Muhasabah Meraih Qurbah
06 July 2024
“Wahai orang-orang beriman! Bertakwalah
kepada Allah dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh,
Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. QS. Al-Hasyr [59]: 18
Bagi orang yang telah tenggelam dalam
lautan cinta, tidak ada kebahagiaan yang dirasakan melebihi dekatnya jiwa pada
kekasih. Semakin dekat dengan kekasih, maka semakin membanjir kebahagiaan di
hati. Selain itu, makin besar cintanya, makin besar juga pula ketakutan
menguasai jiwanya. Takut jika ada perkara yang memancar darinya yang membuat
mata kekasih tidak berkenan.
Terkait ini, Jalaluddin Rumi
memvisualisasikan seperti pengantin perempuan yang telah menghias dirinya
dengan sempurna di kamar hias. Setelah dihias dengan sangat cantik dan molek,
sebentar lagi dia akan diperjumpakan dengan kekasihnya. Meski dia telah dihias
dengan sangat elegan dan sempurna, mengundang kagum orang-orang sekitarnya atas
kecantikan yang membalut, diam-diam di hatinya menjalar kekhawatiran, “jangan-jangan
ada sebagian penampilannya yang tak berkenan di mata kekasih”.
Bagi orang kebanyakan, penampilan telah
sempurna dan memukau semua mata yang melihatnya. Akan tetapi, ada sedikit saja
yang tak sempurna, maka tentu saja akan jadi penghalang dapat ridha sang
kekasih. Karena tak ada artinya kehidupan yang dijalani dengan berbagai macam
capaian bahkan mendulang pujian dari banyak orang tanpa mendapatkan ridha
kekasih. Tanpa ridha kekasih, kehidupannya terasa hampa.
Begitu juga ketika seorang hamba telah
tenggelam di palung cinta pada Allah. Dia meyakini bahwa Allah Maha Sempurna,
mutlak kesempurnaan-Nya. Kesadaran Allah yang Maha Sempurna—sebagai Zat yang
dicintainya—diam-diam di hatinya mengalir perasaan betapa hina dirinya, betapa
banyak cacatnya, betapa bejibun kekurangannya, dan begitu menggunung
dosa-dosanya. Meski dia telah berusaha membersihkan diri sebersih-bersihnya
dengan taubat nasuha, hatinya masih disergap oleh perasaan bagaimana jika ada
dari sekian amalnya yang justru mengundang murka Allah. Atau menghalangi
datangnya ridha Allah.
Sosok yang telah mencintai Allah dengan benar, dia tidak pernah merasa sempurna daripada siapapun. Apalagi merasa paling mulia. Dia selalu merasa punya kesalahan yang mendorongnya selalu minta maaf Allah, menyadari punya dosa yang harus ditobati, merasa punya sifat-sifat kotor yang kudu dibersihkan. Karena dia sangat tekun dan ketat dalam muhasabah diri.
Lebih baik dia sekarang merasa dibaluri kotoran lalu sangat giat
membersihkan, ketimbang kelak ketika di hadapan Allah, berlumur dosa dan
kesalahan. Hisablah sebelum dihisab sebagai panduan untuk terus membenahi diri
dari waktu ke waktu.
Muhasabah sebagai sebuah cara untuk membawa Anda makin dekat dengan Allah. Didorong oleh tekad yang kuat agar hidup sejalan dan selaras dengan Allah. Bukankah ketika senantiasa sejalan dengan Allah, hidup Anda akan berisi kebahagiaan? Sebaliknya, ketika kehidupan Anda berseberangan dan bertentangan dengan Allah, tentu Anda telah mengiringi hari-hari dengan penderitaan.
Jika Anda tidak selaras dengan seseorang, derita mungkin hanya
didapatkan ketika bertemu dengan orang bersangkutan. Atau tiba-tiba batang otak
Anda mengingatnya, maka derita terus menghajar Anda. Namun, kalau Anda tak
selaras dengan Allah, Anda akan terus didera derita. Karena Anda akan selalu
bertemu Allah melalui takdir yang datang silih berganti dan terus menyapa.
Kalau Anda ingin hidup selaras dengan
Allah, maka pintu awal yang kudu Anda masuki adalah bertobat. Bertobat diawali
kesadaran betapa banyak dosa yang membelenggu jiwa. Lalu hati tergerak untuk
kembali kepada Allah, sembari membersihkan dosa-dosa yang melekat di dinding
batin Anda. Tobat menggambarkan sebuah pengakuan akan dosa yang Anda perbuat.
Ketika Anda telah mengakui dosa, berarti Anda mau bertobat atau kembali. Siapa
yang mau kembali kepada Allah, maka dia akan disambut dan didekap oleh Allah
dengan penuh kasih sayang.
Saya teringat kisah Bisri al-Khafi.
Semula dia dikenal sebagai pemabuk, tenggelam dalam tumpukan kemaksiatan. Hingga
tibalah waktunya, dia mendapati selembar kertas yang jatuh ke tanah. Dia
memungutnya, lalu membacanya. Tersentak sekaligus tersentuh hatinya, karena dia
sedang membaca kata Allah tertulis di kertas itu. Dia bersihkan kertas itu,
sehingga dipastikan tak ada lagi kotoran yang melekat. Tak berhenti di situ,
dia menyemprotkan wewangian pada kertas itu, lalu diletakkan di tempat yang
paling tinggi daripada yang lain.
Dengan asbab itu, ada seorang bermimpi
bahwa Bisri al-Khafi mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah karena telah
memuliakan nama-Nya. Mimpi ini disampaikan pada Bisri al-Khafi, sehingga dia
merasa sangat terhormat, bagaimana dia yang ahli maksiat, masih dipandang oleh
Allah. Bahkan Allah sematkan kemuliaan. Oleh karena mendengar mimpi seseorang
tersebut, dia kemudian bertobat pada Allah. Dia meninggalkan segala perkara
yang terkait dengan kemaksiatan. Dia benar-benar bersimpuh di hadapan Allah,
sembari menjadi kekasihnya.
Semenjak itu, Bisri al-Khafi telah
menjadi kekasih Allah. Dia telah berpaling dari segala macam gemerlap duniawi.
Dia fokuskan hidupnya untuk mengabdi kepada Allah.
Tobat itu luar biasa. Seperti orang
tersekap di ruang yang gelap seribu tahun, lalu dia datangkan cahaya ke ruangan
tersebut, mendadak seluruh kegelapan yang sangat lama menguasai ruang itu memudar,
terusir oleh karena menguarnya cahaya di ruang itu. Sebanyak apapun dosa Anda,
jangan pernah berhenti untuk bertobat pada Allah. Jika Anda merasa dosa Anda sangatlah
besar, maka yakinilah pengampunan Allah jauh lebih agung dan lebih besar
daripada dosa Anda.
Tobat ini tidak hanya Anda ungkapkan
ketika Anda merasa melakukan dosa. Bahkan ketika Anda tidak merasa punya dosa,
tetaplah bertobat pada Allah. Dikhawatirkan ketika Anda tidak merasa berbuat
dosa, justru Anda sedang terjebak dalam dosa yang lebih besar. Dosa apa? Dosa
kesombongan. Bukankah merasa hina oleh karena dosa lebih baik daripada orang
yang merasa mulia oleh karena ketaatan yang dilakukan?
Sebagian ulama menyampaikan bahwa tobat kita masih membutuhkan tobat lagi. Mengapa? Karena boleh jadi, tobat kita belum bersungguh-sungguh kepada Allah. Istighfar yang kita langitkan masih terkesan formalitas. Tidak benar-benar kita hayati dengan sungguh-sungguh. Tidak disertai rasa bersalah.
Muhasabah
Anda perlu melakukan muhasabah. Luangkan waktu untuk menelusuri diri sendiri. Apa saja yang dilakukan selama ini. Menakar dan mengukur diri bisa dilakukan setelah Anda memiliki ilmu. Karena tanpa ilmu, Anda tidak memiliki timbangan amal (mizanul amal), apakah baik atau buruk. Anda—lalu—hanya berbuat dengan menggunakan timbangan dzan.
Pertama, Anda jadikan al-Qur’an sebagai rujukan. Apakah amal Anda baik atau
tidak, Anda ukur dengan al-Qur’an. Kita tidak berhenti hanya pada membacanya,
tapi sampai pada menggali dan menyerap pesan dari ayat al-Qur’an yang Anda baca.
Setelah Anda menangkap pesan yang disampaikan, selanjutnya Anda mengukur diri, apakah
sudah sejalan dengan pesan tersebut, atau ternyata berkebalikan.
Dikala menemukan kehidupan sejalan dengan al-Qur’an, tentu Anda bersyukur. Sementara jika didapati bertentangan dengan al-Qur’an, segera Anda tobati, disertai niat merubah arah dan langkah menuju yang lebih baik. Memang media muhasabah yang terbaik adalah al-Qur’an. Bayangkan, kalau Anda bisa mentafakuri ayat-ayat yang tersurat dalam al-Qur’an, Anda tidak hanya menangkap kata-kata, tapi disana mengundang cahaya yang menerangi hati.
Anda tak pernah tahu, ayat apa yang bisa membuat hati tersentuh,
lalu berubah. Ketika membaca al-Qur’an, apalagi merenunginya, Anda sedang
mendengarkan Allah berbicara pada Anda. Tidak ada nasihat yang paling menyentuh
melebihi daripada Allah.
Muhasabah dengan mengingat kematian.
Tiada yang paling dekat daripada kita melebihi kematian. Suatu kesempatan terjadi
perbincangan antara guru dan muridnya.
“Apa menurut Anda yang paling dekat,
dan apa yang paling jauh?”, sang guru bertanya.
Tak ada satu pun murid yang sanggup
menjawabnya. Mereka terdiam.
“Yang paling dekat dengan kita adalah
kematian. Sementara yang paling jauh adalah masa lalu”, begitulah sang guru
menjawab sendiri pertanyaannya.
Kematian seolah berada di pelupuk mata,
sehingga Anda terus membenahi diri untuk menyiapkan kematian. Biasanya, kalau Anda
mengingat kematian, Anda bisa berlaku lebih jujur terhadap diri sendiri.
Kejujuran akan memandu untuk menggapai kebenaran. Kematian adalah sebuah
kepastian atau kebenaran yang tak bisa diragukan oleh siapapun. Bahkan, orang
tak beragama sekalipun tak bisa mengelak dari kematian.
Dari kematian inilah Anda bisa
melakukan perenungan mandalam, apa yang sudah Anda persiapkan untuk bekal
setelah kematian. Bukankah orang-orang cerdas adalah orang yang muhasabah diri
dan beramal untuk mempersiapkan setelah kematian, sebagai sebuah episode perjalanan
yang panjang. Jauh lebih panjang daripada perjalanan yang Anda tapaki dalam
kehidupan dunia.
Dikala Anda sudah berada di jantung tafakur
terkait kematian, Anda tak lagi memikirkan aib orang lain, tapi yang Anda telisiki
adalah aib Anda sendiri. Sepanjang perjalanan perenungan, lalu Anda menemukan
aib sendiri, Anda menghapusnya dengan istighfar, berikut dengan pertobatan
mendalam. Anda berjalan menuju kemurnian jiwa.
Muhasabah yang terbaik dilakukan
setelah melakukan shalat malam yang dipungkasi dengan shalat witir.
Merenungi diri akan membersihkan diri, lalu kita akan sangat sensitif pada perbuatan dosa. Seperti cermin yang bening, sangat sensitif ketika ada kotoran yang menghinggapi cermin hati. Selain itu, akan selalu tergerak untuk melakukan kebaikan, dan bahkan memandang wajah Allah di cermin hati yang bening dan indah. Wallahu A’lam bish showab.
0 comments