Mengevaluasi Shalat Kita
06 February 2025
Mungkin saja banyak persoalan yang membelit kita, saling kait-mengait satu sama lain. Saking banyak masalah yang menjerat, seolah menjebloskan kita dalam lingkaran setan. Tak menemukan jalan keluar sedikit pun. Kita ingin mengurai satu per satu, tapi ternyata bukan membuat masalah sirna. Justru tambah mbulet, tidak terurai dengan mulus.
Akan tetapi, kita berkeyakinan bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluar yang tersedia. Sebagaimana setiap sakit pasti ada obatnya. Setiap gembok pasti disediakan kuncinya. Setiap ujian pasti ada kunci jawabannya. Lalu dari mana kita harus mulai mengurai masalah yang membelit, agar kita terbebas?
Kita harus mengenali terlebih dahulu hubungan primordial sekaligus abadi. Yang tak pernah putus sampai kapanpun. Dan jika kita bisa membenahi dan menjaga harmoni dalam hubungan ini, insya Allah segala persoalan akan terurai dengan cepat. Setidaknya masalah sebesar apapun, selagi hubungan primordial ini sehat dan baik-baik saja, sama sekali tidak menyemburkan penderitaan ke dalam jiwa. Masalah sebesar apapun, tidak melenyapkan senyum sebagai ekspresi kebahagiaan yang terus mengembang di hati.
Sebaliknya, jika hubungan ini tidak terjaga, apalagi putus sama sekali, maka meski segala kemewahan dunia diguyur memenuhi kehidupan kita, kebahagiaan akan redup dan padam dari dalam jiwa. Tak sedikit orang yang justru menderita di antara tumpukan kebahagiaan. Seperti tikus yang mati di lumbung padi. Seharusnya tikus-tikus itu bisa makan sepuasnya padi yang menumpuk mengelilingnya, tapi justru ia mati terkapar. Tak sedikit orang yang menggelapar dalam penderitaan di tengah kemewahan yang mengitari.
Mengapa dijerat penderitaan? Karena jiwanya tidak terkoneksi dengan sumber kebahagiaan. Sadarilah bahwa sumber kebahagiaan itu adalah Allah. Kita takkan pernah bisa mengakses kebahagiaan dari selain sumber ini. Lantas,bagaimana caranya kita terhubung dengan sumber kebahagiaan tersebut? Cara kita terkoneksi dengan Allah—sumber kebahagiaan—adalah melalui shalat. Tanpa shalat, kehidupan kita seperti sebuah ruang tanpa kehidupan.
Mungkin saja di ruangan ini dikelilingi oleh alat elektronik. Di setiap dinding menempel AC, televisi dinding yang berlayar lebar terpasang dengan rapi, sound pun menghiasi dinding-dinding. Akan tetapi, kesemuanya itu tidak bermanfaat apa-apa, jika tidak terkoneksi dengan energi listrik. Hanya dengan adanya aliran energi listrik, semua alat elektronik itu berguna untuk ruangan tersebut.
Demikianlah cara menggambarkan kedudukan shalat. Tanpa shalat, maka segala amal yang kita lakukan tidak punya nilai apa-apa di sisi Allah. Karenanya, zakat bisa saja tidak ditunaikan karena tidak mampu, puasa bisa bayar fidyah atau diqada di lain waktu jika tak mampu, apalagi haji, hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu saja. Sementara shalat menjadi sebuah kewajiban melekat dan tak boleh ditinggalkan. Jika tak bisa mendirikan shalat dengan berdiri, maka bisa melakukan shalat dengan duduk. Jika tak bisa dengan duduk, lakukan dengan berbaring. Jika berbaring juga tidak bisa, lakukan dengan isyarat mata.
Apa makna dibalik ini? Bahwa hubungan kita dengan Allah tak bisa dipisahkan sampai kapanpun. Manusia bisa terpisah dari sesama, bisa terpisah bahkan dengan bagian-bagian yang melekat pada dirinya, bisa juga terpisah dengan kehidupan ini, tapi tidak bisa terpisah dari Allah. Allah akan selalu menyertai manusia hatta kematian menyergap manusia. Allah senantiasa bersama kita sampai kapanpun.
Karena itu, jika kita bisa menjaga kualitas hubungan kita dengan Allah, berarti hati terus terkoneksi dengan Allah Swt, maka kebahagiaan akan selalu menyala di rumah jiwa kita. Sebaliknya, orang yang tak pernah menjalin koneksi dengan Allah, maka rumah jiwanya akan gulita. Mungkinkah orang bisa menyerap kebahagiaan di tengah keadaan yang gelap gulita? Dalam kondisi gulita, orang tak bisa mengenali yang baik dan buruk. Tak bisa melihat yang benar dan salah.
Jika kehidupan kita dalam keadaan rumit, sesak dengan masalah, banjir dengan kepahitan hidup, tak usah mengevaluasi satu per satu dari kehidupan yang Anda alami. Cukup Anda menengok sekaligus mengevaluasi kembali shalat yang Anda dirikan selama ini. Sudahkah kita bersungguh-sungguh mendirikan shalat. Apakah mungkin shalat hanya jadi sambilan saja. Karena ada orang yang shalat hanya jika ada kesempatan. Sesempatnya saja. Bukan memberi kesempatan khusus untuk shalat. Jika kita bersungguh-sungguh menjaga waktu shalat, insya Allah kehidupan kita dijaga oleh Allah.
Jadi, titik penyelesaian dari setiap masalah yang kita hadapi adalah shalat. Perbaikilah shalat Anda, insya Allah kehidupan Anda akan dipugar dan dibenahi oleh Allah Swt. Karena dengan adanya shalat, bimbingan Allah akan senantiasa menyertai kita. Karena shalat menjadi penumbuh kesadaran bahwa kita sebagai hamba yang selalu butuh pada Allah. Tidak bisa lepas dari Allah kapan saja. Ketika orang telah merasa sebagai hamba, dia selalu ingin menjalin dengan Allah.
Ketika shalat didirikan, berarti telah menyediakan sebuah “waktu” untuk mengingat Allah. Bukankah shalat sebagai media mengingat Allah. Ketika kita mengingat Allah, maka Allah akan mengingatnya. Bukti bahwa orang yang ingat Allah—sadar kehadiran-Nya—jiwanya akan dimasuki ketenangan. Iya, tanda Allah telah bersinggasana dalam hati, ada ketenangan yang terserap ke relung jiwa.
Apa saja yang perlu dibenahi dari shalat kita?
Pertama, berlatihlah untuk shalat tepat waktu. Karena kebaikan tersimpan dalam shalat pada waktunya. Waktu shalat sebagai momen spesial kita menghadap kepada Allah. Memenuhi undangan Allah Swt. Kalau Anda diundang oleh seseorang, tentu saja pengundangnya akan bahagia jika kita datang tepat waktu. Karena disitulah tersimpan penghormatan, pengagungan, dan cinta yang mendalam. Bahkan, tak jarang kalau diundang oleh orang penting, kita sudah datang sebelum waktunya tiba. Demikian juga orang yang mencintai Allah, bahkan sebelum adzan berkumandang, dia sudah tiba di masjid, menanti gema adzan, dan shalat berjamaah tiba.
Kedua, memperhatikan jamaah shalat. Shalat berjamaah menyimpan keutamaan 27 derajat ketimbang shalat sendirian. Mengapa? Karena shalat sejatinya bukan hanya menjadi pembangun harmoni dengan Allah, tapi juga diharapkan menjadi penjalin harmoni dengan sesama. Pertolongan Allah turun pada jamaah. Jadi, kalau kita ingin mengundang datangnya pertolongan Allah adalah dengan berjamaah.
Ketiga, membenahi kekhusyukan dalam shalat. Ruhnya shalat adalah khusyuk. Bagaimana mengalirkan rasa khusyuk dalam shalat? Ketahuilah, shalat bukan hanya perkara fisik, tetapi sangat berkait dengan ketertautan hati dengan Allah. Dan tidak ada yang bisa menguatkan ikatan hati, kecuali cinta. Jika hati dilimpahi cinta pada Allah, insya Allah khusyuk akan menghiasi hati kita ketika shalat.
Khusyuk tidak bermula dari shalat. Tapi, sudah dihadirkan ketika orang mengambil wudhu. Saya tertarik dengan catatan yang disampaikan oleh Prof. Nasruddin Umar, bahwa ketika mengambil wudhu, seseorang dibawa dari gelombang theta ke alfa. Mengantar seseorang dalam kondisi yang damai. Rasa damai yang dihadirkan melalui wudhu, nanti dibawa ketika shalat. Benar-benar menumbuhkan rasa cinta pada Allah.
Sekali lagi, hanya orang yang diluapi cinta pada Allah yang bisa menumbuhkan rasa khusyuk. Yang dicintai yang sering disadari. Kalau Anda mencintai sesuatu, maka akan selalu Anda ingat dan sebut-sebut. Dan hanya tercinta yang dihadap. Meskipun Anda berada di kerumunan manusia, sementara Anda sedang berduaan dengan kekasih, maka Anda terasa berdua saja. Seolah yang lain tidak ada. Begitulah, keadaan orang yang telah terserap dalam “kemesraan” dengan Allah dalam shalat. Mereka tidak terusik dengan apapun yang beredar di sekilingnya.
Bicara tentang shalat khusyuk, kolom ini tidak cukup untuk menjelaskan cara-caranya. Penjelasan ini bisa panjang. Saya cukupkan dengan memperbaiki wudhu, dan memasukkan cinta pada Allah dalam shalat.
Keempat, melihat buah nyata dari shalat. Kalau kita memaknai shalat diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Bahwa tanda seseorang mengagungkan Allah, dia akan menghormati makhluk-Nya. Makhluk seharga kholiq-nya. Maka sama sekali tidak dibenarkan, ada orang yang mengucapkan takbir dalam shalat, tapi sering merendahkan dan mencaci maki orang lain. Tidak dibenarkan, ada orang yang bertakbir, tapi sering berlaku dhalim pada orang lain.
Karena itu, perlu diuraikan bahwa orang yang menebarkan salam, dia memastikan orang lain selamat dari bahaya tangan dan lisan. Jika orang menebar rahmat, maka dia selalu punya inisiatif untuk memberi dan memaafkan orang lain. Dan penebar berkah, dia selalu fokus berbuat baik pada siapa saja : baik pada orang yang berbuat baik padanya ataupun baik pada orang yang tidak berbuat baik padanya. Dia telah terbebas dari kebencian maupun dendam, karena hatinya dipenuhi dengan cinta dan welas asih pada sesama.
Semoga keempat perkara sebagai ekspresi pendirian shalat bisa kita jalankan dengan ajeg dan istiqamah, sehingga kebahagiaan senantiasa mengalir di hati kita. Sekaligus menebar kebahagiaan pada sesama melalui shalat.
0 comments