Mengubah Marah dengan Kedamaian
26 November 2024
Selalu saja ada pemicu ledakan kemarahan dimana-mana. Kemarahan seperti api yang membakar dan melalap sebuah bangunan. Pada mulanya—mungkin—hanya semacam percikan api, atau berasal dari puntung rokok yang dibuang sembarangan oleh seseorang. Namun tiba-tiba membakar dedaunan yang kering, menjalar ranting-ranting, dan bahkan melalap sebuah rumah.
Karena itu, di kala kemarahan sedang menjalar, segera kendalikan, dan matikan. Yakinilah kemarahan lebih banyak meninggalkan mudharat ketimbang manfaat. Bahkan kemarahan, sebenarnya, sebuah refleksi ketidakmampuan, kelumpuhan, dan kelemahan seseorang dalam mengendalikan hawa nafsu. Dia telah mengkonfirmasi dirinya sebagai budak hawa nafsu. Seolah ketika bisa menyemburkan kemarahan, seseorang merasa gagah dan hebat di hadapan orang yang jadi sasaran marahnya, padahal kalau mau direnungkan, sebenarnya dia berada di kondisi yang paling lemah. Dia telah dikunci dan terkalahkan oleh hawa nafsu. Siapapun yang kalah terhadap hawa nafsu dia telah membiarkan dirinya dijerat oleh penderitaan.
Dari mana kemarahan itu berasal? Biasanya, pemicu kemarahan itu berasal dari luar. Boleh jadi terpampang kenyataan atau situasi yang tidak diharapkan. Penolakan terhadap kenyataan yang terus bertumpuk-tumpuk, sementara kenyataan—yang dibenci—tidak kunjung mereda, maka kemarahan itu pun membubung tinggi, lalu bisa melalap seseorang. Ingatlah, di luar itu hanya sekadar pemicu. Dan kita sekali lagi tidak bisa mengontrol kenyataan yang menyebar dari luar. Namun kita diberi kuasa untuk memilih sikap atas kenyataan yang menyeruak dari luar.
Sebagaimana musibah berada di luar kontrol kita, dan sikap kita terhadap musibah berada di dalam kontrol kita. Selagi Anda berhasil mengontrol sikap yang dihadirkan terhadap musibah yang menyeruak, maka kita tetap membuat kondisi hati kita dalam bahagia. Kebahagiaan tak bisa diusik oleh kondisi yang menjalar dari luar. Iya, tidak ada siapapun yang sanggup menyakiti kita, kecuali kita mengizinkan disakiti.
Di tengah cuaca yang panas, bisa saja berdampak pada mudahnya hati diterpa panas. Mudah tersinggung. Ketika kemarahan sudah memuncak, bahkan muncul dorongan bukan sekadar memarahi orang, bahkan memukul, menyakiti, bahkan membunuh orang lain. Kemarahan merupakan ekspresi nafsu syabu’iyah. Apa nafsu syabu’iyah? Nafsu syabu’iyah adalah nafsu buas. Nafsu ini menemukan kepuasan ketika bisa menyakiti, mendalimi, dan mencelakai orang lain. Jika orang awam, setiap harinya, hanya berpikir, makan apa hari ini? Sementara orang yang telah dipenuhi nafsu syabu’iyah, dia berpikir keras makan siapa hari ini. Siapa ingin dicabik-cabik masa depannya.
Adalah seorang yang selalu pasang badan menantang setiap kebijakan yang ditelurkan seorang penguasa. Setiap langkah dan kebijakan yang diambil penguasa selalu disorotnya. Dia telah menempatkan dirinya sebagai oposisi. Tentu saja, pihak penguasa merasa terusik, terganggu, dan bahkan terancam pengaruhnya dengan sikap perlawanan yang dilakukan orang tersebut. Maka, si penguasa mengambil langkah-langkah yang terukur, terencana, dan sistematis untuk melumpuhkan orang yang sering mengritiknya.
Bahkan, tak jarang mereka membuat tim untuk mengunci mati langkah orang yang telah berlaku sebagai oposan. Melihat orang yang selalu mengeritik tersebut terkepung kesulitan, bahkan dipasung, bahkan kemudian dimatikan langkah politiknya, penguasa itu merasa puas. Dia sangat senang melihat karir musuhnya terhenti, melorot, bahkan terjungkal di titik terendah. Siapa saja yang coba-coba menentang kebijakannya, siap-siap mengalami kenyataan pahit, bahkan tersingkir dari kehidupan. Bukan hanya karirnya yang dilumpuhkan, bahkan manusianya bisa “dipenggal” pelan-pelan. Itulah bahaya yang disemburkan oleh kemarahan.
Bayangkan kemarahan yang bertumpuk-tumpuk kelak akan mengendap menjadi kebencian yang kuat mencengkeram jiwanya. Kalau orang sudah dikuasai kebencian, maka tidak melihat dari orang yang dibencinya kecuali keburukan saja. Padahal bukan kenyataan buruk yang membuat kita menderita, tapi cara pandang kita yang membuat kita menderita atau, sebaliknya, bahagia. Semakin sering kita melihat keburukan orang lain, maka semakin menumpuk derita dalam hati kita.
Sebaliknya, kalau kita senantiasa melihat kebaikan orang lain, tiba-tiba kemarahan jadi menyusut bahkan hilang sama sekali. Karena itu, di kala berkobar kebencian, bahkan menguat menjadi kebencian, segera melihat kebaikan yang pernah dilakukannya, maka ketika itu Anda akan mudah memaafkan kesalahan orang lain. Di kala Anda mampu memaafkan kesalahan orang lain, maka jiwa tiba-tiba merasakan keteduhan, serta kedamaian yang membanjiri jiwa.
Adalah seorang guru, karena sedang berhalangan selama beberapa hari untuk mengisi kajian, maka beliau meminta salah satu muridnya untuk menggantikan beliau. Karena perintah sang guru, si murid menjalankan amanah tersebut sebaik mungkin. Sebagaimana setiap nikmat pasti ada yang mendengki. Ternyata ada salah satu sahabatnya dengki dengan ditunjukkan dia sebagai badal sang guru. Karena itu, si pendengki ini mencari berbagai cara untuk meruntuhkan reputasi murid pilihan guru mereka.
Dia menyebarkan kabar bahwa murid—yang jadi badal sang guru—tidak menyampaikan seperti biasa yang disampaikan guru. Dianggap melenceng dari apa yang disampaikan guru. Fitnah ini menyebar dengan sangat masif. Demi mendengar fitnah tersebut, tentu saja murid yang jadi badal tersebut memendam kemarahan yang berkobar di hatinya. Akan tetapi, dia tidak mau melemparkan kemarahan itu.
Sepanjang jalan pulang menuju rumahnya, dada beliau dipenuhi dengan api kemarahan. Akan tetapi, ketika sudah tiba di rumah, dia menuju ke halaman belakang rumah, lalu dia sujud. Dia memaafkan kesalahan orang yang telah memfitnahnya. Justru, ketika dia sudah memaafkan dengan tulus ikhlas, hatinya menjadi teduh dan damai.
Iya, hilangkan segala bentuk kemarahan dengan memaafkan. Bakar semua sampah penderitaan dengan keridhaan.
0 comments