Merasakan Allah Selalu Hadir
25 May 2024
Sebuah kisah
apik, seorang raja yang dikudeta oleh anak buahnya. Dia dan seluruh anggota keluarganya
diusir dengan cara tidak terhormat. Dipaksa keluar dari kerajaan. Mereka pun berlari
menuju pegunungan. Mereka menepi dan menyepikan jiwanya. Memasuki dunia tafakur
yang mendalam. Setiba di puncak gunung, pandangan raja tertumbuk pada keindahan
eksotis yang tergelar di hadapannya. Mendadak seluruh rasa lelah sirna, kesedihan
luruh berganti kebahagiaan, dan segala kegelisahan meleleh menjadi ketenangan
yang tak tergambarkan. Melihat wajah suaminya tampak sumringah, kesedihan tak sedikit
pun berjejak di wajahnya, ada rasa heran menyusup di hati permaisuri.
“Wahai, kanda,
apa yang membuatmu begitu bergembira”, tanya si permaisuri, “Bukankah kita baru
saja dikudeta, dan diusir dari kerajaan. Lalu harus tinggal terlantar di atas
gunung ini?”
“Wahai
istriku, apakah kau bergembira ketika melihat harta yang banyak? Pemandangan
yang indah? Dan hidup dengan bergelimang kemewahan?”, Raja merepon dengan
pertanyaan.
“Tentu saja,
iya, kanda”, jawab istrinya, singkat.
“Begitu pula
dengan saya. Saya menemukan keindahan dari ciptaan Allah yang terbentang luas.
Kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Bukan hanya itu, saya merasa sedang dibersamai
selalu oleh-Nya. Itulah yang membuat kebahagiaan membuncah dari dadaku”.
Apapun yang menguasai hati kita, dan selalu membawa kita ingat—sadar akan kehadirannya—itulah kekasih kita. Kecintaan kita. Jika hatimu dipenuhi dengan harta benda, berarti kecondongan cintamu pada harta benda. Begitu juga, ketika hatimu dipenuhi dengan Allah, maka segala sesuatu selalu kau kaitkan dengan Allah Swt. Barangsiapa mencintai sesuatu, niscaya banyak ingatnya.
Begitu juga, ketika hatimu telah
dipapar cinta pada Allah, maka kau hanya mengingat Allah dalam setiap keadaan. Seperti
Rasulullah Saw selalu mengingat Allah dalam setiap keadaan. Kenyataan seperti
cermin. Dan kita melihat Dia di setiap cermin yang sedang kau pandangi. Kapan
bisa berpaling dari Allah? Sementara Dia selalu hadir di setiap kenyataan yang
disaksikannya.
Kenyataan
apapun yang menimpa diri kita selalu mengingatkan kita pada Allah. Tidak lagi
berhenti pada masalah. Bukankah yang membuat kita menderita, karena perhatian
kita berhenti pada realitas, tidak berlanjut pada upaya menyadari siapa yang
merancang dan menyajikan realitas tersebut. Sosok yang selalu mengingat Allah
di setiap kenyataan sudah barang tentu diliputi kebahagiaan, karena selalu
bersama dengan yang dicintainya setiap saat. Apalagi Dia sebagai solusi dari
bermacam masalah yang dihadapi.
Tak jarang,
orang didera penderitaan tersebab berhenti pada masalah yang dihadapi.
Pikirannya tenggelam dalam pusaran masalah. Jika dia tidak terima dan
memberontak pada masalah, alih-alih membuatnya bisa melampaui masalah, malah
makin terperosok dalam masalah. Seperti orang yang terperosok di lumpur yang
dalam. Dengan memberontak, bukan membuatnya keluar dari tumpukan lumpur, malah
menemukan kakinya semakin terjerembab ke dalam lumpur.
Kenyataan ini
tentu tak dialami orang yang sedang “hanyut” dalam cinta pada Allah. Kenyataan
dipandang sebagai sarana—bridge—yang menghubungkannya dengan Allah. Dikala
dia ditumpahi nikmat demi nikmat, lalu ingat pada Allah. Kasih sayang Allah
dirasakan sedang membanjiri dirinya. Dia benar-benar merasakan betapa besarnya
kasih sayang Allah padanya. Ketika orang senantiasa merasa diliputi kasih
sayang-Nya, tentu kebahagiaan akan senantiasa meliputi dan mengiringi dirinya.
Kasih sayang Allah tak bersyarat. Menyadari bahwa kebahagiaan yang kita unduh dari-Nya
menjadi tak terbatas.
Selagi kita memahatkan mindset bahwa Allah Maha Belas Kasih pada hamba-hamba-Nya, maka kebahagiaan selalu menyertai kita setiap saat. Nikmat yang diterima tidak lagi dipandang berasal dari usaha yang dia jalani, melainkan dipandang murni rahmat dari Allah. Karena kita melihat kenyataan, banyak orang yang telah berusaha keras, namun nikmat—terutama kebahagiaan—tidak juga mendatanginya.
Bahkan
dengan bertumpuknya nikmat yang dia peroleh, dia semakin terkatung-katung dalam
penderitaan. Seakan dia sedang digiring ke tempat toksik. Beracun. Pencapaian
bukan pengantar menuju kebahagiaan, melainkan seolah berperan sebagai
pengiring menuju penyembelihan jiwanya. Tak ayal, kesuksesan yang diperolehnya
membuat dia mengerang kesakitan. Semakin meningkat kesuksesannya, berakibat
makin dalamnya penderitaan yang dialami.
Agar kita tak ditikam penderitaan dengan nikmat, atau pencapaian yang kita raih, maka kita selalu menyadari bahwa segala macam nikmat yang kita peroleh berasal dari Allah. Memancar dari mata air kasih sayang-Nya. Kebahagiaan kita mengembang bukan semata-mata karena nikmat yang kita peroleh, tapi kita merasakan vibrasi kasih sayang Allah yang meresap dan menyusup di relung-relung jiwa.
Cobalah
Anda renungkan, serangkaian bentuk kasih sayang Allah—berupa nikmat—yang telah
dipersembahkan pada Anda. Dari sejak kau lahir ke bumi hingga sekarang. Anda
sanggup menghirup udara yang Allah berikan secara gratis, dan sekian nikmat
lainnya yang mengiringi kehidupan. Merenungi nikmat yang mengalir dari sekian
fase yang kita jalani, tentu saja akan membuat kita menangis bahagia. Sembari
menyadari bahwa Allah tak pernah meninggalkan kita selamanya.
Intinya, kalau
Anda mengingat Allah ketika diberi nikmat, maka kebahagiaanmu terus terawat dan
terpelihara. Sekali lagi, yang membikin Anda bahagia bukan nikmat tersebut,
akan tetapi bahagia diperoleh karena kau mengingat Allah melalui nikmat yang
mengalir. Jika Anda absen dari mengingat Allah dikala mendapatkan nikmat
tersebut, nikmat itu mungkin tak mencurahkan kebahagiaan. Akan tetapi
meninggalkan penderitaan. Mengapa? Mungkin saja, tiba-tiba Anda terdorong
memeroleh pencapaian yang lebih besar. Rasa syukur pun menyusut. Bahkan masih
saja meninggalkan keluhan, karena tergerak membandingkan dengan orang yang
telah memeroleh pencapaian yang lebih hebat.
Begitulah
sikap kita ketika mendapatkan nikmat, kebahagiaan luar dan dalam sama-sama diraih.
Karena bungkusnya nikmat, yang tertinggal di hati juga adalah rasa syukur yang
membuncah. Lalu bagaimana ketika ditimpa musibah. Musibah tidak serta-merta
memasukkan seseorang di ruang penderitaan. Hanya orang yang mengeluh, kecewa,
dan frustasi mungkin saja terhempas dalam kesedihan mendalam.
Tentu berbeda
dengan orang yang telah dikuasai cinta pada Allah. Musibah sama sekali tidak
menjauhkan seorang hamba dengan Allah. Malah semakin bertambah dekat dengan
Allah. Datangnya musibah untuk meningkatkan rasa butuh kepada Allah. Jiwa ingin
terus bergelayut pada Allah. Seperti seorang anak yang dimarahi oleh ibunya.
Tidak serta merta anak itu lari menjauh dari ibunya, malah dia merengek sambil
mendekat dan merangkul ibunya. Dia tak ingin sama sekali terpisah dari ibunya.
Begitu juga
seorang hamba yang telah jatuh cinta pada Allah, maka dia tidak akan pernah mau
terpisah dari Allah meskipun musibah menderanya bertubi-tubi. Seperti orang
yang sedang dihantam angin badai yang sangat kencang, lalu dia berpegangan
dengan tiang besi yang sangat kukuh. Semakin kencang angin itu berhembus, dia
pun semakin kuat berpegangan pada tiang besi tersebut. Begitu juga, ketika kita
diterpa musibah, tidak kemudian melepas pegangan kita pada Allah. Malah semakin
erat kita berpegangan pada Allah. Bukankah hanya orang yang berpegangan pada
Allah insya Allah akan diberi keselamatan dalam perjalanan hidupnya.
Agar musibah
juga memantik kebahagiaan di hati, maka kita harus memiliki sudut pandang yang
istimewa terhadap musibah. Kita meyakini bahwa musibah telah Allah rancang
dengan perencanaan yang apik dan rapi, Allah ramu dengan ilmu-Nya yang luas,
dan musti meninggalkan makna-makna yang ikut mencerahkan batin.
Musibah
meneguhkan keyakinan bahwa manusia lemah, tidak bisa apa-apa tanpa pertolongan
Allah. Artinya, musibah memandu manusia untuk merasakan kehambaan-Nya di sisi
Allah. Timbul kesadaran yang kuat untuk terus-menerus bergelayut pada Allah
tanpa jeda. Ketika kita bergelayut, tentu saja ada kebahagiaan tak terlukiskan
berhamburan di ruang batin kita. Memang, dengan bersandar (tawakkal) pada
Allah, seseorang tidak hanya kuat, tapi bisa menambang pelajaran yang bermakna
dibalik kenyataan yang dialami.
Bukan hanya pelajaran yang didapatkan, tapi dia merasakan kehadiran Allah. Apakah bisa dipisahkan antara orang dan perbuatannya? Tentu saja tidak bisa dipisahkan. Demikian juga takdir—sebagai manifestasi dari perbuatan Allah—tak bisa dipisahkan dengan Allah. Dikala kenyataan tiba-tiba menghempas kita, menandakan kehadiran Allah dengan sifat Jalal-Nya. Keperkasaan-Nya. Bagi orang yang mengenal Allah, tak lagi lalai dengan perbuatan. Bahkan, dia tak lagi memerhatikan bentuk takdir yang disajikan di hadapannya. Fokus perhatiannya tertuju pada kehadiran Allah.
Karena itu, dia akan terus menerus bisa mereguk
kebahagiaan. Bukan hanya ketika nikmat membelainya. Ketika dia dipapar musibah
juga dia merasakan kebahagiaan. Bukankah setiap kekasih rindu bertemu dengan
kekasihnya? Begitu juga orang yang arif billah setelah bertemu dengan Allah
melalui takdir yang disajikan di hadapannya. Karenanya mereka mudah bahagia
dalam setiap keadaan.
0 comments