertai dengan syukur, kehidupan Anda akan terasa lebih hidup.
Berlimpah kebahagiaan. Akan tetapi, ketika Anda menghendaki agar karunia itu
langgeng dalam genggaman, disanalah kebahagiaan itu mengalami kebocoran, bahkan
hilang begitu saja. Seperti halnya Nabi Adam a.s ketika dianugerahi berlimpah
nikmat di surga. Karena beliau menghendaki hidup yang langgeng di surga dengan
segenap kenikmatan yang bertabur di dalamnya, justru beliau terdepak dari
surga. Anda boleh menikmati segala karunia yang Allah berikan, tapi jangan
pernah terlintas keinginan untuk memiliki, atau melekat padanya.
Kita memang tidak memiliki dan dimiliki, kecuali oleh Allah. Iya, kita dimiliki oleh Allah. Karena itu, tidak selayaknya kita melekat pada apapun dan siapapun, kecuali pada Allah semata. Segala hal yang tergelar di hadapan kita akan datang dan pergi, hilir mudik, dan tentu tidak bisa kita cegah. Kadang, kita kedatangan sesuatu yang tidak pernah kita harapkan, bahkan kita benci. Juga apa yang kita senangi, diambil paksa dari kita.
Seorang kekasih yang saling jatuh cinta,
mendadak salah satunya berubah rasa, lalu tega meninggalkan kekasihnya. Ditinggalkan
ketika sedang sayang-sayangnya. Hatinya akan merasa malang. Semuanya tidak bisa
kita pertahankan. Yang selalu bertahan dengan kita, dan selalu membersamai kita
hanya Allah. Allah tak pernah terpisah dengan kita, meski sejenak. Kesadaran
seperti ini bukan hanya membuat kita tenang dalam menjalani kehidupan, tapi juga membuat kita akan selalu merasa
berkelimpahan. Mengapa? Karena merasa dibersamai oleh Yang Maha segalanya.
Apa saja yang Anda butuhkan ada pada Allah. Agar Anda menikmati dengan nyaman, maka nikmati semuanya, dan jangan terlintas obsesi untuk memiliki, karena memiliki identik dengan menguasai, atau mempertahankan. Sementara manusia sadar bahwa dia tak mungkin mampu mempertahankan yang sedang dia nikmati. Sekarang Anda menikmati makanan yang begitu lezat. Anda tentu ingjn terus-menerus memeroleh hidangan semewah itu lengkap dengan kelezatan rasanya.
Akan tetapi, kehidupan
tidak berjalan semacam itu terus-menerus. Mungkin saja Anda disuguhi menu
semewah itu ketika Anda sedang diterpa rasa sakit. Nafsu makanmu terganggu,
bahkan terasa pahit di kerongkongan. Maka, makanan lezat itu sudah tak lagi
terasa lezat. Bahkan berubah pahit. Atau ketika Anda sudah pulih, ternyata
makanan semewah itu sudah tak bisa Anda temui lagi. Semuanya bukan untuk
dimiliki, tapi untuk dinikmati.
0 comments