Kebahagiaan itu Di Sini
11 May 2024
Di suatu malam, Nasruddin Hoja, terlihat mencari-cari sesuatu di bawah temaram lampu yang terang benderang. Teman-temannya melihat tingkah Nasruddin yang bergerak kesana kemari di bawah lampu itu. Mereka segera menghampiri Nasruddin.
“Wahai Nasruddin, kamu sedang mencari-cari apa, kok terlihat bingung mulai tadi?”, tanya teman Nasruddin.
“Aku sedang mencari kunciku yang hilang”, respon Nasruddin.
Teman-teman Nasruddin ikut mencarikan kunci tersebut. Tetapi, walaupun mereka sudah mengubek-ubek berbagai sudut dan tempat, dan menyingkirkan dedaunan yang tergeletak di tanah karena khawatir menutupi kunci itu, mereka tetap saja tak berhasil menemukannya. Mereka pun mengakhiri pencarian dengan tangan hampa.
Lalu di antara mereka bertanya kepada Nasruddin. “Sebentar, Nasruddin, tolong Anda ingat-ingat, kiranya di titik mana kuncimu jatuh?”
“Saya sangat ingat”, kata Nasruddin, “kunciku hilang di rumah”.
“Wahai Nasruddin, kalau kuncimu hilang di rumah, kenapa kau mencarinya di sini?”, kembali temannya bertanya dengan wajah keheranan.
“Iya, karena disini terang benderang, sementara di rumahku gelap”, pungkas Nasruddin.
Nasruddin sedang melemparkan satir terkait dengan warna kehidupan kita. Kita sering memburu banyak keinginan yang menyembur dari hawa nafsu. Sembari menyangka kebahagiaan itu sangat bergantung pada tercapainya keinginan. Hanya saja ketika keinginan telah berada di genggaman, kita tak merasakan kebahagiaan seperti yang kita bayangkan. Mungkin kegembiraan itu hanya melintas, atau menumpang lewat sebentar. Setelah itu memudar dan tertelan oleh hadirnya keinginan baru. Dan terus-menerus begitu.
Buya Hamka menggambarkan seperti seorang musafir yang sedang melewati padang sahara yang tandus dan kering. Dia terserang kehausan yang sangat berat. Tiba-tiba matanya seperti melihat ada oase di lembah sana. Dia terus berjalan menuju lembah yang dia lihat. Setibanya di tempat yang dia sangka, yang dilihatnya hanya berupa onggokan tanah yang tandus.
Dan tiba-tiba dia kembali melihat bentangan oase nun jauh disana. Dia terus memburu agar tiba di tempat yang dia bayangkan menawarkan oase, dan segera mengakhiri rasa hausnya. Tapi sekali lagi, ternyata itu hanya prasangka. Bukan yang sebenarnya.
Begitulah orang yang terperangkap dalam konsep kebahagiaan yang terbentang di luar. Dia terus menjelajah, memburu, dan ingin menangkap kebahagiaan di luar. Akan tetapi, nyatanya kebahagiaan di luar seperti bayangan. Dia terus bergerak menjauh dari kita. Ketika hendak didekap, ternyata hanya sebatas ilusi.
Bagi orang yang sedang terjebak dalam kemiskinan berpikir bahwa kebahagiaan itu hanya didapatkan ketika kekayaan sudah diperoleh. Akan tetapi, setelah kekayaan diraihnya, kebahagiaan tidak kunjung dia rasakan. Bahkan semakin merana. Dia tak mendapatkan apa-apa kecuali uang saja. Tiba-tiba dalam pikiran muncul persepsi, kebahagiaan ketika kekuasaan sudah di tangan. Bisa menyuruh siapa saja yang dikehendaki. Tentu saja punya kedudukan sosial yang tinggi.
Setelah kekuasaan diperoleh, alih-alih kebahagiaan diserapnya. Justru dia mendapati dirinya semakin terperosok dalam lumpur penderitaan yang lebih dalam. Dia, setiap hari, bertemu dengan orang-orang yang bermuka dua, disesaki dengan kepentingan. Ada orang yang tega menginjak yang di bawah, sembari menjilat yang di atas. Keikhlasan terasa sangat langka ditemukannya. Padahal di lingkungan berhias ketulusan, seseorang akan bisa mereguk kebahagiaan.
Kebahagiaan sejatinya telah tersedia dalam diri kita. Tinggal kita menyingkap penutupnya. Apa saja penutup itu? Pertama adalah hawa nafsu. Kita selama ini berpikir bahwa kebahagiaan diperoleh ketika memenuhi keinginan. Padahal selagi orang masih terjerat oleh keinginan, dia telah membuat titik demarkasi atau pembatas antara dirinya dan kebahagiaan.
Setiap menyeruak keinginan, kebahagiaan akan berkurang, bahkan akan rusak. Anda, misalnya, sedang dijamu oleh makanan yang superlezat. Mungkin saja itu sesuai dengan selera dan keinginan Anda selama ini. Ketika Anda mulai menyendok nasi, dan memasukkan lauk-pauk ke piring, Anda melihat suatu yang kurang. Bernama krupuk. Di benak Anda terbersit, “Andaikan ada kerupuknya, tentu saja makanan ini akan terasa lezat”.
Maka seketika Anda berpikir tentang kerupuk—yang tidak ada—di tengah makanan yang superlezat, Anda tidak menemukan kesempurnaan lewat jamuan yang terhidang. Mengapa? Karena Anda masih punya keinginan yang belum tergenapi. Berbeda halnya, ketika Anda menerima dengan sepenuh hati apa yang terhidang di depan meja, maka seketika itu dia akan benar-benar merasakan kebahagiaan.
Selama ini, kita menyangka bahagia ketika terpenuhi keinginan. Padahal, ketika keinginan terpenuhi, justru menyusul keinginan yang lebih besar. Satu keinginan terpenuhi, maka menyusul keinginan kedua. Dan bahkan antrian keinginan semakin panjang. Jiwa jadi sesak. Langkah yang kudu kita tempuh untuk menggapai kebahagiaan bukan memenuhi keinginan, tapi mengendalikan keinginan.
Bagaimana cara kita mengendalikan hawa nafsu? Perlu dijalani mujahadah yang keras untuk mengendalikannya. Apa saja mujahadah yang harus ditempuh untuk menjinakkan hawa nafsu? Terdiri dari empat rukun mujahadah.
1.Mengurangi tidur
Hawa nafsu cenderung ingin tidur, ingin santai, hidup tanpa dibayangi tanggung jawab. Tidur identik dengan tidak sadar. Tidak sadar akan apa yang berada di luar dirinya, dan tidak sadar tentang dirinya. Seperti level kehidupan benda mati. Maka kita jangan terpenjara dalam kehidupan benda mati.
Kita harus melampauinya dengan mengurangi tidur. Salah satu cara mengurangi tidur adalah dengan terjaga di malam hari. Mendirikan shalat tahajud. Luangkan waktu untuk menjalin konektivitas dengan Allah Swt. Rasulullah menyampaikan, “Bagiku waktu bersama Allah”. Tidak boleh ada siapapun yang mengganggu kebersamaan dengan Allah. Shalat malam sangat efektif menjaga hubungan dengan Allah, sehingga jiwa diterangi kesadaran ilahiyah. Tentu saja mewariskan ketenteraman dan kedamaian di dalam jiwa.
2.Mengurangi makan-minum
Hawa nafsu cenderung ingin makan minum. Ketika hawa nafsu dikuasai keinginan makan dan minum maka seseorang telah mengidentikkan dengan tumbuhan. Memang tubuh hanya menyerap makan dan minum saja. Seolah ketika makan dan minum tergenapi, seseorang merasa pasti terpuaskan.
Nafsu mungkin terpuaskan, tapi bersifat sementara. Setelah perut kekenyangan, dan desakan ke belakang makin kencang, tentu saja nikmatnya makanan sudah hilang. Sementara orang yang mengurangi makan dan minum, atau berpuasa, insya Allah perutnya akan dipenuhi dengan cahaya. Ketika perut (hati) dipenuhi dengan cahaya, maka segala yang mengalir melalui lisan akan mengandung hikmah, mewariskan pencerahan pada orang lain.
3.Mengurangi Pergaulan Duniawi
Hawa nafsu cenderung ingin terhubung dengan keramaian. Tidak suka kesendirian, apalagi kesepian yang mencekam. Tidak bisa berlama-lama di rumah sendirian. Dia selalu tertarik ke luar. Pergaulan duniawi identik dengan kehidupan hewani. Dia selalu keluar kandang sejak pagi hingga nyaris memasuki waktu malam, baru hewan itu pulang ke kandang.
Orang yang terikat dengan pergaulan duniawi menganggap seolah kebahagiaan itu tercecer di luar. Karena itu, maka kita coba melawan hawa nafsu dengan cara mengurangi pergaulan duniawi. Biasanya disebut uzlah, sembari mengiringi dengan zikir pada Allah. Ketika orang selalu terhubung kepada Allah, maka dia terus mencerap kebahagiaan. Karena sumber kebahagiaan adalah keterhubungan dengan Allah. Semakin kuat hubungan dengan Allah, maka makin kuat akses kita terhadap kebahagiaan.
Dikala orang telah menemukan kenyamanan bersama Allah, jiwanya telah bersih dari segala penyakit hati, maka bangunlah hubungan dengan sesama disertai niat untuk mendulang ridha Allah. Sehingga semua interaksi yang dibentuk tidak berorientasi duniawi, melainkan orientasi akhirat, bahkan meraih kedekatan dengan Allah.
Dunia tidak terkait dengan obyek, tetapi terkait dengan orientasi yang dibangun di pikiran. Memang, kita memeroleh sesuai dengan orientasi yang tumbuh dari hati. Sebuah amal yang terlihat dunia, seperti bekerja di kantor, akan tetapi didasari niat untuk memberi nafkah yang halal buat keluarga, dengan niat bisa membantu banyak orang, maka yang dilakukan disebut amal akhirat. Sebaliknya, meski amal itu terkemas ukhrawi, akan tetapi diiringi orientasi duniawi, mengumpulkan kekayaan dan menyusun kebanggaan duniawi, maka pekerjaan itu bernilai duniawi.
4.Mengurangi Berbicara
Tentu kita terbawa oleh nafsu berbicara. Bukankah semua orang pengin memberitahukan akan dirinya, akan kemampuan dirinya, akan kehebatan dirinya. Dia tak bisa mempromosikan itu semua kalau tidak berbicara. Karena itu, kebiasaan berbicara perlu dikendalikan untuk demi membersihkan hati.
Kebiasaan berbicara identik dengan kebiasaan manusia. Ketika orang banyak berbicara cenderung hanya mengundang banyak dosa. Karena itu, berbicaralah kalau penting dan yang penting saja. Kalau tidak penting, dan tak ada gunanya, tentu diam lebih baik. Ketika kita sudah terbiasa diam, maka kita akan mengundang banyak hikmah memasuki relung hati kita. Insya Allah.
Ketika Anda melakukan mujahadah, Anda terus menembus berbagai kebiasaan hawa nafsu. Nafsu terbiasa tidur, maka kurangi tidur. Dengan demikian, Anda telah melampaui kebiasaan benda mati. Nafsu suka makan dan minum, maka Anda kurangi makan dan minum. Dengan begitu, Anda telah melampaui kebiasaan tumbuhan. Nafsu suka keramaian atau pergaulan duniawi, maka kurangi pergaulan duniawi dengan uzlah. Dengan begitu, Anda telah melampaui kebiasaan hewan. Terakhir, nafsu suka berbicara, maka kurangi kebiasaan berbicara dengan diam. Dengan begitu, Anda telah melampaui kebiasaan manusia.
Anda telah mendekati kebiasaan malaikat. Malaikat tidak tidur, Anda kurangi tidur. Malaikat tidak makan-minum, Anda kurangi makan minum. Malaikat tidak pergaulan duniawi, maka Anda kurangi pergaulan duniawi dengan uzlah. Malaikat tidak suka berbicara, kita kurangi berbicara. Ketika kita sudah berhasil mengendalikan hawa nafsu, maka kita terbawa pada kehidupan malaikat disebut insan malaki. Mudah sekali kita mengakses kebahagiaan.
Yang kedua, adalah mengendalikan pikiran. Mengendalikan hawa nafsu sudah sulit, dan lebih sulit lagi mengendalikan pikiran. Karena kita selalu terdorong menilai segala sesuatu yang terlintas di hadapan kita. Bagaimana kita menjaga pikiran selalu positif melihat segalanya. Ketika bisa menilai positif, insya Allah kebahagiaan yang akan mendatangi kita. Sebaliknya, kalau kita menilai negatif, maka derita yang menembus dada kita. Jika Anda bisa mengendalikan pikiran, maka Anda akan selalu berada di ruang berlimpah kebahagiaan.
0 comments