Dakwah Menebarkan Spirit Islam
19 December 2024
Tidak setiap orang diharuskan berdakwah. Jika seseorang tidak memenuhi kapasitas untuk mengajak orang lain pada kebaikan, lalu memaksakan diri untuk berdakwah, apa yang terjadi? Alih-alih akan bisa mengantarkan orang pada kebaikan, justru akan membuat orang tersesat, terpuruk, dan tenggelam dalam kebinasaan. Sebelum mengajak orang lain, kita perlu memastikan untuk mengajak diri sendiri.
Andaikan Anda menyeru manusia untuk mendirikan shalat, Anda harus bertanya pada diri sendiri, apakah sudah menegakkan shalat. Atau ternyata Anda sering abai dan meremehkan shalat? Kalau Anda sendiri mengabaikan shalat, sudah barang tentu ajakanmu tidak efektif menggerakkan orang lain untuk shalat. Seperti orang yang sedang tidur, tentu saja tidak bisa membangunkan orang yang sedang tidur. Hanya orang yang sudah bangun yang bisa membangunkan orang lain yang sedang tidur.
Sebelum berdakwah, Anda harus menelusuri kapasitas Anda, apakah sudah layak berdakwah, menyampaikan kebaikan, atau ternyata harus lebih sering mendakwahi diri sendiri. Berdakwah tidak cukup dengan mengukur kapasitas ilmu. Akan tetapi, juga mengukur akhlak, karena sejatinya Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Lantas, apa kaitannya dengan misi Rasulullah Saw menebarkan rahmat bagi semesta. Hanya orang yang berakhlak mulia yang bisa menebar rahmat. Jika seseorang telah menggapai akhlak yang mulia, otomatis yang mengalir darinya hanya rahmat. Tentu Anda bertanya, akhlak itu seperti apa? Apakah merunduk-runduk dikala ketemu orang, atqu memperindah penampilan di hadapan orang lain?
Akhlak—pada mulanya—menguasai hati kita. Dikala hati kita dihiasi dengan kebaikan, insya Allah yang keluar juga kebaikan. Bersihnya hati Anda tercermin pada perkataan, perbuatan, dan sikap yang juga bersih, tidak meninggalkan rasa sakit, atau penderitaan di hati orang lain. Orang yang fakir akhlak kebaikan, lantas bagaimana dia sanggup berbagi kebaikan. Teko hanya mengeluarkan apa yang menjadi isinya. Sementara apa yang terpancar di luar adalah adab. Jika akhlaknya baik, maka adabnya juga akan baik. Adab lebih tepatnya sebagai bentuk nyata dari akhlak.
Semuanya bermula dari hati. Karena kalau tidak dimulai dari hati, tak jarang akan menggiring seseorang bersikap munafik. Seolah dia berlaku baik di hadapan orang lain, akan tetapi niat yang terpendam adalah untuk mendulang keuntungan melalui sikap tersebut. Dengan bersikap santun pada seseorang, maka akan mendapatkan sambutan yang positif. Jika orang telah memberikan sambutan positif, tinggal selangkah lagi, maka akan terjadi deal yang menghasilkan cuan yang berlipat-lipat.
Adalah seorang wanita—misalnya—yang bertugas sebagai resepsionis. Sebelum berangkat ke tempat kerja, dia terlibat pertengkaran sengit dengan suaminya. Jengkel, sakit hati, dan rasa geram bercampur memenuhi hatinya. Akan tetapi, setibanya di tempat kerja, dia berusaha untuk tersenyum, seolah tidak ada masalah apa-apa. Dia kubur dalam-dalam perasaan sedih itu. Dia memaksa diri tersenyum karena profesi yang menuntutnya. Perilaku di luar hanya buatan saja, tidak orisinal. Karena yang orisinal adalah yang tertampung di dalam hati. Yang orisinal—alami—adalah apa yang muncul secara spontanitas.
Saya belajar pada orang yang gampang kaget. Ketika tiba-tiba ada yang membentaknya dari belakang, langsung kaget dan blingsatan. Tak jarang, kalimat-kalimat kotor menyembur dari mulutnya. Jika demikian, sejatinya kondisi yang tertampung dalam dirinya serupa dengan apa yang dikatakan secara spontan itu. Justru, kalau kita ingin melihat keaslian seseorang, telitilah ketika berada dalam kondisi tidak normal. Kalau kondisi normal, kita tak bisa menilai seseorang. Demikian juga tentang kualitas kita, bisa diukur ketika dalam kondisi panik.
Sebagaimana yang sudah disampaikan di atas bahwa modal utama seorang dai’ selain ilmu, tentu adalah akhlak. Semakin tinggi ilmu atau wawasan seseorang semestinya berdampak pada makin tingginya akhlak yang ditunjukkan. Kok, ada orang yang berilmu tinggi, tapi akhlaknya rendah, berarti sesungguhnya dia memperlihatkan kebodohannya. Sebaliknya, kok ada orang yang ilmunya pas-pasan, akan tetapi akhlak mengagumkan, berarti sejatinya dia orang yang berilmu.
Akhlak sendiri dibagi tiga level, yang mana setiap level memiliki ciri khas sendiri, dan tentu akan melimpahkan rasa yang berbeda ke relung jiwa.
Pertama : akhlak muslim. Siapa orang muslim itu? “Orang Islam adalah orang yang menyelamatkan orang Islam dari bahaya tangan dan lisannya”, demikian Sayyidina Muhammad bersabda.
Dia benar-benar mengontrol dirinya agar jangan sampai tangan dan lisan menyakiti pada orang lain. Jika kalimat yang kita lontarkan masih sering melukai, menyakiti, dan menciderai hati orang lain, maka kita jangan pernah mengaku Islam dalam konteks akhlak. Karena orang yang berakhlak muslim tidak akan pernah menyakiti apalagi melukai hati orang lain. Dia akan selalu berusaha berbicara lembut, berbicara baik, dan tidak membentak pada orang lain. Keadaan ini tidak dimulai dari penampilan luaran, tapi sangat ditentukan oleh kondisi atau ahwal batin yang menghiasi orang tersebut. Ketika hati bersih, maka yang keluar juga hanya yang bersih. Demikian juga, ketika hati damai, maka yang mengalir dari lisannya adalah kedamaian. Tidak mungkin, orang yang berhati damai, lalu kalimat yang disampaikan menohok dan menyiksa hati orang lain.
Allah memerintahkan berkata baik. Waquuluu linnaasi husna. Bahkan Rasulullah memberi tuntunan, jika tidak bisa berbicara baik, maka dianjurkan agar diam saja. Karena setiap kalimat itu menjadi tawanan bagi pemiliknya. Setelah kalimat melucur dari lisannya, maka orang akan menjadi tawanan bagi kata-katanya. Berapa banyak orang harus dihajar bahaya oleh karena tak pandai menjaga lisannya. Keselamatan manusia berada dalam menjaga lisan. Siapa yang pandai menjaga lisan, insya Allah selamat. Tapi, siapa yang tak bisa menjaga lisannya, justru dia diterkam oleh perkataannya sendiri. Hanya dengan sebuah perkataan yang ditafsirkan berbeda, lalu bisa menarik gelombang masa, untuk meruntuhkan kedudukan orang yang berkata. Hanya lisan yang salah ucap, dan ditafsirkan berbeda oleh publik, seorang artis harus meluncur di titik terendah. Kemasyhurannya pun menjadi redup.
Seorang dai harus terus mempersiapkan hati dan mental untuk bisa berkata baik, dan lemah lembut. Karena kelembutan itu bisa menarik hati yang keras sekalipun. Seperti air yang lembut, menetesi batu yang keras. Meski keras, karena air terus menetesi dengan tekun, akhirnya batu itu berlubang. Begitu juga, ketika orang berdakwah perlu menampakkan kelembutan. Sehingga perkataan yang meluncur dari lisan, dan perbuatan yang diperagakan oleh tangan juga akan membawa kedamaian di hati.
Kedua : akhlak mukmin. Bagaimana ciri orang yang telah mendapatkan celupan akhlak mukmin? Rasulullah memberikan gambaran melalui sabdanya, “Tidak beriman salah satu kamu sekalian sehingga mencintai saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya”. Sosok ini telah menggapai tepo selero. Dia telah mengukur orang lain seperti mengukur dirinya sendiri. Jika dia merasa sakit ketika dicubit orang lain, dia meyakini orang lain pun demikian. Jika dicubit akan merasakan sakit. Jika dia merasa sakit ketika diolok-olok atau dimaki di depan umum, tentu saja orang lain ketika dimaki di depan umum juga merasa sakit. Perasaan tepo selero itu akan mengendalikan diri kita dari berlaku buruk pada orang lain. Selain itu, ciri orang yang telah dibaluti akhlak mukmin, dia tergerak aktif untuk memancarkan energi positif pada orang lain. Apa yang menggerakkan dia bertindak demikian? Karena hatinya telah dipenuhi cinta. Ketika hati telah dikuasai cinta, maka energi yang memancar dari tindakannya adalah memberi dan memaafkan. Cinta sela
gi bermakna—dawuh Guru Mulia—adalah memberi dan memaafkan.
Jika seorang suami benar-benar mencintai istrinya, maka tidak berhenti sekadar di ucapan. Karena jika sekadar mengucapkan, siapa saja bisa. Akan tetapi, cinta dibuktikan dengan tindakan nyata. Suami tersebut akan selalu fokus memberi pada istrinya. Dia selalu memutar otak bagaimana cara membahagiakan istrinya. Sementara ketika mendapati istri tidak sejalan dengan apa yang diharapkan, dia tidak mudah marah, melainkan dia mengedepankan permaafan. Kesalahan istri yang mungkin berjejak di hatinya, langsung dihapus dengan cara memaafkan. Sehingga tak ada lagi citra negatif istri di hatinya.
Tentu saja, hal ini tidak hanya berlaku pada pasangan. Ketika hati seseorang telah diliputi cinta pada sesama, maka dia selalu fokus memberi dan memaafkan. Pada setiap orang dia selalu berpikir apa yang bisa diberikan, apa yang dibantu, apa yang bisa didukung dalam kebaikan. Sementara ketika orang yang berlaku jahat padanya, dia sama sekali tidak memendam kebencian. Karena ketika orang berbuat salah padanya, dia telah menyediakan permaafan. Sehingga hatinya bebas dari kedengkian sekaligus kebencian.
Ketiga : akhlak muhsin. Bagaimana ciri orang yang telah dihiasi hatinya dengan akhlak muhsin? Orang yang telah menggapai akhlak muhsin, dia telah menggapai puncak kematangan ruhani. Dia tidak membedakan perlakuan pada semua orang, entah pada orang yang berbuat baik atau yang berbuat jahat padanya. Dia berlaku baik pada semua manusia, dan segala sesuatu. Dia bukan hanya tidak mau menyakiti manusia, pada binatang sekalipun dia tak tega untuk menyakiti. Rasulullah Saw menggambarkan orang muhsin melalui hadisnya, “Allah mewajibkan berbuat baik pada segala sesuatu.” Di sini bukan hanya terikat pada manusia, tapi pada seluruh makhluk. Bukan hanya tertuju pada orang baik, pada orang jahat pun dia tidak berhenti melakukan kebaikan. Bahkan ketika dia diperlakukan jahat, dia terus bergerak untuk membalasnya dengan kebaikan.
Sosok yang telah dibaluti dengan akhlak ihsan ini digambarkan oleh Guru mulia seperti pohon yang berbuah. Jika ada orang yang berjalan di sekitarnya iseng-iseng melempari pohon itu dengan batu, maka pohon yang berbuah lebat itu membalasnya dengan buah. Sehingga orang si pelempar memetik kebaikan. Akan tetapi, ketika orang yang iseng itu melempari pohon yang tidak berbuah, alih-alih mendapatkan buah, boleh jadi batu yang dilemparkan itu akan memantul pada dirinya sendiri.
Bagaimana orang bisa berlaku ihsan? Karena dia memandang semuanya sebagai kehadiran Allah. Tentu setiap hamba ingin melakukan yang terbaik pada Allah. Perlakukan Allah dengan cara terbaik dengan memperlakukan makhluk-Nya dengan cara terbaik.
Ketika orang telah menggapai akhlak muslim, akhlak mukmin, dan akhlak muhsin inilah maka dia telah layak menebar salam. Menebarkan kebaikan yang terpendam dalam Islam. Ingatlah, hanya orang yang memiliki yang bisa memberi, dan siapa yang tidak memiliki tidak bisa memberi. Meski orang memaksanya untuk memberi, tetap saja tidak bisa memberi.
0 comments