-->

Transformasi Jiwa Melalui Ramadhan

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Transformasi Jiwa Melalui Ramadhan

15 March 2024

Transformasi Jiwa Melalui Ramadhan

15 March 2024


Manusia selalu ingin mengalami kemajuan. Tidak pernah mau mengalami kemandekan, kejumudan, berjalan di tempat, apalagi kemunduran. Keinginan bertumbuh bukanlah kehendak hawa nafsu, melainkan kehendak jiwa terdalam. Seperti halnya pepohonan terus bertumbuh, menjulang ke atas, sehingga mendekati cahaya matahari. Demikian juga manusia ingin terus bertumbuh jiwanya mendekati cahaya ilahi. Keinginan untuk terus bertransformasi merupakan sebuah panggilan jiwa karena manusia menuju pada Yang Maha Tak Terbatas. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh merasa sempurna, karena ketika sudah merasa sempurna, sebenarnya yang terjadi adalah terhentinya sebuah perjalanan. Tentu saja, dia akan ‘keluar’ dari kriteria orang yang sampai pada Allah.

Kita belajar pada ulat. Tidak harus melihat atau memegangnya. Mendengar namanya saja, terlintas bayangan tentang ulat yang menjijikkan. Tidak ada orang yang mau berdekat-dekatan dengan ulat. Ulat dikenal sebagai pengganggu tanaman. Ia menggerogoti dedaunan, memakan buah-buahan, dan bahkan tangkai pohon bisa pupus oleh karena digerogotinya.

Ulat sadar bahwa perbuatan, perilaku, dan kehadirannya tidak membawa kebaikan bagi lingkungan sekitarnya. Terutama pada pepohonan yang dihinggapinya. Itulah yang kemudian membawa dampak pada sikap manusia yang cenderung jijik melihatnya. Ia ingin mengubah dirinya agar tidak terus menjadi obyek kebencian. Ia pun bertransformasi menjadi kepompong, sembari berpuasa dan tidak makan apapun. Dengan menjadi kepompong, perlahan ia menjelma sebagai kupu-kupu. Berubah menjadi kupu-kupu lebih menarik banyak orang yang menyukai kehadirannya. 

Setiap bunga merindukan dihinggapi kupu-kupu. Kupu-kupu mengambil benang sari dan membawanya ke bagian putik bunga yang lain sehingga terjadi penyerbukan dan menghasilkan buah. Dari yang sebelumnya membawa mudarat karena jadi ulat, kemudian karena menjadi kepompong dan berubah menjadi kupu-kupu, maka kemudian kehadirannya dapat menebar manfaat.

Puasa Ramadan tentu tidak hanya mengubah dimensi fisik, misalnya agar lebih sintal dan langsing. Kalau hanya mengubah fisiknya, maka apa bedanya kita dengan binatang. Seperti ular, misalnya, dia menjalani laku puasa, untuk mengubah kulitnya yang sudah menua agar meremaja kembali. Kita diwajibkan puasa untuk mengubah dimensi jiwa kita, agar rohani kita semakin dekat pada Allah. 

Sebagai tujuan sejati bagi jiwa. Bukankah hanya dengan sesifat, atau mendekati sifat-sifatnya, sesuatu bisa dekat. Sebagaimana hanya burung sejenis yang bertengger di ranting yang sama. Kita berpuasa untuk mendekati sifat-sifat Tuhan, agar kita bisa selalu tersambung dengan Allah. Bertambah dekat pada Allah.

Jika kita ingin menggapai kelas yang lebih tinggi secara spiritual, berarti kebahagian kita meningkat dan berarti kita sangat dekat pada Allah, maka Allah sediakan bagi kita kewajiban puasa. Puasa yang dijalani dengan penuh suka cita. Karena puasa sendiri sebagai bentuk ibadah yang untuk menjalin hubungan yang intim dengan Allah Swt. “Semua amal anak Adam untuk anak Adam itu sendiri, kecuali puasa”, sebuah sabda Nabi, “Puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang memberikan pahalanya”.

Puasa—terlebih puasa Ramadan—sebentuk ibadah yang bersifat rahasia antara kita dengan Allah. Karena bersifat rahasia, maka orang yang berpuasa akan banyak mengakses rahasia ilahi ke dalam dirinya. Rahasia ilahi tersebut mengantarkan manusia pada level ketakwaan. Dia selalu ingin dekat dengan Allah. Tidak kuat berpisah dengan Allah, meski sejenak saja.

Lantas, bagaimana lahir sebagai orang yang bertakwa, sosok yang hidupnya diliputi kebahagiaan? Tentu seseorang harus menempuh tangga demi tangga, hingga sampai pada tujuan. Perjalanannya disebut mujahadah. Mujahadah sebagai usaha seorang salik untuk mendekat pada Allah.

Sebelum memasuki gerbang mujahadah, seorang salik harus bertaubat pada Allah. Karena tanpa adanya taubat, tidak ada perjalanan. Setelah taubat, langsung ditindak lanjuti dengan mujahadah. Rukun mujahadah adalah melek, luwe, meneng, dewe

Pertama, mengurangi tidur (melek). Ramadan sangat mendukung kita untuk mengurangi tidur, terutama di malam hari. Bagaimana kita telah dipandu agar ketika isya tiba, yang seharusnya kita menjadikan waktu malam untuk istirahat, kita disuruh shalat tarawih. Selepas tarawih, dilanjutkan dengan tadarus di masjid. Mungkin sepulang tadarus, merebahkan tubuh sejenak, lalu sekitar jam 02.00 bangun, bersiap-siap untuk shalat tahajud, dan melanjutkan dengan sahur. Lantas menunggu shalat subuh tiba. Jadi, Ramadhan telah dirancang khusus agar kita mengurangi tidur.

Kedua, mengurangi makan-minum (luwe). Bawaan kita selalu ingin makan, bahkan meski perut sudah kenyang, diam-diam takut diterpa kelaparan. Iya, belum lapar sudah takut kelaparan. Tidak makan dan minum di siang hari sebagai upaya mengurangi makan. Dalam kondisi perut kosong, cahaya ilahi akan gampang memasuki hati. Dalam perut kosong, semangat ibadah kita semakin meningkat. Karena setan tidak memiliki celah untuk menggoda orang yang sedang kosong perutnya alias berpuasa.

Ketiga, mengurangi pergaulan duniawi (dewe). Betapa sering mindset dan cara berpikir kita dibentuk oleh pikiran. Bisa jadi lingkungan memberi kontribusi positif, tapi tak jarang mengirimkan toksik ke dalam kehidupan kita. Karena itu, kita perlu mengondisikan diri kita sendiri, memutus pergaulan sosial. Memasuki bilik pribadi, atau rumah Allah Swt. Disana kita melakukan upaya evaluasi atau introspeksi diri. Bukankah introspeksi diri dengan jujur, memunculkan semangat untuk berubah menjadi lebih baik?

Keempat, mengurangi berbicara (meneng). Terlalu banyak berbicara bisa menjebak manusia dalam kesalahan. Ketika orang belum berbicara, dia menguasai kata-kata. Tetapi, ketika dia sudah berbicara, maka kata-kata telah menguasai dirinya. Karena saking seringnya kita berbicara, kita kurang bisa menangkap suara lembut yang mengalir dari hati kita. Karena itu, ada kalanya kita membuat momentum diam. Tidak berbicara. Biarkan hati nurani berbicara. Dan dengarkan Tuhan berbicara. Disana kita akan menemukan kejernihan yang belum pernah kita rasakan. Disana ada kelembutan yang merambat. Disana ada kebahagiaan yang tertransfer.  

Dengan mujahadah diharapkan hati kita bersih dari segala penyakit yang sering menggerogoti. Ketika hati telah bersih, maka ketakwaan diharapkan bersemi di hati kita. Siapa yang paling tinggi kualitas ketakwaannya, maka jiwanya semakin bahagia. Mujahadah menempatkan hawa nafsu sebagai musuh. Siapa yang mengalahkan hawa nafsu lebih baik daripada orang yang menaklukkan sebuah kota. Karena mengendalikan diri sendiri jauh lebih sulit daripada mengendalikan orang lain.

Peperangan dengan diri sendiri—selagi kita masih menjadi murid—akan terus berlanjut. Tidak boleh ada di antara kita yang merasa aman dengan tipu daya hawa nafsu. Mungkin sekarang kita bisa mengendalikan dan menjinakkan hawa nafsu, tapi tiba-tiba suatu saat, karena kelalaian kita, lalu ia bangun dari tidurnya, menikam dan menyesatkan kita dari jalan kebenaran. Meski kita sudah menggapai kemenangan terhadap hawa nafsu, kita harus tetap dalam kondisi sadar dan waspada. Sehingga kita selalu berada dalam keadaan bersama dengan Allah, dan selalu mengawasi diri sendiri agar tetap berada di jalan Allah.   

       

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang