-->

Agama sebagai Cara Pandang

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Agama sebagai Cara Pandang

02 December 2024

Agama sebagai Cara Pandang

02 December 2024


Perlu dipatrikan dalam kesadaran kita bahwa agama bukan kumpulan dogma, kepercayaan, dan ritual semata. Karena jika demikian, agama tidak bisa bersentuhan dengan kehidupan konkrit manusia. Al-Qur’an tidak membumi dengan realitas yang berkembang di masyarakat. Padahal agama akan senantiasa relevan—sejalan—dengan kenyataan yang terus berkembang. Agama sudah selayaknya berperan seperti air yang terserap di pepohonan. Air meresap di akar, di pokok, di ranting, di daun, di bunga, dan di buah. Keseluruhan pohon diresapi oleh air. Demikian juga seharusnya tersebar ke seluruh kehidupan. Tanpa sekat.  

Hanya saja, kita kadang disuguhi sebuah kenyataan, orang yang sangat rajin ibadahnya, tekun puasanya, disiplin shalat malamnya, nyaris semua syariat dijalani dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, ketika diterpa masalah, dia menyerahkan penyelesaian pada dukun, orang pintar, atau mungkin para psikolog yang tidak bertopang pada agama. Seakan masalah kita dipisahkan dengan persoalan agama. Agama hanya berperan di tempat ibadah, di ruang-ruang pengajian, majelis taklim. Agama tidak berlaku, bahkan dianggap tabu, dalam menyetir kehidupan ini. 

Menempatkan agama—seolah—tidak sanggup menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Padahal, agama—Al-Qur’an—diturunkan untuk menjelaskan segala sesuatu. Tak jarang, sebuah persoalan sejalan dengan nilai-nilai agama, harus dianulir oleh karena tidak sesuai dengan tradisi, dan dengan kepercayaan yang bersumber dari prasangka. 

Agama, misalnya, mengajarkan bahwa ketika orang menikah, nikahilah wanita karena kecantikannya, atau karena kekayaannya, atau karena nasabnya, atau karena agamanya. Dan agama ditekankan sebagai prioritas utama dalam memilih jodoh. Jika memilih jodoh karena agama atau akhlaknya, insya Allah akan berdampak pada kebahagiaan perjalanan bahtera rumah tangga. Pilihan, yang tidak didasari agama, akan berefek pada datangnya fitnah. Lantas, jalur untuk membangun kemantapan, dijalani dengan cara istikharah dan musyawarah. Ketika melalui dua jalur ini baik, maka insya Allah pernikahan menjadi ruang untuk membangun kebahagiaan.

Dikala segala langkah yang sesuai dengan agama ditempuh, lalu harus dibatalkan karena weton yang tidak pas. Tidak pasnya weton, diikuti dengan ramalan bahwa kelak rumah tangganya akan acak-acakan. Intinya tidak berlangsung harmonis. Akhirnya, dengan segala drama yang harus dijalani, rencana pernikahan pun batal. Bubar di tengah jalan. Agama tidak dijadikan supremasi utama dalam penegakan kehidupan umat.  

Allah menciptakan manusia tidak dibiarkan mengikuti seleranya, atau hawa nafsunya. Karena ketika orang mengikuti nafsunya akan tersesat, lalu akan terlempar dalam kebinasaan. Setiap hal yang dibuat oleh manusia berasal dari prasangka semata. Yang memiliki otoritas untuk membuat panduan hidup adalah Allah. Allah sendiri menurunkan panduannya melalui Al-Qur’an yang diturunkan pada Nabi Muhammad Saw. 

Manusia bisa membuat peraturan yang mengikat, tapi jangan sampai bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama. Ketika agama telah menyajikan peraturan yang mengikat, lantas kita memiliki pilihan lain yang berlawanan dengan agama, maka berarti kita telah berpaling dari Zat yang telah menciptakan kehidupan kita. Dan setiap orang yang sudah menjauh dari agama, lalu menyusun peraturan yang sejalan dengan akal pikirannya saja, justru sangat rentan disusupi oleh hawa nafsu. 

Cukup jadi bahan renungan bagi kita tentang pabrik mobil, misalnya. Ketika sebuah pabrik membuat mobil terbaru, tentu saja tidak hanya membuatkan mobil. Akan tetapi disertai dengan buku panduan, sehingga ketika ada masalah terkait dengan mobil, seseorang bisa merujuk pada buku panduan tersebut. Begitu juga, ketika Allah Swt menciptakan manusia, tentu saja tidak dibiarkan mengikuti seleranya sendiri. 

Allah ciptakan manusia dengan penuh kasih sayang, bagaimana agar manusia bisa menggapai kebahagiaan sejati, maka tentu tidak cukup dengan dipandu oleh akal. Perlu diturunkan wahyu. Bukan hanya wahyu, Allah mengutus orang-orang terpilih untuk memandu kehidupan kita, yakni para Nabi. 

Manusia seakan terdampar di tempat yang asing, dan dia harus kembali ke tempat asli dimana mereka berasal. Karena di tempat asli inilah, kebahagiaan hakiki—yang tidak menyimpan penderitaan sama sekali—tersedia. Allah menyadarkan pada seluruh manusia, bahwa kehidupan dunia hanya tempat bersinggah sementara. Bukan tempat tinggal selamanya. Dunia, justru, akan ditinggalkan. 

Guru mulia mengungkapkan bahwa dunia memang bukan tujuan, tapi akan kita lewati. Karena itu, kita tidak bisa membenci dunia, karena dunia ini tempat kita mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhirat. Demi menyadarkan tentang hakikat dunia, hakikat akhirat, dan tempat kembali yang sesungguhnya, maka Allah menurunkan agama. Agama berposisi sebagai kendaraan untuk bisa membawa kita pulang ke negeri keabadian. 

Allah menurunkan wahyu, seperti surat cinta yang yang dikabarkan pada manusia. Hanya bagi orang-orang beriman yang akan membaca Al-Qur’an dengan cinta, dan dia menemukan vibrasi cinta Allah dari setiap lembaran kalam Allah yang dibacanya. Bukan hanya mengantarkan surat cinta, Allah juga menyertakan utusan yang mengajak kita pulang kepada Allah. Al-Qur’an membentangkan peta perjalanan menuju Allah, tapi agar tidak tersesat dalam membaca peta, maka Allah hadirkan Rasulullah Saw untuk bisa membimbing manusia sesuai dengan pesan inti Al-Qur’an. Misi Rasulullah Muhammad Saw diteruskan oleh para sahabat, para tabiin, tabi’at tabiin, hingga sampai pada ulama saat ini. 

Karena itu, agar kita menggapai kebahagiaan dalam kehidupan dunia, dan berlanjut pada kehidupan akhirat, kita perlu terus mengikuti panduan dari Allah Swt. Tentu saja dengan bimbingan para ulama yang sanad keilmuan sampai pada Sayyidina Muhammad Saw. Jika kita telah sejalan dengan panduan agama, insya Allah hidup kita akan berlimpah dengan kebahagiaan. 

Dan setiap ada masalah apapun kita selalu mencari jalan keluarnya dari Al-Qur’an, juga apa yang disampaikan Nabi Muhammad Saw yang terhimpun dalam hadist, tentu saja fatwa para ulama yang dilegalkan melalui ijma ulama. Ketika hidup kita dalam bimbingan agama, sudah barang tentu mendatangkan kebahagiaan ke bumi. Karena hidup kita sesuai dengan selera  dan kehendak Allah. Dan tidak ada di balik setiap apa yang Allah kehendaki kecuali kebaikan, dan demi menyebarnya kebahagiaan yang lebih luas.

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang