Makna Dua Hari Raya
15 June 2024
Terpampang dua momen super-istimewa dalam hidup kita. Saking
istimewanya momen tersebut, tanggal peristiwanya, bahkan harinya dihelat dalam bentuk
tasyakuran, yang kemudian dikemas dengan tema ulang tahun. Yang pertama berupa nikmat
ijad (nikmat keberadaan), dan yang kedua berupa nikmat imdad
(penyempurna). Disebut juga nikmat tamami.
Apa dua momen super-istimewa yang kerap kita ulangtahuni? Yakni,
salah satunya adalah momen kelahiran, sebagai gerbang awal kita menjadi
penduduk bumi. Hadirnya kita ke bumi mengakibatkan kita bisa menikmati berbagai
nikmat lain yang tersebar di bumi. Seluruh indra mencerap kepuasannya masing-masing,
bermula dari anugerah bernama hidup. Hidup disebut sebagai nikmat ushul
(pokok). Sementara yang lainnya sebagai nikmat furu' (cabang).
Apalagi momen istimewa yang Allah curahkan manusia selain
kelahiran? Peristiwa superistimewa itu bernama pernikahan. Mengapa ikatan suci
laki-perempuan melalui pernikahan disebut momen superistimewa? Karena
pernikahan dianggap sebagai nikmat penyempurna dari semua nikmat. Kalau kita
mengupas beberapa nikmat, maka ujungnya adalah pernikahan. Pertama, Allah
memberikan nikmat hidup, lalu nikmat rezeki, nikmat akal, nikmat agama, lalu
nikmat pernikahan. Tentu saja pernikahan telah membungkus beberapa nikmat sebelumnya,
yakni nikmat rezeki, akal, dan nikmat agama.
Melalui pernikahan, manusia tak hanya mencerap perasaan tenang, akan
tetapi juga mereguk kepuasan batin yang tak bisa digambarkan.
Dua momen superistimewa tersebut menggambarkan tentang episode
perjalanan spiritual manusia yang ditandai dengan adanya dua hari raya. Yakni
Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha (Idul Qurb). Ketika seseorang ber-Idul
Fitri, sejatinya menandai sebuah kelahiran kembali sebagai manusia ruhani yang
suci dari bermacam penyakit hati. Iya, ketika orang telah terbebas dari
penyakit hati, maka mendadak jiwanya berhari raya. Larut dalam ketenangan yang
tak terusik. Dia telah berhasil melampaui gelombang kehidupan yang berubah. Dia
menyelam ke dasar lautan jiwanya yang tenang.
Tentu saja bukan hanya tenang atau damai yang dirasakan, tapi juga
ditandai mekarnya bunga cinta dari tanah hatinya. Cinta kepada Allah yang
diekspresikan dengan menyebarnya kasih sayang pada sesama. Kasih sayang pada
sesama ditampakkan dengan suka memberi dan memaafkan. Jiwa yang berhias nilai-nilai
begini yang akan mencerap kedamaian. Karena cintanya tak bersifat individual,
bahkan meruntuhkan dinding individualisme, lalu menyebarlah cinta pada sesama.
Makin disebar, alih-alih cinta menyusut apalagi mengering, justru makin
melimpah. Jika cinta telah mengisi relung hati, jiwa akan “berpesta” setiap
hari.
Jika orang ber-Idul Fitri dialiri rasa damai, lalu vibrasi rasa
seperti apa yang dialami oleh orang yang sedang ber-Idul Qurb? Hari Raya Idul
Qurb sebagai ekspresi pengalaman diri yang bebas dari keakuan. Dia tidak merasa
sebagai eksistensi mandiri, tetapi eksistensi yang bergantung kepada Yang Maha
Ada. Diri manusia hanya becoming, sementara Allah adalah being.
Manusia hanyalah wujud mumkin, sementara Allah adalah wujud mutlak.
Ketika lepas keakuan, maka dia merasakan diliputi oleh Aku Universal. Aku
Universal melingkupi semuanya tanpa sekat. Aku individual hanya sebentuk
ruangan, sementara Aku Universal semacam ruang yang meliputi segalanya. Tanpa
batas. Menembus semua batas.
Saya teringat dengan kisah apik fabel tentang seekor anak ikan
bersama induknya.
“Wahai ibu, bisakah ibu menyampaikan kepada saya, dimana lautan
berada?”, si anak ikan bertanya pada induknya.
“Wahai anakku, lautan itu terbentang di bawah kita, berada di atas
kita, bahkan berada di samping kanan kiri kita. Bukan hanya itu, kita diliputi
oleh lautan”, jelas sang induk.
Begitulah cara menjelaskan tentang Allah. Allah tak berjarak dengan
kita. Dia seperti lautan yang meliputi kita. Kemana saja kita mengarahkan
pandangan selalu ada Dia. Tak pernah terpisah dari Dia meski sejenak saja.
Sosok yang telah mengalami luruhnya keakuan, dia sudah merasa
menjadi bayangan Allah. Seperti seorang istri yang merupakan bayangan bagi
suami. Istri mengikuti kemana suami bergerak.
Seorang hamba yang sudah lebur keakuannya di hadapan Allah, tak
lagi berselisih dengan Allah. Bahkan sudah merasa tak bisa berpisah dari Allah
sampai kapanpun. Orang seperti ini telah menemukan dirinya satu dengan seluruh
kehidupan. Sosok ini telah menggapai rasanya makrifatullah. Terbebas
dari kelalaian. Setiap kebaikan bukan lagi dianggap untuk dirinya, semuanya
dari Allah dan untuk Allah. Tidak ada lagi ruang untuk mengklaim setiap
perbuatan yang berasal darinya sebagai perbuatannya. Semuanya berasal dari
Allah, dan bermuara kepada Allah.
Ketika orang telah mengalami hakikat Idul Fitri, ketika di akhirat, kelak dia masuk surga. Sementara orang yang mencapai pengalaman Idul Qurb, dia akan berpeluang untuk memandang Wajah Kekasih Sejati, yakni Allah Swt. Dia juga berjumpa dan menatap Wajah-Nya sebagai kenikmatan puncak di surga. Jika orang hendak meraih surga, dia harus mengorbankan keinginan-keinginannya. Berfokus memperoleh apa yang diinginkan Allah. Mendapatkan ridhanya Allah. Sementara orang yang hendak mendapatkan Allah, makrifatullah di dunia, sekaligus mendapatkan akses untuk berjumpa dengan Allah kelak di surga, adalah dengan mengorbankan keinginan dirinya sendiri.
Ekspresi Hari Raya
Jika telah sampai pada hari raya Idul Fitri, kita dianjurkan untuk
menyebarkan permaafan pada siapa saja yang pernah bersalah pada kita. Karena
selagi hati menyimpan kekesalan dan rasa benci pada orang lain, seseorang masih
terhalang untuk merasakan kebahagiaan. Berbagi dan memaafkan kesalahan orang
lain adalah sebuah ekspresi yang meluap dalam batin kita. Biasa kita kenal “minal
aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin”.
Adapun ekspresi yang disebarkan ketika Idul Qurb adalah ucapan terima kasih pada semua orang yang telah terlibat mendekatkan kebaikan pada kita. Karena kita meyakini bahwa kita terhubung dengan seluruh jaringan semesta. Banyak orang yang berjasa terhadap kehidupan, baik yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Keluarga terdekat, kita tahu, mereka telah banyak menyumbang terhadap keberlangsungan hidup kita. Seorang wanita yang berada di samping kita, dialah seorang ibu, yang telah menjadi perantara lahirnya kita ke dunia. Seorang wanita yang selalu mendampingi kita, itulah istri kita. Dia sosok yang telah meneguhkan eksistensi kita.
Kehadirannya telah menganugerahi kita status sebagai suami. Pun dari anak yang dilahirkan, kita pun mendapatkan status sebagai ayah. Dari seorang anak, kita juga mendapatkan sumbangan eksistensi. Bagaimana dari seorang anak, kita telah berlatih untuk bersabar, menyayangi seseorang tanpa syarat dan tanpa batas. Bayangkan, itu terkait dengan orang-orang yang jelas kontribusinya terhadap kita. Lebih banyak lagi, orang yang tidak kita ketahui, dan mereka telah berkontribusi terhadap berjalannya kehidupan kita. Bayangkan baju yang membalut tubuh kita.
Kira-kira
melibatkan berapa orang untuk sampainya baju di hadapan kita, hingga kita
kenakan? Dari petani kapas, tukang pintal benang, tukang kain, dan penjahit
baju, dan penjual baju. Berapa mata rantai manusia yang perlu kita lewati untuk
sampainya baju pada kita. Itu masih sebatas baju. Bagaimana makanan yang
terhidang di hadapan kita? Tentu saja banyak tangan yang terlibat. Tapi kita
tidak mengetahui. Karena itu, kita perlu mengucapkan terima kasih pada seluruh
kanal sampainya anugerah Allah pada kita.
Ketika kita memandang orang dengan jiwa terima kasih tentu saja, kita akan tergerak untuk berlaku baik pada siapapun. Dan setiap kita ingin melakukan yang terbaik, apalagi mengeksekusi keinginan itu dalam tindakan nyata, maka kita akan dilimpahi kebahagiaan dan kepuasan batin. Mereka telah berada di zona syukur yang tidak pernah surut. Semakin bersyukur, semakin berlimpah kebahagiaan yang mendatanginya.
0 comments