Mengapa Kesucian Hati Penting?
20 April 2025
Tidak ada orang yang paling bahagi, kecuali orang yang
suci hatinya. Dan kualitas seseorang tidak diukur dengan pencapaian yang
bersifat materi, intelektual, atau psikologis. Karena betapa banyak orang yang
telah meraih pencapaian hebat, tapi tetap saja tersungkur di penjara
penderitaan. Mungkin saja Anda mendapati orang yang kaya raya, dan ternyata dia
tetap saja berada dalam kekosongan jiwa.
Adalah sosok kaya raya. Semua orang berasumsi bahwa sosok
ini telah menggapai cita-cita dalam hidupnya. Bahkan semua orang menghendaki
apa yang telah dicapainya. Akan tetapi, diam-diam sosok ini menyimpan
penderitaan yang tak terbaca oleh orang lain. Di suatu malam, dia mengajak
pelayannya ke sebuah tempat yang sepi. Disana dia mengeluarkan belati dari
balik bajunya. Dia menyerahkan belati yang sangat tajam tersebut pada
pelayannya. Tentu saja pelayan itu terkejut, sembari bertanya apa yang
dikehendaki tuannya dengan belati tersebut. Sebelum bertanya banyak, tuan rumah
tersebut mengutarakan, “Wahai pelayanku, saya memintamu malam ini agar
menusukkan belati ini tepat di jantungku!”
“Untuk apa tuan harus bunuh diri?”, tegur pelayannya.
“Iya, mungkin orang telah memandangku kaya raya dan
sukses. Akan tetapi, saya tidak kuat menyaksikan pesaingku selalu berada di
atasku. Sepanjang hidup saya kerahkan tenaga dan pikiran untuk mengalahkannya.
Tapi, tetap saja tak terkalahkan. Demi menuntaskan penderitaan ini, saya
meminta kamu membunuhku. Dan seluruh harta kekayaan yang kupunya saya serahkan
padamu”, tutur si kaya.
Dari kisah tersebut, kita bisa memahami bahwa tidak serta
merta orang yang menggapai kesuksesan berada dalam kebahagiaan. Malah, boleh
jadi, dia menyimpan penderitaan yang tak menjangkiti orang miskin. Orang miskin
menderita karena tidak punya apa-apa. Sementara orang kaya menderita karena dia
selalu ingin menggapai yang lebih, sehingga tidak pernah cukup. Dia menggelapar
dalam kelaparan jiwa. Dalam kondisi jiwa yang lapar, bagaimana seseorang akan
menyerap kebahagiaan?
Di sisi lain, ada orang yang hidupnya sederhana. Akan
tetapi hidupnya diliputi kebahagiaan. Bahkan dia telah dijamin sebagai ahli
surga. Tidaklah seorang telah menjadi ahli surga kecuali hatinya telah
berhiaskan surga.
Adalah seorang sosok yang datang terlambat dalam majelis
Rasulullah Saw. Dengan bekas air wudu di wajahnya, dia membawa sandal, dan
melewati celah-celah sahabat yang sedang duduk di hadapan Nabi Muhammad Saw.
Ketika sosok ini datang, Rasulullah serta merta menyatakan bahwa sosok tersebut
ahlul jannah. Rasulullah Saw menyebutkan tentang sosok ini tiga kali di
kesempatan yang berbeda. Tentu saja sahabat terkejut, sembari penasaran apa
kiranya amalan yang dilakukan sehingga Rasulullah Saw menjaminnya masuk surga.
Salah satu sahabat yang penasaran adalah Abdullah bin Umar. Dia mendatangi
rumah sahabat yang disebut Nabi Muhammad Saw masuk surga, Abu Damdam. “Wahai
Abu Damdam, sudikah kiranya kau mengizinkan saya menginap di rumahmu barang
tiga hari, karena saya sedang ada masalah dengan orang tuaku”.
“Iya, dipersilakan”, jawab Abu Damdam.
Dengan mendapat izin dari Abu Damdam untuk menginap, maka
dimulai proses investigasi oleh Abdullah bin Umar terkait amaliah Abu Damdam.
Menyingkap keistimewaan yang selama ini dirahasiakan.
Setelah beberapa hari berlalu, Abdullah bin Umar tidak
berhasil mengulik data tentang keistimewaan Abu Damdam. Dia akan pergi dengan
tangan kosong, sembari terus diberondong rasa penasaran di hatinya.
“Wahai Abu Damdam, saya akan pamit. Namun sebelum saya
pulang, saya ingin menyampaikan, sesungguhnya maksud saya menginap di rumahmu
ini bukan karena saya punya masalah dengan orang tuaku. Akan tetapi, karena
saya penasaran apa yang menyebabkan Rasulullah Saw menyebut Anda sebagai
penduduk surga”, urai Abdullah bin Umar.
“Memang, saya tidak memiliki keistimewaan apa-apa.
Mungkin shalatku jauh di atas rata-rata sahabat. Akan tetapi, sebelum tidur,
kami pastikan, kami memaafkan kesalahan semua orang yang pernah bersalah
padaku. Dan menengok ke dalam hati, memastikan bahwa tidak ada kebencian dan
kedengkian sedikit pun menyelinap di hati ini tentang orang lain”, ungkap Abu
Damdam.
Setelah menggambarkan tentang keadaan dirinya, maka
terjawablah rasa penasaran Abdullah bin Umar tentang rahasia Abu Damdam dijamin
surganya oleh Rasulullah Saw. Ini bukan perkara paling banyaknya ibadah.
Melainkan terkait dengan kesucian hati.
Ketika orang telah menggapai kesucian hati, maka dia
telah merasakan muasal jiwanya. Kealamian atau otensitas dirinya. Betapa
indahnya hidup yang alami, jauh dari kepura-puraan. Karenanya, orang yang telah
mencapai kedamaian, memasuki surga. Berasal dari kata swa-arga. Penduduk yang
alami.
Dari sini, kita bisa memahami bahwa orang yang telah
mencapai kesucian hati, dia telah menggapai surga seketika itu pula.
Sebagaimana Allah berfirman, “Surga Adn yang di bawahnya sungai-sungai kekal di
dalamnya, dan demikianlah balasan orang yang membersihkan hati”.
Setelah Anda mengetahui bahwa kesurgawian seseorang
sangat berkait dengan kesucian hati, maka jagalah kesucian hati Anda. Semakin
suci hati Anda, maka semakin tampak dan memantul surga dalam jiwamu. Seperti
menyaksikan kolam yang jernih, sehingga mendapati batu pualam yang berada di
dasar kolam terlihat jelas. Begitu pula, ketika hati telah disucikan, maka
terlihat keindahan yang berada di dalam. Dan kebahagiaan ditentukan oleh
kualitas kebersihan hati. Jika hati telah bersih, segala kenyataan yang
tergelar di hadapan akan terlihat bening, indah, dan mendamaikan.
Hati yang bersih bukan hanya damai, tapi juga menjadi
penanda hadirnya Allah dalam hati. Bukankah hati orang beriman adalah rumah
Allah? Kalau hati Anda ingin dijadikan baitullah, maka pastikan hati Anda
terang, bersih, lapang, dan indah. Jika seorang raja mau memasuki sebuah
ruangan pun, perlu dipastikan ruangan itu terang, bersih, lapang, dan indah.
Dan raja tentu tidak akan memasuki sebuah aula yang gelap, kusut, sempit, dan
jelek.
Bagaimana membuat hati terang? Agar hati senantiasa
disuluh terang, maka perlu senantiasa diisi dengan zikir. Iya
zikir semisal cahaya. Dan cahaya bersifat mengusir kegelapan. Ketika Anda
berzikir, maka Allah ada. Sebaliknya ketika Anda lupa Allah, maka hatimu akan
dihinggapi kegelapan. Adakah orang yang bahagia dikala terperangkap dalam
kegelapan? Tentu saja tidak. Zikir disini bukan hanya ucapan lisan, tapi
menyoal kesadaran tentang kehadiran Allah. Tak ayal, orang yang hatinya diisi
dengan kesadaran akan kehadiran Allah akan senantiasa diliputi perasaan damai.
Bagaimana agar hati bersih? Yang membuat hati kotor
adalah makin banyaknya keinginan yang menguar di hati. Agar hati bersih, maka
kikis hasrat pribadi. Ketika orang sudah tidak lagi terbelenggu kepentingan
diri, maka dia mengarahkan perhatian pada mendapatkan ridha Allah. Itulah
namanya ikhlas. Ketika ikhlas telah menghiasi hati, maka orang sanggup
menjalani dan menikmati realitas yang dialami. Dia tidak akan pernah berselisih
dengan kenyataan seperti apapun yang tergelar di hadapannya.
Ikhlas akan membimbing seseorang untuk menikmati proses yang dijalani. Dan,
memang, kebahagiaan itu sangat bergantung kualitas keikhlasan yang dihadirkan
di setiap amal yang dijalani. Dikala amal telah dialiri ikhlas, maka
kebahagiaan tak perlu menunggu nanti atau besok. Kebahagiaan bisa dinikmati
sekarang dan disini. Bukankah kenikmatan itu memang mengalir dalam proses?
Seperti halnya orang yang sedang menikmati makan. Nikmatnya makanan tidak
terletak di awal, atau ketika kenyang. Makanan, justru, terasa nikmat dikala
kita sedang mengunyahnya. Dikala mengunyah, nikmati setiap gigitan dan
kunyahan, maka di sana ada kebahagiaan yang dirasakan. Kehidupan ini adalah
sebuah proses yang terus berlangsung. Dan pasangkan keikhlasan di hati, insya
Allah kita bisa menikmati setiap detik perjalanan yang kita tapaki.
Ketiga, lapangkan hati dengan shiddiq.
Sebongkah hati yang diliputi kejujuran. Apa itu jujur? Jujur adalah sebuah
pengakuan bahwa kita tak memiliki apa-apa. Segala apa yang tergenggam di
tangan, melekat di badan, dan semua yang kita anggap sebagai miliki kita,
sejatinya bukan milik kita. Bahkan badan yang membalut diri kita sama sekali
bukan milik kita. Bukti bahwa kesemuanya bukan milik kita, kita tak bisa
memertahankan meski sehelai saja. Ketika kematian mencengkram kita, maka
semuanya akan kita tinggalkan di bumi, yang terus menemani kita hanya amal
kebaikan yang pernah kita lakukan di dunia.
Jika kesemua yang “kita miliki” kita anggap bukan milik kita, hanya sekadar titipan dari Allah, maka kita harus menyerahkan untuk jalan yang Allah ridhai. Dengan demikian, yang mengembang dalam diri kita adalah semangat untuk berbagi dengan siapa saja. Karena, sekali lagi, yang menjadi milik kita bukan apa yang kita simpan, bukan apa yang kita pakai, bukan apa yang kita makan. Yang sebenarnya menjadi milik kita adalah apa yang kita berikan, kita bagikan, dan kita sedekahkan.
Semakin sering kita berbagi di dunia,
maka kita akan menjadi sangat kaya di akhirat. Setiap apa yang kita berikan
akan selalu mengalami pertumbuhan. Bagaikan biji yang kemudian ditanam, dia
akan tumbuh menjadi pohon yang besar, dan setiap tangkai menyembulkan buah. Dan
di setiap buah mengandung berjuntai biji. Kalau ibadah lainnya, dibayar secara
kontan pahalanya, dan tidak terus bertumbuh. Sementara sedekah akan terus
bertumbuh, bahkan membesar seperti gunung. Sehingga orang yang berbagi kelak
akan merasa heran dengan pahala yang diterimanya.
Memberi memandu seseorang agar tidak terlalu melekat
dengan kehidupan dunia. Semakin melekat, maka dunia akan terasa menyiksa dan
menghimpit. Justru ketika kita bisa berjarak dengan dunia akan semakin lega.
Bahkan, anehnya makin kita melepaskan, akan banyak anugerah berdatangan tanpa
kita duga. Kita akan menyadari bahwa kemuliaan seseorang bukan diukur dengan
seberapa banyak yang didapatkan, tapi ditakar dengan seberapa yang diberikan
dan dilepaskan. Orang yang biasa melepaskan, dia telah mencapai kedewasaan
jiwa.
Keempat, memperindah hati dengan tawadhu. Menyadari bahwa seperti apapun pencapaian dan prestasi yang kita raih, jangan pernah sedikit pun menerbitkan perasaan hebat, apalagi sombong. Karena ketika orang sudah merasa berada di puncak, sebentar lagi harus siap-siap melorot atau meluncur ke titik terendah. Sementara orang yang tawadhu akan senantiasa diangkat dari satu level ke level yang lebih tinggi. Tawadhu bukan hanya membuat orang makin meninggi kedudukannya, juga akan diperindah hatinya.
Keindahan hati lalu memancar pada wajah lahiriah. Tak jarang, kita temukan
orang yang berparas sedang-sedang saja, akan tetapi menghadirkan magnet dan
pesona tersendiri bagi jiwa. Ketika orang mengitari sosok seperti ini merasa
menghirup aroma semerbak sampai ke jiwa. Bahkan membekaskan kenangan yang indah
berhari-hari. Memancar teladan yang membuat orang berubah. Saya pernah menemani
seseorang yang sangat menjaga akhlaknya, saya benar-benar menyerap ketenangan
sekaligus kebahagiaan bersamanya.
Dikala hati seseorang telah dipenuhi kesadaran akan
kehadiran Allah, dibersihkan dengan keikhlasan, dilapangkan dengan shiddiq, dan
diperindah dengan tawadhu, maka hati akan menjadi tempat Allah bersinggasana.
Dan memang Allah tak bisa ditampung oleh langit dan bumi, hanya bisa ditampung
oleh hati orang beriman dari kekasih Allah. Dari situ, kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa hati orang beriman adalah rumah Allah.
0 comments