-->

Merayakan Kemenangan Hati

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Merayakan Kemenangan Hati

19 April 2024

Merayakan Kemenangan Hati

19 April 2024



Dengan takbir dan tahmid kita melepas Ramadan yang telah mewariskan kenangan spiritual ke dalam hati kita. Dengan takbir dan tahmid pula kita sambut fajar Idul Fitri yang memancar dan terhampar indah. Hadir membersihkan segala kotoran yang bertumpuk di hati. Menjernihkan kekeruhan yang tersangkut di jiwa. Melapangkan dada yang selama ini disempitkan oleh kebencian, kedengkian, dan dendam. Membuka gerbang kedermawanan untuk berbagi dan memaafkan sesama.

Alhamdulillah kita telah menikmati suguhan Ramadhan yang telah menghidangkan beragam jamuan ruhani pada kita semua. Tidak ada yang dituju dari Puasa Ramadhan kecuali agar jiwa kita pulang pada Allah. Dekat pada Allah Swt. Bertakwa pada Allah.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar supaya kalian berakwa”. (QS. Al-Baqarah [2]: 183)

Bertakwa sendiri identik dengan kebersihan hati.

Tentu kita sudah mafhum bersama, bahwa Allah hanya menerima hamba-hamba-Nya yang datang kepada-Nya dengan hati yang bersih.

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Pada hari itu, harta dan anak-anak tidak bermanfaat kecuali orang yang datang pada Allah dengan hati yang bersih. (QS. Asy-Syu’ara : 88-89)

Dan hanya hati-hati yang bersih yang bisa mereguk aroma kebahagiaan dan keberuntungan. Selama orang terbelenggu oleh penyakit hati, maka dia telah menyiksa dirinya sendiri, meski secara fisik dia dalam keadaan merdeka dan bahkan sejahtera. Tapi karena hatinya belum bersih, dia terus saja dirundung derita.

Saudara sekalian yang telah menemukan fitrahnya kembali. Dikala kita terbebas dari penyakit hati, maka kita mengalami kebebasan ruhani. Lahir kembali secara ruhani. Mereguk kembali kebahagiaan fitriah yang pernah kita rasakan dahulu. Dari sekian penyakit hati yang menggerogoti manusia, bisa diringkas menjadi tiga lapis penyakit hati.

Dikala penyakit ini bisa diretas, maka manusia seperti keluar dari penjara kegelapan yang sungguh gulita. Sebagaimana Nabi Yunus ketika dilempar dan tenggelam di lautan, lalu jasadnya ditelan oleh ikan hiu, beliau terperangkap dalam tiga kegelapan. Yakni kegelapan malam, kegelapan lautan, dan kegelapan perut ikan. Demikian juga ketika janin mendekam di dalam kandungan ibunya, dia berada dalam tiga kegelapan, yakni kegelapan selaput, kegelapan rahim, dan kegelapan perut.

Setelah berhasil melampaui tiga kegelapan tersebut, seorang bayi bisa keluar ke dunia, merasakan terpaan hangat sinar matahari, merasakan udara sepoi-sepoi membelai tubuhnya. Begitu juga dengan Nabi Yunus ketika sudah keluar dari kegelapan perut ikan, keluar dari kegelapan lautan, dan kemudian keluar dari kegelapan malam, maka Nabi Yunus bisa menyaksikan matahari pagi menerpa tubuhnya.

Lantas, apa saja penyakit hati yang perlu kita deteksi lalu kita obati? Ada tiga lapis penyakit hati yang meliputi manusia. 

Lapis pertama, kesombongan. Kesombongan adalah penyakit hati yang paling gelap. Selama orang mendekam dalam penjara kesombongan, maka rahmat takkan bisa menjangkaunya. Orang berdosa karena dorongan hawa nafsu masih berpeluang bertobat pada Allah. Akan tetapi, orang berbuat maksiat oleh karena kesombongan yang bercokol dalam dirinya, sulit sekali untuk bertobat. Orang sombong seperti orang yang mendekam di gua yang tertutup rapat, tidak ada celah sedikit pun yang bisa ditembus oleh sinar matahari. Meski sinar matahari terang benderang, tapi tidak bisa menjangkau orang yang berada di dalam gua. Karena tertutup oleh gua.

Demikian juga, rahmat Allah bertaburan dan menyebar dimana-mana, tapi karena seseorang sombong, maka rahmat Allah tak bisa menyentuhnya. Dan karena itu, orang sombong tidak akan pernah merasakan surga. Meski setetes saja. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya ada setitik zarrah kesombongan”. Bayangan setitik saja kesombongan sudah menghalangi manusia memasuki surga. Bagaimana jika kesombongan membesar dan terus membesar di relung jiwa?

Orang sombong terhalang mencicipi nikmatnya sebagai hamba, yang terus bergelayut pada Allah. Gagal menikmati khusyuk dalam shalatnya. Shalat belum berdampak terhadap jiwanya. Kesombongannya malah tumbuh subur. Merasa lebih suci, lebih baik, dan lebih mulia daripada orang lain. Shalat seharusnya menyadarkan manusia sebagai hamba yang selalu butuh pada Allah. Bergantung pada Allah. Tak bisa hidup tanpa kasih sayang Allah. 

Ketika orang telah terbebas dari kesombongan, maka dia merasakan salam mengaliri dan meresapi jiwanya. Rasa tenang meliputi hati. Dampaknya, dia bisa menyelamatkan tangan dan lisannya dari menyakiti orang lain. Meski dia belum bisa memberi manfaat yang banyak, setidaknya dia tak pernah menebarkan duri yang menyakiti orang lain. Saudara-saudara yang meraih hati yang bersih. 

Lapis kedua dari penyakit hati adalah dengki. Dengki adalah susah melihat orang lain senang, dan senang melihat orang lain susah. Sosok seperti ini seperti orang mengalami kelainan jiwa. Tentang ini, Al-Qur’an menegaskan :

إِن تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِن تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا۟ بِهَا ۖ وَإِن تَصْبِرُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْـًٔا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

“Jika kau memeroleh kebaikan, (niscaya) mereka bersedih hati, tetapi jika kamu tertimpa bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, tipu daya mereka tidak menyusahkan kamu sedikit pun. Sungguh, Allah Maha Meliputi segala apa yang mereka kerjakan”. (QS. Ali Imron : 120)

Pendengki adalah sebakhil-bakhilnya manusia. Mengapa demikian? Karena orang bakhil tidak mau menyerahkan apa yang berada di genggemannya pada orang lain. Sementara orang dengki tidak mau yang berada di tangan Allah diberikan pada hamba-Nya. Pendengki menginginkan semua kebaikan hanya diberikan pada dirinya. Tidak pada yang lain. Dia ingin menjadi satu-satunya yang kaya. 

Tidak sudi melihat orang lain lebih unggul daripada dirinya. Sosok seperti ini sudah barang tentu tidak bahagia, karena dunia ini tidak sepi dari orang yang sukses. Kejayaan itu dipergilirkan. Tidak terus-menerus tergenggam oleh satu orang. Sebagaimana kekuasaan juga dipergilirkan.

Dengan kedengkian, segala bentuk pencapaian, sama sekali tidak bisa menyuntikkan kebahagiaan dalam hati. Kedengkian, disebutkan, memakan kebaikan seperti api yang memakan kayu bakar.

اِيَّاكُمْ وَ الْحَسَدَاِنَّ الْحَسَدَ يَأْ كُلُ الْحَسَنَاتِ كَماَ تَأْ كُلُ النَّا رُ الْحَطَبَ

"Jauhilah hasad (dengki), karena hasad dapat memakan kabaikan seperti api memakan kayu bakar”. (HR. Abu Daud)

Seluruh kebahagiaan tiba-tiba harus hancur tersebab dilalap oleh kedengkian. Kedengkian, kata Lao Tse, seperti orang yang meneguk racun, dan menghendaki orang lain yang tewas. Hidupnya benar-benar tersungkur dalam penderitaan.

Mengapa orang dengki? Kedengkian menyeruak oleh karena kita tidak sadar tentang posisi kita sebagai khalifah. Khalifah secara ritual telah kita ekspresikan dengan zakat, sedekah, infak, dan semacamnya. Zakat memberi pesan bahwa kita sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai wakil Allah, kita punya misi menebarkan rahmat atau ekspansi rahmat. Tentu tidak tega melihat orang lain terjebak dalam penderitaan. Kita ingin menolongnya. Mengangkatnya dari keterpurukan menuju ketinggian. 

Jika mendapati ada orang yang merengkuh bermacam kenikmatan, dia ikut bahagia. Bukankah Allah juga menghendaki semua makhluk bahagia? Bayangkan, Allah menghendaki kita bahagia, kita sendiri menghendaki diri sendiri bahagia, dan bahkan orang lain menghendaki dirinya bahagia. Tidak ada satu pun makhluk yang menghendaki hidupnya terbelenggu derita. Jadi, kalau kita menghendaki orang lain hidup dalam penderitaan, alias tak menghendaki orang lain hidup bertabur kebahagiaan, kita telah berselisih dengan kehendak Allah, kehendak diri sendiri, bahkan kehendak sesama. 

Sekaligus berselisih dengan kehendak universal. Dan kita tak bisa menghentikan setiap kebahagiaan yang disuguhi pada hamba Allah. Dikala kita menciptakan resistensi, sejatinya kita telah menyakiti diri sendiri berkali-kali. Rasa sakit yang bertubi-tubi.

Karena itu, ketika orang telah berhasil mengikis kedengkian dari hatinya dan berganti dengan ridha terhadap kebahagiaan orang lain, maka dia akan menjelma menjadi rahmat. Berlimpah cinta pada sesama. Kehadirannya selalu ingin menjadi pembahagia bagi sesama. Dia telah mendapatkan hatinya sejahtera, dan berkelimpahan. 

Lapis ketiga, riya. Riya adalah menjadikan selain Allah sebagai tujuan dari amalnya. Seseorang beramal untuk memeroleh pujian dari makhluk, agar kedudukannya bertambah bersinar dan terkenal. Riya sebuah keadaan yang sangat ditakuti oleh Rasulullah Saw. Dikala orang terjangkiti penyakit riya, maka dia telah membangun jarak antara dirinya dengan kebahagiaan. Mengapa demikian? Karena amalnya terselipi pamrih. Selagi pamrihnya belum tergenapi, dia akan terkatung-katung dalam penderitaan. Baru ketika pamrihnya terpenuhi, kebahagiaan mungkin dia dapatkan, tapi bersifat sementara. Karena setelah pamrihnya terpenuhinya, lalu disusul oleh pamrih berikutnya yang lebih besar.

Melakukan amal, misalnya, sembari berharap mendapat penilaian dan apresiasi baik dari orang lain. Selagi dia tidak mendapatkan apresiasi, apalagi yang didapatkan adalah kritikan dan penghinaan, mendadak dia seperti dihantam palu godam. Sakit mencacah jiwanya. Dan ketika mendapatkan apresiasi baik, dia mungkin bahagia, tapi dia meminta pujian lebih baik daripada yang didapatkan sekarang. Seperti meneguk air laut, dia tidak akan pernah merasa puas. Selalu dalam keadaan haus tak berkesudahan.

Tanda orang yang riya, dia begitu giat beramal ketika bersama manusia, tapi ketika dalam kesendirian, dia sangat malas. Dia hanya ingin dilihat manusia. Flexing. Tidak cukup dengan pandangan Allah.

إِنَّ ٱلْمُنَفِقِينَ يُخَدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang munafik hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka, dan apabila mendirikan shalat mereka lakukan dengan malas, mereka bermaksud riya (ingin dipuji) oleh manusia dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit”. (QS. An-Nisa [4] : 142)

Puasa adalah sebuah ibadah yang menempatkan kita sebagai kekasih Allah. Dikala sebagai kekasih, kita seharusnya merasa cukup dengan pandangan kekasih. Adapun jiwa daripada puasa adalah ikhlas. Ketika orang ikhlas, kebahagiaan tidak lagi berada disana, dia akan merasakan kebahagiaan bisa dinikmati sekarang dan disini. Tidak perlu menanti sampai di tujuan untuk bahagia, cukup ketika dia menjalani prosesnya, dia telah mereguk kebahagiaan.

Ketika orang telah berhasil meretas sifat sombong menjadi tawadhu, maka bunga jiwanya akan memekar menjadi salam. Ketika orang telah berhasil mentransformasi kedengkian menjadi ridha terhadap kebahagiaan orang lain, maka hatinya akan menjelma sebagai rahmat. Dan ketika orang telah berhasil mengubah riya sebagai ikhlas, maka jiwanya akan menjadi altar keberkahan yang terus mengalir. Intinya, ketika tawadhu, ridha dengan kebahagiaan orang lain, serta ikhlas telah menghiasi hati, maka orang itu telah menebarkan salam, rahmat, dan berkah. Salamnya benar-benar nyata. Benar-benar hidup dalam kenyataan.Tidak hanya berhenti di kata.         

   

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang