Tahukah Anda Tentang Hukum Pantul (Resiprokal)?
26 July 2024
Anda
mendulang pencapaian sesuai dengan yang Anda kerjakan. Anda akan memetik sesuai
dengan apa yang Anda tanam. Kita sering menyebutnya hukum tebar-tuai. Jika Anda
berbuat baik, maka balasan kebaikan—berlipat-lipat—akan mendatangi Anda.
Sebaliknya, jika berbuat jahat, maka balasan keburukan serupa-lah yang akan
mendatangi. Jika orang yang Anda “jahati” tidak sanggup membalas keburukan
Anda, Allah selalu punya cara dan celah untuk membalasnya. Tidak ada yang bisa
lari dan berlindung dari hukum semesta ini.
اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْۗ وَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ
"Jika kamu berbuat baik, maka kamu berbuat
baik pada dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat maka (kerugian kejahatan)
untuk dirimu sendiri”. (QS. Al-Isra’: 7)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ اَسَاۤءَ فَعَلَيْهَاۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ
“Barangsiapa
yang mengerjakan kebajikan, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan siapa
yang berbuat jahat, maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan
Tuhan sama sekali tidak mendhalimi hamba-hamba-Nya”. (QS. Fushshilat: 46)
Bagaimana
seharusnya sikap yang dipancarkan ketika ada orang yang berbuat jahat pada
Anda?
Pertama, diamlah ketika orang berbuat jahat pada Anda. Berusaha tidak membalasnya. Ketika Anda diam, tidak bergeming serta tidak membalas keburukan orang tersebut, maka orang yang berbuat jahat akan mendapatkan pantulan dari perbuatannya sendiri. Seperti orang yang melemparkan bola ke dinding, maka bola itu akan kembali pada dirinya sendiri. Ketika Anda diam atas perbuatan orang yang berbuat jahat pada Anda, Anda akan selamat dari keburukan. Sebaliknya, kalau Anda membalas keburukannya, maka Anda berpeluang tersakiti oleh karena perbuatan buruknya.
Tidak
mengapa diri Anda disakiti, ketimbang berperan sebagai yang menyakiti. Tak
mengapa Anda dicela orang lain, asalkan Anda tidak pernah mencela orang lain.
Ketahuilah, orang yang kerap menyakiti orang lain menandakan jiwanya sendiri
sakit-sakitan bahkan babak belur. Sehingga dia mencari katarsis untuk meluapkan
rasa sakit yang dideritanya. Ketika kita menyelami ke kedalaman jiwanya, maka
vibrasi yang mengalir dari hati kita bukan kemarahan, tapi kasih sayang.
Ketika
Anda disakiti, lalu mencari korban untuk disakiti, berarti Anda telah
membiarkan diri Anda berada dalam jejaring orang yang sakit. Rasa sakit yang
dialirkan secara berantai. Akan tetapi, jika Anda memutuskan untuk tidak
menyakiti siapapun karena sadar bahwa Anda yang menerima perlakuan orang lain
dengan lapang dada, Anda tidak membiarkan luka itu makin dalam. Bahkan akan
mudah pulih. Bukan hanya itu, Anda telah memutus mata rantai orang yang
tersakiti. Anda tidak pernah mewariskan kesan negatif—menyakitkan—bagi orang
lain.
Orang
diam sulit ditebak langkah yang akan diambilnya. Tak jarang, orang diam, tapi
tiba-tiba berlaku jahat, ia akan memeroleh balasan yang sungguh sangat
menyakitkan. Namun, perkara ini tidak disarankan. Diam saja, karena hukum
semesta akan terus bergerak. Tanpa harus kita membalasnya, setiap perbuatan
akan selalu mengunduh balasannya masing-masing.
Diam
memposisikan diri bertahan. Tidak menyerang. Dikuatkan dengan kesabaran.
Bukankah kesabaran akan membuat orang selamat? Iya, ketika orang sabar, dengan
diam, insya Allah berlipat-lipat pahala akan didapatkannya. Bukankah sabar
adalah pahala tanpa batas? Cukup Anda tidak membalas, tidak mengeluh, dan terus
bertahan dengan kesabaran, maka Anda akan memeroleh pahala pasif. Anda tak
menyakiti orang lain, pun Anda tidak akan tersakiti. Ketika orang bersabar
dengan luka yang diderita, maka luka akan berubah menjadi cahaya yang menerangi
jiwa.
Kedua, memaafkan
dengan lapang dada. Sikap kedua ini tentu saja
lebih tinggi daripada yang pertama. Karena dia tidak hanya diam, tidak mau
membalas perlakuan buruk seseorang, tapi dia juga telah tergerak hati untuk
memaafkan. Memaafkan memang sulit, bagi sebagian orang, tapi dengan memaafkan, jiwa
kita akan sembuh dari rasa sakit, bahkan tumbuh menjadi lebih anggun. “Hak
orang yang meminta”, dawuh Guru saya, “adalah diberi. Sementara hak orang yang
melakukan kesalahan adalah diberi maaf”.
Kita disarankan menyediakan cadangan maaf pada siapapun yang berbuat salah pada kita. Ketika kita memaafkan, maka hati bukan hanya merasakan lapang, juga mendapatkan hembusan keteduhan dan kesejukan. Adalah seorang pemuda yang tekun istifadhah pada seorang guru. Ketekunan, kecerdasan, dan ketawadhu’annya membuatnya dipercaya oleh seorang guru untuk membadali ngaji sang guru. Dia pun melaksanakan perintah sang guru dengan mengaji sesuai dengan apa yang diterimanya dari sang guru.
Akan tetapi, ada orang yang menaruh iri terhadap
sang pemuda ini, lalu kemudian menghembuskan fitnah di sana-sini. Tentu saja,
meskipun dia diam, ada rasa marah yang berkecamuk. Setibanya di rumah, rasa
marah masih terus bergolak, lalu dia memutuskan untuk memaafkan tukang fitnah,
sembari dia sujud. Berserah diri pada Allah. Ketika beliau memaafkan dengan
sungguh-sungguh, jiwanya terasa sejuk. Nar (api) yang membara itu
bertransformasi menjadi nur (nur) yang menyejukkan.
Memaafkan bukan hanya membebaskan kita dari penjara jiwa, tapi juga menandakan datangnya pengampunan dan ridha Allah ke dalam kehidupan kita. Bukankah hanya orang yang punya yang bisa memberi? Sementara orang yang tidak punya apa-apa, tentu tak bisa memberi apa-apa. Bagi yang punya air bisa memberi air, bagi yang punya uang bisa berbagi uang.
Demikian juga, orang yang telah memperoleh pengampunan,
alias ridha dari Allah, yang mudah sekali memaafkan kesalahan orang lain.
Efeknya, dia akan selalu dibukakan kemudahan dalam mengarungi kehidupan.
Mungkin saja banyak masalah dan kendala yang dihadapi, tetapi semuanya bisa
dilewati dengan sangat mudah.
Ketiga, berbuat baik pada orang yang berbuat jahat. Pada level kedua, memaafkan orang yang berbuat salah, saya sendiri membayangkan betapa besar kualitas kebahagiaan yang dirasakan. Bahkan, kita yang menyaksikan adegan seperti ini menaruh rasa kagum yang luar biasa. Lalu, bagaimana rasanya kebahagiaan yang memenuhi hati orang selalu berbuat baik pada orang lain, tak peduli pada orang yang berbuat baik atau berbuat jahat? Tentu saja hatinya akan dipenuhi berlimpah-limpah kebahagiaan.
Dia seperti pohon yang tumbuh di pinggir
jalan, dan bergelantung di setiap rantingnya buah-buah yang ranum. Setiap orang
yang menyusuri jalan tersebut, melihat buah-buah yang menggantung. Sebagian
mereka usil melemparinya dengan batu. Kendati dilempar dengan batu, pohon
tersebut mempersembahkan buahnya. Membalas keburukan dengan kebaikan.
Seseorang yang hatinya telah berbuah kebaikan (ihsan) selalu mempersembahkan kebaikan ke siapa saja, apakah pada orang yang berbuat baik atau yang berbuat jahat. Ketika orang telah sampai maqam ini, berarti dia telah sampai tujuan, jiwanya dekat dengan Allah. Kedekatan dengan Allah bukan terkait dengan kedekatan fisik, tapi kedekatan dalam akhlak. Artinya, tanda seseorang telah dekat dengan Allah, dia akan berakhlak dengan akhlak Allah.
Siapa yang bisa berakhlak dengan akhlak Allah, tentu saja kebahagiaan akan selalu meliputinya. Bukan hanya itu, dia akan senantiasa dilimpahi keberkahan yang tak tiada henti-hentinya. Selain tak pernah memposisikan sebagai korban, dia terus memancarkan kebaikan dan kebahagiaan dimana saja. Dia seperti ruang, dia mendekap semuanya. Baik orang yang berbuat baik atau berbuat jahat, didekapnya dengan penuh kasih sayang.
0 comments