PENDIDIKAN ANTI BULLYING DAN URGENSINYA BAGI PERADABAN
08 March 2024
Baru-baru ini terdapat berita yang menghebohkan khususnya jagat pendidikan Indonesia. Karena ada seorang santri di salah satu pesantren daerah kabupaten Kediri meninggal dunia sebab mengalami kekerasan fisik oleh kakak kelasnya. Kasus ini masih didalami oleh pihak kepolisian maupun para psikolog namun kabar duka itu seolah mempertanyakan kembali bagaimana kualitas sistem pendidikan di Indonesia saat ini dan bagaimana sumbangsih pendidikan dalam mengawal peradaban. Hal ini tentu bukan hanya mengarah kepada lembaga pesantren saja, akan tetapi seluruh elemen pendidikan di Indonesia.
Kebobrokan moral semakin menjalar seiring dengan menjalarnya teknologi yang tak terbendung. Hal yang semula tidak bisa diakses menjadi mudah diakses. Seharusnya, mengakses ilmu pengetahuan bisa sama mudahnya dengan mengakses teknologi paling mutakhir bahkan bisa se-digandungi-nya seperti teknologi. Apakah bisa ? Tentu bisa dengan mempertimbangkan strategi strategi yang efektif. Tentu ini menjadi PR kita bersama.
Persoalan yang paling dekat dengan kita adalah mendidik anak anak muda agar lebih bermartabat. Tidak hanya bermartabat dengan setumpuk gelar dan kedudukan akan tetapi bermartabat dengan moral yang tinggi yang sangat menjunjung kemanusiaan. Kasus yang menimpa oknum santri itu bisa dilihat dari sudut pandang yang kompleks. Mereka melakukan tindak kriminal tentu iya, tapi bagaimana mereka bisa mempunyai keinginan melakukan tindakan itu bisa dilatarbelakangi dari bagaimana lingkungan sosial mereka membentuknya, sistem belajar apa yang selama ini mereka anut, apa yang dia akses, orang tua dan guru yang mendidiknya dan sebagainya.
Mengikuti alur perkembangan tentunya harus berada di dalam kontrol nilai kemanusiaan dan kontrol norma-norma agama. Kontrol agama (baca : doktrin keagamaan) tentunya tidak bersifat mutlak. Selama tidak mengganggu nilai esensial dalam agama boleh dicari dan dikembangkan bahkan wajib seperti ilmu sosial, alam, teknologi dan sebagainya selama berorientasi untuk kemaslahatan manusia. المحافظة عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ "menjaga tradisi masa lalu yang sudah mapan sembari membuka mata melihat fenomena baru yang lebih baik" . Sementara yang mutlak adalah nilai-nilai kemanusiaan. Dalam artian yang berhubungan dengan menghilangkan nyawa manusia pasti adalah perbuatan yang buruk. Apapun agamanya.
Melihat fenomena bullying
Benar pepatah bahwa lisanmu adalah harimaumu bila engkau tidak bisa mengendalikannya maka dia pasti menerkammu. Bullying bukan barang asing di kancah pergaulan sekarang. Sering kali di media beredar bahwa motif pembunuhan berangkat dari bullying. Seperti kasus tahun 2019 yang lalu, ada seorang wanita dibanyuwangi melancarkan olok-olok kepada seorang pria yang gemuk setiap hari, kemudian merasa sudah tidak kuat karena tersingggung akhirnya pria itu merencanakan pembunuhan dan terjadilah. Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang serupa. Kita melihat bagaimana bahayanya fenomena bullying ini. Jika tidak ditangani secara serius maka kita akan mewariskan peradaban yang buruk bagi generasi yang akan datang.
Dampak bullying bagi korban :
Menurut psikolog Iswan saputro dampak yang dirasakan oleh korban bullying setidaknya ada 7 antara lain : rentan merasakan emosi, sulit berkonsentrasi, tidak percaya diri, masalah fisik, menarik diri dari lingkungan, sulit membentuk hubungan, dan memicu terjadinya gangguan mental. Tentunya dampak yang paling mengerikan adalah hilangnya nyawa manusia.
Dampak bullying bagi pelaku :
Iswan melanjutkan bahwa tidak hanya korban saja yang mendapatkan dampak negatif dari bullying akan tetapi pelaku juga mendapatkan dampak negatif dari tindakannya itu. Setidaknya ada 4 akibat yang akan dirasakan oleh pelaku bullying antar lain : empati yang semakin tumpul, meningkatnya perilaku agresif, muncul perilaku antisosial yang semakin parah, mendapatkan label negatif.
Dari beberapa dampak yang telah dipaparkan oleh psikolog Iswan, kita bisa melihat bagaimana semuanya mencederai fitrah kemanusiaan dan agama. Membunuh tentu masuk kategori mencederai fitrah kemanusiaan, sementara mengganggu ketentraman jiwa dan akal adalah mencederai maqoshid al-syari'ah (tujuan syari'at) yakni hifdz al-nafs (menjaga jiwa) dan hifdz al-aql (menjaga akal). Potensi akal yang seharusnya digunakan untuk melerai antara baik dan buruk dan membangun peradaban, dirampas oleh keserakahan otak hasil dari pergaulan yang salah bahkan hasil dari pendidikan yang salah.
Langkah yang dipertimbangkan bagi para pemangku pendidikan
Pemangku pendidikan dalam hal ini tidak terbatas hanya pada seorang pedagog, akan tetapi semua elemen yang memiliki tanggung jawab mendidik baik itu pemerintah, tokoh masyarakat, pemuka agama bahkan keluarga semua memiliki andil besar dalam meradam arus bullying yang semakin membudaya. Bagi pemerintah sudah selayaknya menganggap serius fenomena ini dengan menata ulang prospek kerja kedepannya yang diserahkan kepada para menterinya untuk memasukkan tema bullying agar didiskusikan bersama. Pengalaman seorang yang sudah hafal peta radikalisasi berikut gejala-gejalanya perlu diterjunkan langsung demo masalah ini. Para pemangku hukum sudah selayaknya dapat membendung gejala ini buka hanya sekedar memberikan keputusan di meja pengadilan bagi orang yang melanggar hukum.
Para pendidik di lembaga sekolah baik negeri maupun swasta baik jenjang SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi untuk memasukkan tema bullying sebagai tema wajib atau pelajaran wajib yang harus dipahami. Begitu juga keluarga, bahkan ibnu miskawaih seorang filsuf dari kalangan Islam mengatakan bahwa pondasi untuk membangun peradaban adalah dimulai dari keluarga, jika Keluarga sudak tidak mampu menciptakan lingkungan yang baik maka kebobrokan layak dialamatkan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu pentingnya semua elemen bergerak bersama dengan tujuan yang sama pula.
Pesantren, dan segala hiruk pikuknya
Dalam kaitannya dengan tema, bagian inilah yang paling perlu diperhatikan. Mengingat kasus diatas lahir dari wilayah pesantren. Lalu bagaimana langkah pesantren agar kasus serupa tidak terjadi lagi ? Tentu jawaban ini menjadi bahan renungan bersama. Jika hanya dikembalikan kepada pelaku yang notabene "dianggap" tidak bisa mencerna nilai-nilai kepesantrenan dan agama tentu problematik dan terkesan menormalisasi. Namun jika semuanya sadar bahwa ada bagian sistem yang perlu dibenahi kaitannya dengan merespon fenomena aktual masyarakat maka langkah-langkah untuk Meredam kasus serupa agar tidak terjadi lagi akan semakin gencar didiskusikan.
Pemangku pesantren, asatidz, kamtib dan para orang tua harus saling bahu membahu menangani masalah ini. Minimal para pemangku dan asatidz punya trobosan-trobosan baru yang lebih solutif. Penulis akan mencoba memberikan sebuah pandangan bagaimana seharusnya pesantren yang menjadi ranah tafaqquh fiddin tetap pada ciri khasnya.
1. Memasukkan mata pelajaran wajib berupa bahaya bullying. Hal ini bisa dikontekkan dengan literatur Islam yang sangat kaya mengingat budaya pesantren adalah menggeluti kutub as shofro' (kitab kuning). Inilah yang dikatakan sebagai mempertahankan tradisi lama yang baik sekaligus membuka mata bagi tradisi baru yang lebih baik. Dengan ini para santri akan lebih sadar kalau sejak dahulu nabi, sahabat dan para ulama' melarang perbuatan demikian.
2. Mengadakan seminar, lokakarya, bahsul Masail secara berkala dan rutin dengan tema yang diangkat adalah seputar bahaya bullying. Misalnya mengundang psikolog ternama guna memberikan pengalaman-pengalaman nya di lapangan. Hal ini akan lebih efektif karena melibatkan aktif pengalaman baik dalam membaca maupun mencegah bullying.
3. Para asatidz memberikan teladan yang baik kepada anak didiknya dari tidak memberikan hukuman psikologi yang berlebihan dengan dalih murid harus ridho pada gurunya agar ilmunya bermanfaat. Ditegur tentu wajar dan harus bagi mereka yang telah melampaui batas akan tetapi harus peka terhadap batas-batas yang wajar dilakukan dan bisa memahami sang anak didik.
4. Termasuk juga memberikan pendidikan antirasial utamanya bagi orang yang etnosentris (membanggakan sukunya dan merendahkan suku lain) mengingat para santri terdiri dari berbagai wilayah bahkan negara yang sudah tentu membawa karakteristik budaya yang beragam. Baik di suku A belum tentu baik di suku B. Maka perlu dipertajam materi keindonesiaan yang berbasis Pancasila demi kelangsungan hidup yang damai di lingkungan pesantren.
5. Tulisan-tulisan yang biasanya mewarnai sudut-sudut pesantren berupa pentingnya kebersihan, memuliakan tamu, mulianya ilmu dan sebagainya perlu juga ditambahi tulisan-tulisan yang bernada bahayanya bullying. Walaupun remeh tapi perlahan akan sadar jika hal demikian penting.
Dengan demikian semoga gejala buruk berupa bullying akan segera teratasi dan kembali melanjutkan tradisi pesantren yang tafaqquh fiddin yang terus akan melahirkan tokoh-tokoh luar biasa seperti imam Syafi'i, imam Al Ghazali, Al Farabi, KH Hasyim Asy'ari, Mbah Moen dan seterusnya.
Salam,
Hilman Arif Maulana
_Penikmat buku, kajian Islam dan filsafat
Alumni PP salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo_
0 comments