-->

Spiritualisasi Yang Materi

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Spiritualisasi Yang Materi

10 January 2025

Spiritualisasi Yang Materi

10 January 2025


Manusia makhluk spiritual yang berbalut jasmani. Jasmani ditempatkan semacam kendaraan, sehingga manusia bisa beramal. Tidak berhenti pada kesadaran saja. Amal sebagai upaya merefleksikan atau mengekspresikan kesadaran dalam kenyataan. Seperti biji yang ditanam, lalu tumbuh menjadi pohon, lalu berbuah. 

Jasmani sendiri bukan esensi manusia. Ketika manusia berfokus memelihara jasmani, lalu lupa pada dimensi ruhani, itu sama seperti orang yang terus mengelus kendaraan, tapi lupa pada pengendaranya. Ketika manusia merawat dimensi jasmani, dia bisa memetik kesenangan. Sementara dikala manusia memerhatikan kebutuhan ruhaninya, insya Allah kebahagiaan akan memancar darinya. 

Dahulu, manusia bermula dari anasir yang bersifat ruhani, lalu kemudian sempurna dengan balutan badan yang bersifat materi. Para sufi mengatakan bahwa manusia berasal dari alam ahadiyah, wahdah, wahidiyah, arwah, mitsal, ajsam, lalu dipungkasi dengan menjadi insan kamil. 

Setelah menjadi insan kamil sempurna batin dan lahirnya, maka dilahirkanlah ke bumi. Karena kita berasal dari alam non-materi, maka kita pun pulang menuju Allah dengan dimensi immateri. Ketika manusia memberikan pasokan yang banyak pada kebutuhan ruhani (immateri), maka kebahagiaan akan terus mengembang dari jiwanya. Akan tetapi, ketika kebutuhan ruhani tidak terpenuhi. Seperti orang yang mengalami kelaparan, tentu saja tidak enak, badan langsung lemas, bahkan bisa terbawa pada kematian. Ruhani yang mengalami kelaparan yang berlangsung terus-menerus rentan mengalami kematian. Di saat ruhani mengalami kematian, maka suasana derita mencengkram jiwanya.

Allah ciptakan manusia untuk beribadah. Segala perkara yang bermakna ibadah menjanjikan pahala. Ibadah sendiri dibagi menjadi dua, yakni ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah. Ketika semua aktivitas dimaksudkan sebagai ibadah, maka berpeluang besar untuk memetik pahala. Pahala tidak hanya didapatkan bagi orang yang shalat, puasa, zakat, dan haji. Interaksi sehari-hari yang diliputi niat ibadah insya Allah akan membuka datangnya pahala dari Allah. 

Tak sedikit orang yang membangun titik pemisah antara amal akhirat dan amal duniawi. Kita berpikir bahwa shalat, puasa, zakat, dan haji adalah amal akhirat. Sebagai modal untuk kehidupan kekal di akhirat. Sementara bekerja dipandang amal dunia. Seperti berada di lingkaran nol ke nol. Tidak ada kontribusi untuk mendulang kebaikan di akhirat. Jika ibadah hanya sekadar shalat, zakat, puasa, haji, maka betapa sempitnya cakupan ibadah yang bisa dilakukan oleh seorang hamba. Padahal Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya.  

Memang, Ibadah mahdah sebagai ibadah basis yang tak boleh ditinggalkan. Bahkan, ketika meninggalkan ibadah basis, semisal shalat, maka ibadah sosial kita cenderung tidak bernilai ibadah. Misalnya, ada orang yang bekerja dengan sangat keras, sampai lupa kewajiban mendirikan shalat, maka bekerja tersebut tidaklah bernilai ibadah. Bagaimana sebuah aktivitas bisa bernilai ibadah, sementara orang tersebut meninggalkan Allah? 

Setelah sempurna pemahaman tentang pentingnya ibadah mahdah, maka kita berlanjut pada bagaimana seluruh aktivitas yang kita jalani bernilai ibadah? Bukan hanya aktivitas ukhrawi yang bernilai ibadah, bahkan aktivitas yang sepertinya bernilai duniawi tetap bisa bernilai ibadah, bahkan memberi kontribusi yang besar dalam perolehan pahala. 

Suatu saat para sahabat berkumpul dengan Nabi Muhammad Saw, mereka melihat seorang pemuda yang kekar keluar dari rumahnya. Pemuda itu keluar untuk bekerja dengan semangatnya yang menggelora. Lalu dari sebagian sahabat berkomentar, andaikan dia melakukan seperti itu di jalan Allah? Nabi Muhammad Saw meresponnya, bahwa orang yang bekerja untuk menjaga harga diri dari meminta-minta, maka ia di jalan Allah. Orang yang bekerja untuk memberi pada ayah-ibunya yang sudah lansia, maka ia di jalan Allah. Orang bekerja untuk memberi nafkah pada keluarga, maka ia di jalan Allah. Sementara orang yang bekerja untuk mengumpulkan kekayaan dan kebanggaan, maka ia di jalan setan.

Ingatlah, Allah ciptakan manusia untuk beribadah pada Allah. Kalau ibadah dibatasi pada shalat, zakat, puasa, dan haji saja, maka betapa sempitnya ruang ibadah tersebut. Tentu saja, ibadah jadi sangat sempit. Segenap aktivitas—selagi tidak ada larangan secara agama—berpotensi bernilai ibadah, jika diiringi dengan niat yang benar. Anda bekerja, disertai niat menjalankan perintah Allah, niat mencari yang halal, dan niat menjaga iffah agar tidak meminta-minta pada orang lain, maka insya Allah aktivitas kerja yang Anda lakukan akan bernilai ibadah di sisi Allah. 

Bahkan, saking tingginya nilai bekerja—untuk mencari nafkah—Rasulullah menempatkan setara dengan jihad fi sabilillah. Sehingga ketika pencari nafkah itu wafat di saat sedang mencari penghidupan, maka mendapatkan pahala syahid di sisi Allah. 

Islam tidak melarang umatnya menjadi kaya. Asalkan kekayaan memandu kita dekat pada Allah. Dilarang kaya, jika kekayaan hanya akan memicu melonjaknya kerakusan. Semakin rakus, kekayaan justru akan menjadi racun yang membuat seseorang kian terjerembab dalam penderitaan yang dalam. Kalau Anda dianugerahi kekayaan, Anda berusaha untuk mengubah materi menjadi immateri. Kalau Anda hanya fokus ke materi, dadanya mungkin makin sesak. Tapi, kalau ada mengubah materi menjadi immateri, maka kekayaan itu akan membuahkan kebahagiaan. 

Sebagaimana miskin datang bukan karena dipilih, karena telah menjadi garis takdir. Begitu juga kekayaan adalah anugerah yang Allah berikan. Bukan pilihan kita semata-mata. Ketika kita kaya, maka berusahalah agar kekayaan itu bisa menjadi bahan untuk membagun kekayaan yang bersifat immateri. Sehingga kebahagiaan makin melimpah dalam jiwa kita. Kekayaan tidak berhenti sebagai hiasan lahir, tapi juga menjadi rasa yang melimpah dalam batin. Dan setiap kekayaan batin inilah yang kelak akan menjelma sebagai kekayaan di akhirat. 


Muasal Manusia adalah Spiritual

Setelah mengerti muasal manusia sebagai makhlak spiritual, maka jadikan setiap langkah yang kita lakukan memberikan atsar pada ranah ruhani kita. Jika kita makin bertumbuh menuju kebahagiaan, mungkin duduk-duduk di jalan seperti sia-sia. Tapi kalau berniat untuk menolong orang yang mungkin tersesat, membantu orang yang sedang kecelakaan, atau memberi bantuan orang yang sedang dalam keadaan kelaparan lewat di jalan tersebut, maka tentu kongkow di jalan itu bernilai ibadah. Karena itu, semua amal bergantung niatnya. Amal duniawi tapi diniatkan karena Allah, maka bernilai akhirat. Sebaliknya, amal ukhrawi, namun disertai dengan niat yang bersifat duniawi, maka akan bernilai duniawi.

Karena itu, kita terus berupaya mengolah semua aktivitas yang kita jalani sebagai aset ruhani bagi kita. Sebagai bekal perjumpaan dengan Allah Swt.      


BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang