Merayakan Kemenangan Hati
19 April 2024
Dengan
takbir dan tahmid kita melepas Ramadan yang telah mewariskan kenangan spiritual
ke dalam hati kita. Dengan takbir dan tahmid pula kita sambut fajar Idul Fitri
yang memancar dan terhampar indah. Hadir membersihkan segala kotoran yang
bertumpuk di hati. Menjernihkan kekeruhan yang tersangkut di jiwa. Melapangkan
dada yang selama ini disempitkan oleh kebencian, kedengkian, dan dendam.
Membuka gerbang kedermawanan untuk berbagi dan memaafkan sesama.
Alhamdulillah
kita telah menikmati suguhan Ramadhan yang telah menghidangkan beragam jamuan
ruhani pada kita semua. Tidak ada yang dituju dari Puasa Ramadhan kecuali agar
jiwa kita pulang pada Allah. Dekat pada Allah Swt. Bertakwa pada Allah.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang
beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar supaya kalian berakwa”. (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Bertakwa
sendiri identik dengan kebersihan hati.
Tentu
kita sudah mafhum bersama, bahwa Allah hanya menerima hamba-hamba-Nya yang
datang kepada-Nya dengan hati yang bersih.
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
Pada hari itu, harta dan
anak-anak tidak bermanfaat kecuali orang yang datang pada Allah dengan hati
yang bersih. (QS. Asy-Syu’ara : 88-89)
Dan
hanya hati-hati yang bersih yang bisa mereguk aroma kebahagiaan dan
keberuntungan. Selama orang terbelenggu oleh penyakit hati, maka dia telah
menyiksa dirinya sendiri, meski secara fisik dia dalam keadaan merdeka dan
bahkan sejahtera. Tapi karena hatinya belum bersih, dia terus saja dirundung
derita.
Saudara
sekalian yang telah menemukan fitrahnya kembali. Dikala kita terbebas dari
penyakit hati, maka kita mengalami kebebasan ruhani. Lahir kembali secara
ruhani. Mereguk kembali kebahagiaan fitriah yang pernah kita rasakan dahulu.
Dari sekian penyakit hati yang menggerogoti manusia, bisa diringkas menjadi
tiga lapis penyakit hati.
Dikala
penyakit ini bisa diretas, maka manusia seperti keluar dari penjara kegelapan
yang sungguh gulita. Sebagaimana Nabi Yunus ketika dilempar dan tenggelam di
lautan, lalu jasadnya ditelan oleh ikan hiu, beliau terperangkap dalam tiga
kegelapan. Yakni kegelapan malam, kegelapan lautan, dan kegelapan perut ikan.
Demikian juga ketika janin mendekam di dalam kandungan ibunya, dia berada dalam
tiga kegelapan, yakni kegelapan selaput, kegelapan rahim, dan kegelapan perut.
Setelah
berhasil melampaui tiga kegelapan tersebut, seorang bayi bisa keluar ke dunia,
merasakan terpaan hangat sinar matahari, merasakan udara sepoi-sepoi membelai
tubuhnya. Begitu juga dengan Nabi Yunus ketika sudah keluar dari kegelapan
perut ikan, keluar dari kegelapan lautan, dan kemudian keluar dari kegelapan
malam, maka Nabi Yunus bisa menyaksikan matahari pagi menerpa tubuhnya.
Lantas,
apa saja penyakit hati yang perlu kita deteksi lalu kita obati? Ada tiga lapis
penyakit hati yang meliputi manusia.
Lapis
pertama, kesombongan. Kesombongan adalah
penyakit hati yang paling gelap. Selama orang mendekam dalam penjara
kesombongan, maka rahmat takkan bisa menjangkaunya. Orang berdosa karena
dorongan hawa nafsu masih berpeluang bertobat pada Allah. Akan tetapi, orang berbuat
maksiat oleh karena kesombongan yang bercokol dalam dirinya, sulit sekali untuk
bertobat. Orang sombong seperti orang yang mendekam di gua yang tertutup rapat,
tidak ada celah sedikit pun yang bisa ditembus oleh sinar matahari. Meski sinar
matahari terang benderang, tapi tidak bisa menjangkau orang yang berada di
dalam gua. Karena tertutup oleh gua.
Demikian
juga, rahmat Allah bertaburan dan menyebar dimana-mana, tapi karena seseorang
sombong, maka rahmat Allah tak bisa menyentuhnya. Dan karena itu, orang sombong
tidak akan pernah merasakan surga. Meski setetes saja. Sebagaimana Rasulullah
Saw bersabda, “Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya ada setitik zarrah
kesombongan”. Bayangan setitik saja kesombongan sudah menghalangi manusia
memasuki surga. Bagaimana jika kesombongan membesar dan terus membesar di
relung jiwa?
Orang sombong terhalang mencicipi nikmatnya sebagai hamba, yang terus bergelayut pada Allah. Gagal menikmati khusyuk dalam shalatnya. Shalat belum berdampak terhadap jiwanya. Kesombongannya malah tumbuh subur. Merasa lebih suci, lebih baik, dan lebih mulia daripada orang lain. Shalat seharusnya menyadarkan manusia sebagai hamba yang selalu butuh pada Allah. Bergantung pada Allah. Tak bisa hidup tanpa kasih sayang Allah.
Ketika orang telah terbebas dari kesombongan, maka dia merasakan salam mengaliri dan meresapi jiwanya. Rasa tenang meliputi hati. Dampaknya, dia bisa menyelamatkan tangan dan lisannya dari menyakiti orang lain. Meski dia belum bisa memberi manfaat yang banyak, setidaknya dia tak pernah menebarkan duri yang menyakiti orang lain. Saudara-saudara yang meraih hati yang bersih.
Lapis kedua dari penyakit hati adalah dengki. Dengki adalah susah melihat orang lain senang, dan senang melihat orang lain susah. Sosok seperti ini seperti orang mengalami kelainan jiwa. Tentang ini, Al-Qur’an menegaskan :
إِن تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِن تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا۟ بِهَا ۖ وَإِن تَصْبِرُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْـًٔا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
“Jika kau memeroleh
kebaikan, (niscaya) mereka bersedih hati, tetapi jika kamu tertimpa bencana,
mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, tipu daya mereka
tidak menyusahkan kamu sedikit pun. Sungguh, Allah Maha Meliputi segala apa
yang mereka kerjakan”. (QS. Ali Imron : 120)
Pendengki adalah sebakhil-bakhilnya manusia. Mengapa demikian? Karena orang bakhil tidak mau menyerahkan apa yang berada di genggemannya pada orang lain. Sementara orang dengki tidak mau yang berada di tangan Allah diberikan pada hamba-Nya. Pendengki menginginkan semua kebaikan hanya diberikan pada dirinya. Tidak pada yang lain. Dia ingin menjadi satu-satunya yang kaya.
Tidak sudi melihat orang
lain lebih unggul daripada dirinya. Sosok seperti ini sudah barang tentu tidak
bahagia, karena dunia ini tidak sepi dari orang yang sukses. Kejayaan itu
dipergilirkan. Tidak terus-menerus tergenggam oleh satu orang. Sebagaimana
kekuasaan juga dipergilirkan.
Dengan
kedengkian, segala bentuk pencapaian, sama sekali tidak bisa menyuntikkan
kebahagiaan dalam hati. Kedengkian, disebutkan, memakan kebaikan seperti api
yang memakan kayu bakar.
اِيَّاكُمْ وَ الْحَسَدَاِنَّ الْحَسَدَ يَأْ كُلُ الْحَسَنَاتِ كَماَ تَأْ كُلُ النَّا رُ الْحَطَبَ
"Jauhilah hasad (dengki),
karena hasad dapat memakan kabaikan seperti api memakan kayu bakar”. (HR. Abu
Daud)
Seluruh
kebahagiaan tiba-tiba harus hancur tersebab dilalap oleh kedengkian.
Kedengkian, kata Lao Tse, seperti orang yang meneguk racun, dan menghendaki
orang lain yang tewas. Hidupnya benar-benar tersungkur dalam penderitaan.
Mengapa orang dengki? Kedengkian menyeruak oleh karena kita tidak sadar tentang posisi kita sebagai khalifah. Khalifah secara ritual telah kita ekspresikan dengan zakat, sedekah, infak, dan semacamnya. Zakat memberi pesan bahwa kita sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai wakil Allah, kita punya misi menebarkan rahmat atau ekspansi rahmat. Tentu tidak tega melihat orang lain terjebak dalam penderitaan. Kita ingin menolongnya. Mengangkatnya dari keterpurukan menuju ketinggian.
Jika mendapati ada orang yang merengkuh bermacam kenikmatan, dia ikut bahagia. Bukankah Allah juga menghendaki semua makhluk bahagia? Bayangkan, Allah menghendaki kita bahagia, kita sendiri menghendaki diri sendiri bahagia, dan bahkan orang lain menghendaki dirinya bahagia. Tidak ada satu pun makhluk yang menghendaki hidupnya terbelenggu derita. Jadi, kalau kita menghendaki orang lain hidup dalam penderitaan, alias tak menghendaki orang lain hidup bertabur kebahagiaan, kita telah berselisih dengan kehendak Allah, kehendak diri sendiri, bahkan kehendak sesama.
Sekaligus berselisih dengan kehendak
universal. Dan kita tak bisa menghentikan setiap kebahagiaan yang disuguhi pada
hamba Allah. Dikala kita menciptakan resistensi, sejatinya kita telah menyakiti
diri sendiri berkali-kali. Rasa sakit yang bertubi-tubi.
Karena
itu, ketika orang telah berhasil mengikis kedengkian dari hatinya dan berganti
dengan ridha terhadap kebahagiaan orang lain, maka dia akan menjelma menjadi
rahmat. Berlimpah cinta pada sesama. Kehadirannya selalu ingin menjadi
pembahagia bagi sesama. Dia telah mendapatkan hatinya sejahtera, dan
berkelimpahan.
Lapis
ketiga, riya. Riya adalah menjadikan selain Allah sebagai tujuan
dari amalnya. Seseorang beramal untuk memeroleh pujian dari makhluk, agar
kedudukannya bertambah bersinar dan terkenal. Riya sebuah keadaan yang sangat
ditakuti oleh Rasulullah Saw. Dikala orang terjangkiti penyakit riya, maka dia
telah membangun jarak antara dirinya dengan kebahagiaan. Mengapa demikian?
Karena amalnya terselipi pamrih. Selagi pamrihnya belum tergenapi, dia akan
terkatung-katung dalam penderitaan. Baru ketika pamrihnya terpenuhi,
kebahagiaan mungkin dia dapatkan, tapi bersifat sementara. Karena setelah
pamrihnya terpenuhinya, lalu disusul oleh pamrih berikutnya yang lebih besar.
Melakukan
amal, misalnya, sembari berharap mendapat penilaian dan apresiasi baik dari
orang lain. Selagi dia tidak mendapatkan apresiasi, apalagi yang didapatkan
adalah kritikan dan penghinaan, mendadak dia seperti dihantam palu godam. Sakit
mencacah jiwanya. Dan ketika mendapatkan apresiasi baik, dia mungkin bahagia,
tapi dia meminta pujian lebih baik daripada yang didapatkan sekarang. Seperti
meneguk air laut, dia tidak akan pernah merasa puas. Selalu dalam keadaan haus
tak berkesudahan.
Tanda
orang yang riya, dia begitu giat beramal ketika bersama manusia, tapi ketika dalam
kesendirian, dia sangat malas. Dia hanya ingin dilihat manusia. Flexing.
Tidak cukup dengan pandangan Allah.
إِنَّ ٱلْمُنَفِقِينَ يُخَدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang
munafik hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka, dan apabila
mendirikan shalat mereka lakukan dengan malas, mereka bermaksud riya (ingin
dipuji) oleh manusia dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit”.
(QS. An-Nisa [4] : 142)
Puasa
adalah sebuah ibadah yang menempatkan kita sebagai kekasih Allah. Dikala
sebagai kekasih, kita seharusnya merasa cukup dengan pandangan kekasih. Adapun
jiwa daripada puasa adalah ikhlas. Ketika orang ikhlas, kebahagiaan tidak lagi
berada disana, dia akan merasakan kebahagiaan bisa dinikmati sekarang dan disini.
Tidak perlu menanti sampai di tujuan untuk bahagia, cukup ketika dia menjalani
prosesnya, dia telah mereguk kebahagiaan.
Ketika
orang telah berhasil meretas sifat sombong menjadi tawadhu, maka bunga jiwanya
akan memekar menjadi salam. Ketika orang telah berhasil mentransformasi
kedengkian menjadi ridha terhadap kebahagiaan orang lain, maka hatinya akan
menjelma sebagai rahmat. Dan ketika orang telah berhasil mengubah riya sebagai
ikhlas, maka jiwanya akan menjadi altar keberkahan yang terus mengalir.
Intinya, ketika tawadhu, ridha dengan kebahagiaan orang lain, serta ikhlas
telah menghiasi hati, maka orang itu telah menebarkan salam, rahmat, dan
berkah. Salamnya benar-benar nyata. Benar-benar hidup dalam kenyataan.Tidak
hanya berhenti di kata.
0 comments