Resepsi Malam Penuh Cahaya
30 March 2024
Setiap orang menyukai cahaya. Buktinya, ketika orang tersekap dalam kegelapan, dia akan dijalari perasaan takut, pikiran pun mengembara kemana-mana sembari menggambarkan segala perkara yang menakutkan. Lalu, ketika cahaya menyala dari sudut ruang, tiba-tiba kebahagiaan menyergapnya. Sebuah kebahagiaan yang tak terlukiskan.
Sebaliknya, orang berada di ruang berlimpah cahaya, mereka sedang bergembira-ria, sambil ketawa-ketiwi bersama temannya. Di saat mereka bercengkrama di tengah temaram cahaya itu, tiba-tiba lampu padam. Sepadam-padamnya. Ruangan berubah menjadi gelap gulita. Seisi ruang serentak teriak histeris. Mereka berjubel dan berkerumun untuk segera keluar dari ruangan itu hendak mencari penerang. Sebagian mereka mencari lilin untuk menyalakan cahaya di ruangan itu.
Begitulah
gambaran ketika orang tersekap dalam gelapnya ruangan lahir. Kalau ruangan
lahir bisa terbit terbenam. Kadang orang berada di antara cahaya yang melimpah,
kadang tersisih ke ruang remang-remang, tak jarang lalu terlempar ke ruang yang
paling pekat gulitanya. Cukup didatangkan lampu petromak, lilin, atau senter, kegelapan
jadi terusir. Kegembiraan pun menyebar.
Berbeda halnya ketika orang sedang terjebak dalam kegelapan ruhani. Meski dia mencari-cari lampu di luar dirinya, kegelapan tetap saja mengungkung dirinya. Karena dia tak bisa menyalakan cahaya di hati melalui lampu lahir yang terpasang di luar, melainkan harus melalui lampu batin.
Jika lampu batin ini
telah menyala, orang akan selalu berada dalam kebahagiaan, meski secara
lahiriah diberondong banyak sekali musibah. Kenyataan (buruk) di luar tidak
bisa merampas kebahagiaan yang sudah bersinggasana di dalam dirinya. Kalau
orang telah meraih kebahagiaan di dalam, setiap kejadian yang bertebaran di
luar akan semakin menguatkan kebahagiaan. Karena semua kejadian dipandang
mengalir sekaligus hanyut dari sumber kebaikan. Allah Swt.
Lantas, bagaimana agar kita bisa menjaring dan menangkap cahaya kebahagiaan? Allah gelar cahaya kebahagiaan diantara sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Disebut Lailatul Qadr. Lailatul Qadr hadir membekaskan perubahan yang sangat dahsyat bagi manusia, bagaimana bisa membangun rumah cahaya kebahagiaan yang kukuh di dalam hati.
Tak bisa ditembus siapapun. Apalagi dirampok. Sama sekali
tidak bisa. Karena itu, orang yang mengenali Lailatul Qadr, tidak akan pernah
melewatkan momen ini tanpa persiapan lahir dan batin. Dia, justru, akan mengondisikan
lahir dan batin untuk menyambut resepsi cahaya di malam hari. Malam yang mulia
tak boleh dilewatkan karena menyuguhkan jamuan anugerah yang sangat mulia.
Kalau
kita menyusuri surat Al-Qadr, maka kita menemukan kalimat Lailtul Qadr
diulang sampai tiga kali.
Menurut
Ibnu Abbas, diulang tiga kali, karena malam itu Allah menganugerahkan tiga
anugerah sesuai dengan kapasitas dan kesiapan setiap hati. Ada yang bisa
mencakup ketiga-tiganya. Ada yang memeroleh hanya dua saja. Ada yang memeroleh
satu saja. Merugilah orang yang tak mendapatkan apa-apa di malam itu, menikmati
malam dengan tidur mendengkur, atau hanya nyangkruk tanpa m-anfaat
sedikitpun.
Anugerah
Tersembunyi di Malam Mulia
Pertama, ibadah di malam itu sama dengan ibadah seribu bulan, yakni 85 tahun. Bahkan lebih baik daripada seribu bulan. Bahkan disebut oleh kalangan ulama tahqiq, sama nilainya dengan ibadah satu abad. Kalau Anda menunaikan sedekah di malam itu, maka pahalanya seperti sedekah 1 abad. Kalau Anda mengkhatamkan Al-Qur’an di malam itu sama dengan mengkhatamkan Al-Qur’an satu abad. Kalau malam itu, Anda mendirikan shalat, maka dihitung seperti shalat 1 abad.
Sungguh sebuah
anugerah luar biasa. Karunia ini hanya diberikan pada umat Sayyidina Muhammad
Saw. Sementara umat yang lain tidak memeroleh anugerah seistimewa ini. Umat
yang terdahulu, jauh dari keistimewaan seperti ini. Bahkan setiap amal kebaikan
yang dilakukan hanya mendatangkan satu pahala kebaikan. Sementara umat Nabi
Muhammad, satu kebaikan saja mendatangkan 10, 70, 700. Apalagi di malam yang
istimewa. Sungguh kita mendapatkan kekayaan pahala.
Kedua,
dibebaskan dari api neraka. Dia terdaftar sebagai hamba Allah yang akan
bertobat di akhir hidupnya, sehingga Allah rida padanya. Karena itu, mengapa
amalan yang ditekankan di malam itu adalah memohon ampun pada Allah.
Sayyidah
Aisyah r.ah bertanya pada Rasulullah Saw, Wahai Rasulullah apa pendapatmu jika
kau mengetahui malam ini adalah malam Lailatul Qadr, apa yang saya baca di
dalamnya? Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah : Wahai Allah, sesungguhnya Engkau
adalah Maha Pengampun Lagi Maha Pemurah, kau suka memaafkan, maka maafkanlah
hamba”. (HR. Tirmidzi)
Pertanyaan
yang melesak di dalam pikiran, mengapa malam yang penuh istimewa hanya disuruh
istighfar? Karena ketika kita terus melangitkan permintaan ampun pada Allah,
maka kita berharap memeroleh pengampunan, dan tentu ridha Allah. Ketika ridha
pada kita, maka akan mendaftar kita sebagai orang yang bebas dari api neraka.
Ketika tidak lagi dihinggapi penderitaan.
Ketiga,
dimahkotai derajat takwa. Ketika orang telah bersematkan mahkota takwa, maka
peluang berikutnya dia bebas dari hisab. Sosok seperti ini bukan hanya
disediakan kebahagiaan di surga. Dengan bertakwa, surga ditarik ke dunia, dia
akan selalu menemukan sudut pandang untuk bahagia dalam setiap keadaan.
Bukankah orang yang bertakwa memeroleh surga yang luasnya seluas langit dan
bumi?
Cara
Menghiasi Malam Cahaya
Pertama, meningkatkan ibadah pada Allah. Di malam-malam menyambut Lailatul Qadr, berbeda dengan malam-malam sebelumnya, diisi dengan semangat beribadah. Bahkan ditambah dengan itikaf di masjid untuk mengefektifkan ibadah sekaligus menyendiri dengan Allah Swt. Tadarusnya di malam itu ‘dikencengi’, juga dikuatkan dengan menafakuri setiap ayat yang tertulis dalam Al-Qur’an. Tidak berhenti pada membaca, tetapi mengunduh energi besar yang berada dibalik bacaan Al-Qur’an.
Shalat—sebagai sebuah media pembangun hubungan dengan Allah—juga ditingkatkan
di malam-malam itu. Shalat lebih daripada seremonial, tetapi bagaimana
membangun ikatan yang kuat dengan Allah. Tumbuh perasaan butuh pada Allah
setiap saat. Disana mengandung puja-puji, mengandung permohonan ampunan, dan
timbul pengagungan pada Allah Swt. Seperti membiarkan diri ditelan dalam
keagungan Allah Swt. Bahkan, bagaimana di dalam shalat digabung dengan membaca Al-Qur’an,
sungguh sebuah proses yang sangat berarti untuk memasukkan nilai-nilai Al-Qur’an
ke ruang batin.
Kedua,
lakukan mujahadah ketat. Ramadhan disediakan untuk mujahadah,
bersungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu. Jangan biarkan kesempatan hawa
nafsu mengambil peran. Ia harus selalu dalam kondisi dijinakkan. Bagaimana cara
menjinakkan hawa nafsu? Kita harus melakukan langkah yang berkebalikan dengan
hawa nafsu.
a. Nafsu suka tidur. Ada
orang sambil menunggu berbuka, dia habiskan waktu siangnya dan tidur. Bahkan di
malam harinya juga nyenyak tidurnya. Karena itu, kita lakukan langkah
perlawanan dengan melakukan sebaliknya, yakni mengurangi tidur. Malam hari,
biasanya didesain untuk istirahat, tapi kita memilih menghabiskan banyak
sekalian malam untuk berdua-duan dengan Allah lewat itikaf. Kita benar-benar ‘melek’,
diisi dengan mendirikan shalat-shalat sunah, membaca Al-Qur’an, membaca
shalawat, dan sisihkan untuk berbagi dengan sesama. Karena demikianlah
ciri-ciri orang yang bertakwa.
b. Nafsu suka makan-minum.
Iya, tak sedikit di antara kita, kesenangannya terdapat dalam makan-minum.
Karena kebiasaan makan minum setiap hari, lalu bulan puasa tiba, maka menahan
makan minum digalakkan. Akan tetapi, meski kita tidak makan minum, pikiran kita
selalu tertuju pada makanan. Dari pagi hingga waktu berbuka pikiran dipenuhi
dengan daftar makanan, dan hati menyimpan hasrat terhadap bermacam makanan.
Sehingga tak jarang, ketika adzan maghrib berkumandang, mereka langsung
menyantap, dan melahap makanan yang telah terhidang di depan meja. Sampai
perutnya tak lagi bisa menampung makanan, baru berhenti. Padahal, ketika
kekenyangan, rasanya tidak tersisa kenikmatan makanan tersebut. Bahkan
berdampak pada sulitnya menggerakkan tubuh, hingga malas beribadah. Kurangi
makan, semoga perut kita berisi cahaya.
c. Nafsu suka pergaulan
duniawi. Nafsu memang tidak suka berdiam diri, menyendiri, dan terkurung terus
di rumah. Dia selalu mencari teman ngobrol, teman nongkrong, dan selalu ingin
berbaur dengan keramaian. Dia ingin bersenang-senang dalam keriuhan, dan
“penderitaan” bagi nafsu ketika terpasung dalam kesunyian. Ketika kita
mengambil jarak dengan keramaian, keriuhan, dan kemacetan, justru sejatinya
jiwa kita merasakan ketenangan. Karena itu, nafsu ini harus dilawan dengan
menyendiri, atau disebut dengan uzlah. Ketika kita terputus dengan
segala pengaruh dari luar, lalu kita dibawa masuk ke relung terdalam kita. Disana
kita menangkap suara Tuhan yang merambat di hati.
d.
Nafsu suka berbicara.
Diakui banyak orang suka berbicara, apalagi ada yang bersorak dan memuja narasi
yang disampaikan. Akan tetapi, tak jarang pembicaraan itu menjadi sempah yang
tak ada gunanya. Tak membawa dekat pada Allah. Selama ini kita berbicara
banyak, sehingga tidak mendengar Allah berbicara sama kita. Diamlah, dan
dengarkan Allah sedang berbicara. Setiap pembicaraan kita kemudian diarahkan
dengan berbincang-bincang dengan Allah, melalui menyusuri ayat-ayat Al-Qur’an.
Jika
mujahadah telah dilakukan, maka hati kita akan tenang. Meraih muthmainnah.
Nafsu berarti sudah terkendali dengan baik. Kita tak lagi ditunggangi nafsu,
tapi kita yang menunggangi nafsu. Jika nafsu dijadikan sebagai kendaraan, maka
kita akan merasakan bahagia. Bukan diperankan sebaliknya.
Mujahadah
sebagai jalan kita mendekati keadaan malaikat, sehingga kita menjadi insan maliki.
Malaikat tidak tidur, maka kita kurangi tidur. Malaikat tidak makan-minum, maka
kita kurangi makan-minum. Malaikat tidak suka suka pergaulan duniawi, maka kita
kurangi pergaulan duniawi dengan uzlah. Malaikat tidak suka berbincang-bincang
kecuali zikir, maka kita mengurangi berbicara dengan diam.
Ketika kita sudah sefrekuensi dengan alam malaikat, insya Allah hati kita bisa menangkap cahaya Lailatul Qadar.
0 comments